Ayam Bakar

29 9 0
                                    

Fahri menerima sebungkus ayam bakar di tangannya dengan perasaan berkecamuk.

"Ayah kenapa--" Fahri bertanya amat tak percaya.

Rizki mengusap kepala anaknya. "Iya, Ri. Anterin sekarang ya. Keburu Maghrib."

Fahri bergeming, ia benar-benar seperti orang linglung. Pasalnya, Fahri tidak menyangka Allah memberinya kejutan sebesar ini. Rizki tiba-tiba saja menyuruh Fahri untuk mengirim ayam bakar ke rumah Pak Qassem. Tanpa menjelaskan apa pun, dan apa hubungan ayahnya dengan Abi Sukainah itu. Dan mengapa tidak Rizki sendiri yang mengantarnya ke sana.

Fahri melirik jam dinding. "Iya Yah. Fahri sekarang berangkat!" ucapnya penuh semangat. Fahri berlari keluar rumah dan menaiki sepedanya dengan terburu-buru. Rizki menyusul ke teras.

"Hati-hati, Nak! Jangan ngebut!" Rizki terkekeh melihat anaknya yang begitu semangat untuk berkunjung ke rumah Pak Qassem.

"Dah Ayah! Assalamu'alaikum!" Fahri melambai dan mulai menggoes sepedanya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Rizki. Setelah Fahri menghilang di jalan, senyum Rizki kian memudar. Batinnya tak tega melihat kepulangan anaknya nanti ketika sampai di rumah.

~~~

Fahri menghentikan sepedanya tepat di depan rumah besar berwarna krem. Ada mobil Pajero putih yang terparkir di depan garasi. Setahu Fahri, mobil keluarga Sukainah itu berwarna hitam.

Fahri pun masuk ke gerbang yang terbuka dan memarkirkan sepedanya. Pintu depan rumah Pak Qassem terbuka lebar. Ada jajaran sendal dan sepatu di dekat teras. Fahri melangkah pelan. Ia jelas tahu siapa yang sedang bertamu.

Fahri sempat ragu untuk mengetuk pintu karena dari dalam, obrolan terdengar serius dan hening. Tapi, Fahri tidak ingin berlama-lama mematung di sana. Ia pun mengetuk pelan.

Tok tok tok.

"Assalamu'alaikum," ucap Fahri lembut.

"Wa'alaikumussalam." Salam Fahri dijawab lebih dari tiga orang.

Aldan menghampiri pintu. "Eh Fahri!" sapanya ramah. "Sini masuk!"

"Siapa Dan?" Terdengar suara Pak Qassem dari ruang tamu.

Aldan menoleh, berbicara ke seseorang di dekat pintu. "Ada Fahri, Bi. Temen sekelas Aldan."

Fahri menelan ludah pahit. Teman sekelas, yeah.

"Ohh sini atuh suruh masuk," Pak Qassem berkata, kini ia ikut menghampiri Fahri. Tubuh tingginya yang menjulang membuat perut Fahri mulas. Wajahnya yang sangar dengan alis tebal dan hidung khas timur tengah membuat Pak Qassem tampak mengintimidasi. "Duduk Nak Fahri."

Fahri menggeleng pelan. "Eh uhmm.. Enggak usah... Pak. Saya cuman mau ngasihin titipan dari ayah." Fahri menyodorkan sekantong ayam bakar.

Pak Qassem mengerutkan dahi. "Ayah?" tanyanya. Fahri mengangguk. "Nama ayahnya siapa kalau boleh tahu?" Pak Qassem cukup heran mengapa ada orang yang belum ia kenal tiba-tiba mengirimkan makanan melalui anaknya.

"Rizki Suherman, Pak." Fahri menjawab dengan sopan.

Pak Qassem tersenyum lebar. "Oohh.. Ya Allah Ya Rabb. Pak Rizki? Dia sohib deket Abi waktu kuliah!" kata Pak Qassem, menyenggol Aldan. Wajahnya yang tegas berubah menjadi lembut. "Di komplek D 18 'kan rumahnya?" Fahri membuang nafas lega.

"Iya Pak," jawab Fahri.

"Iya.. kemarin juga udah ngobrol bareng ayahnya. Sekalian temu kangen." Ternyata Pak Qassem adalah orang yang hangat, tidak terlihat seperti penampilan luarnya. 

Walau Fahri tak percaya apa yang baru saja didengarnya, ia mencoba seolah sudah tahu bahwa ayahnya dan Pak Qassem adalah teman. Fahri pun menyerahkan ayam bakar tersebut kepada Aldan yang langsung menerimanya dengan senang. "Wihh makasih banyak ya Ri. Tahu aja aku lagi pengen ayam bakar!" seru Aldan.

"Yuk masuk dulu sini," ajak Pak Qassem, membuat Fahri menggeleng lagi.

"Fahri langsung pulang aja, Bi. Eh--Pak," kata Fahri. Aldan menahan tawa di sebelah Abinya. Pak Qassem ikut tersenyum.

"Mau dianterin gak naik sepeda?" Aldan kembali menggoda Fahri.

AH IEU MAH YEUH!

"Aku bawa sepada mon maap," jawab Fahri dengan candaan. Pak Qassem senang melihat sosok Fahri yang baru ia kenal pertama kali. Selain wajahnya yang tampan, nampaknya anak itu sangat sopan dan beradab--seperti Rizki, ayahny. Aldan pun semakin akrab dengan teman sekelasnya itu.

"Saya pamit ya Pak, Dan." Fahri mengangguk kepada Aldan Dan menyalami tangan Pak Qassem. Ketika tangan mereka berjabat, Pak Qassem menggenggam erat tangan Fahri dan membuat anak itu semakin tak karuan.

Fahri pun pulang, dengan perasaan bahagia yang luar biasa karena Pak Qassem yang menyambutnya dengan baik dan genggaman tangan yang begitu erat. Juga, perasaan sedih yang tak terdefinisikan karena ternyata, Kak Hasbi sudah bertindak lebih cepat dibanding dirinya, maupun Hamzah.

Fahri memelankan laju sepedanya untuk kembali mencerna obrolan yang tak sengaja ia dengar tadi.

"Saya sudah menyiapkan rumah di Perumahan Sebelah untuk Hasbi," kata seorang bapak di dalam rumah yang Fahri tebak sebagai ayah Kak Hasbi. "Setelah lulus SMA, Hasbi akan melanjutkan bisnis Saya sembari kuliah. Setelah itu, Sukainah bisa tinggal di sana."

Dada Fahri bergemuruh seketika. Fahri tahu walau satu percakapan yang ia dengar tadi,  itu sudah bisa menjadi jawaban dari segala alasan kenapa Hasbi datang bersama keluarganya ke rumah Sukainah sore-sore begini.

Fahri memukul stang sepeda dengan kesal. Perjodohan? Mengapa ada kehidupan semacam itu di zaman sekarang?  SIAL!

Nafas Fahri mulai memburu. Bukan hanya dadanya saja yang terasa bergemuruh. Namun, langit di atas sana tampak marah terhadap keadaan.

Ya Allah kenapaa? Kenapaa??

~~~

BRAK!

Fahri menjatuhkan sepedanya sekaligus. Ia membiarkan roda belakangnya berputar dan tertimpa air hujan yang mulai turun. Ia masuk ke dalam rumah dengan mata yang mulai panas.

"Fahri," ayahnya bangkit dari sofa dan langsung menghampiri anaknya.

Fahri urung masuk ke dalam kamar dan ia menatap ayahnya tajam. "Fahri tahu kenapa ayah tiba-tiba nyuruh Fahri buