Tak terasa, sudah hampir satu semester Fahri bersekolah di sini. Ia banyak menghabiskan waktu dengan belajar dan membuat pertemanan dengan Wisnu dan Hamzah kian erat. Ia pun sering nongkrong bersama teman-teman sekompleksnya ketika akhir pekan dan latihan basket.
Kini ia sedang mengisi jawaban-jawaban di lembar kerjanya. Jadwal pekan ujian sedang berlangsung dan ia berusaha untuk tidak memikirkan apa pun kecuali pelajaran. Konsentrasi otaknya bekerja dengan baik sampai PAS selesai.
Fahri meregangkan otot-otot tubuhnya. "Alhamdulillah Ya Allah... Beres juga...." Leganya.
Hamzah menghampiri Fahri setelah mengumpulkan kertas jawaban. "Asa bucat bisul ya."
Fahri terkekeh mendengarnya. Ia menengadahkan kepala di atas sandaran bangku dan memejamkan mata. Ia memutar mundur waktu hingga sampai di titik ini. Kepalanya menunjukkan kesehariannya selama enam bulan terakhir, dan Fahri tersenyum puas karena kinerja produktifitasnya ketika masuk SMA terasa berkembang.
Pembagian rapot pun tiba. Ayah Fahri memeluk Fahri dengan bangga, karena anaknya bisa masuk lima besar. Karena amat sulit bagi siswa SMA favorit ini untuk meraih posisi tersebut.
"Inget! Tingkatkan lagi, jangan langsung merasa puas dengan hasilnya," ucap Rizki, ayahnya. Fahri mengangguk mantap.
"Iya, Yah. Doain Fahri terus ya," kata Fahri. Rizki pun izin sebentar untuk berbincang dengan ayahnya Hamzah.
Fahri bersandar di tiang koridor, terdiam cukup lama. Ia mengakui bahwa ia tak sepenuhnya jujur ketika mengerjakan ujian kemarin. Beberapa pelajaran eksak seperti matematika dan kawan-kawannya yang rata-rata Fahri kurang kuasai, ia sudah tahu urutan soal sehari sebelum ujian berlangsung. Ia mendapatkan bocoran soal dari anak X MIPA 5, Ramdan teman se-eskulnya dan merupakan anak guru.
"Tapi emang gak apa-apa kamu tahu soalnya?" Fahri bertanya kepada Ramdan di belakang perpustakaan.
"Udah gak apa-apa. Anggap aja sharing, Ri. Dulu juga kamu sering nolongin aku," jawab Ramdan mencoba menenangkan Fahri. Ramdan adalah teman SDnya, dan ketika mereka masih satu sekolah bertahun-tahun yang lalu, Fahri memang sering mengajari Ramdan pelajaran PKN dan bahasa Sunda.
"Tapi dulu aku ngebantuin kamu karena kamu masih belum ngerti pelajarannya, bukan ngasih contekan," Fahri terus mencoba membela diri karena ia tahu apa yang ia lakukan tidak benar.
"Alahh... Kamu kaku banget sih. Ini bukan contekan. Aku juga gak sengaja lihat soal-soal ini di meja kerja ibu. Lagian tunggu apa lagi? Orang kamu juga udah liat soalnya," ucap Ramdan, menunjuk dengan dagunya kertas-kertas yang ada di tangan Fahri.
Fahri merenung, memikirkan resiko yang akan dia dapatkan bila kepergok mengetahui soal ujian. "Gak bakal ketahuan emang?"
Ramdan berdecak. "Jangan khawatir begitu, lah. Tenang aja, aku tanggung jawab kalau ada apa-apa."
Fahri tahu ia pun akan kena batunya jika hal itu sampai terjadi. Fahri menghela nafas dengan berat karena berpikir bahwa jika ketahuan, ia dan Ramdan akan dihukum berdua saja. Dan reputasi akan hancur jika sampai terjadi seperti itu
"Kamu mau ayah kamu bangga, kan?" Tanya Ramdan dan pertanyaan yang satu itu berhasil menggoyahkan pertahannya.
Fahri mengusap kepalanya yang mulai pening. Ia mulai berpikir jauh. Bagaimana jika ayahnya tahu tentang ini? Pasti ia akan kecewa sekali!
"Oy!" Tepuk Hamzah. "Ngelamun aja nih. Senyum dikit atuh kan masuk lima besar."
Fahri menoleh, didapatinya Hamzah yang ekspresinya begitu gembira karena ia meraih peringkat satu.
"Cape pengen tidur," jawab Fahri sekenanya. Ia memang lelah dan ia pengen cepat tidur. Setidaknya dia tidak berbohong kali ini.
"Bentar lagi juga bubar," kata Hamzah memberitahu Fahri. Fahri hanya mengangguk dan ia kembali khawatir dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Untung Fahri tidak menerima bocoran soal semua pelajaran. Jika begitu, ia akan jauh lebih cemas dari ini.
"Jihan!!" Panggil Desi, teman sekelas Fahri menghampiri Jihan anak X MIPA 2. "Di kelas kamu yang ranking satu siapa?"
Telinga Fahri otomatis mempertajam pendengarannya.
"Yang ranking di kelas aku Sukainah," jawaban Jihan membuat Fahri menegakkan tubuh.
Sukainah? Peringkat satu?
Fahri melirik Hamzah yang kini adu panco bersama Wisnu.
Hamzah.. dia juga peringkat satu. Apa aku harus nyusul dia biar samaan kayak Sukainah? Tanya Fahri dalam hati.
"Weyyy mas broo selamat ranking hiji yeuh!" Yogi, anak MIPA 2 menepuk-nepuk punggung Hamzah. Disusul teman-temannya yang lain, saling mengucapkan selamat atas prestasi yang diarihnya.
Ternyata kabar Hamzah meraih peringkat satu sudah tersebar ke kelas sebelah. Fahri kini duduk di lantai, pikirannya kalut karena pasti Sukainah pun sudah mengetahui soal ini.
"Eh tong diuk dihandap atuh!" celoteh Wisnu yang menarik Fahri untuk duduk di bangku di sebelahnya. Fahri menurut.
"Kunaon deuih éta bengeut siga karung goni," kata Wisnu. Fahri menoleh.
"Maksud?"
"Kusut," kata Wisnu. Fahri hanya tersenyum kecil dibuatnya.
"Ranking berapa Nu?" Tanya Fahri penasaran. Karena sedari tadi Wisnu tidak ikut nimbrung dengan Hamzah dan Fahri ketika membicarakan nilai rapot.
Wisnu tertawa. "Ranking 10."
Fahri hendak bertepuk tangan karena pencapaian temannya itu, namun tangannya segera ditahan oleh Wisnu.
"Tihandap," lanjutnya. Senyum Fahri seketika memudar.
"Yee kirain!" Senggol Fahri.
"Gapapa ya Nu. Semangat!" Ucap Hamzah membesarkan hati Wisnu.
Wisnu hanya tertawa. Tawa yang menunjukkan kesedihan karena ia tidak bisa meraih ranking seperti dua sahabatnya. Orang lain dengan mudahnya memberi semangat padanya. Namun sebenarnya ini amat tidak mudah bagi Wisnu. Tapi Wisnu memilih untuk memendamnya sendiri. Dan ia sangat berharap bahwa Hamzah dan Fahri tidak pernah lagi membicarakan soal ranking di depannya. Karena ia sangat kecewa, ada desiran menyakitkan di dalam hatinya dan hanya Tuhan yang tahu. Namun apa boleh buat, mungkin rezekinya baru sampai sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HABIBTY [COMPLETED]
Teen FictionIa tidak pernah menyangka bahwa ternyata, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, itu berarti Tuhan akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia pula. Fahri namanya. Seorang siswa SMA Negeri yang mencari arti dari falsafah kecintaan kep...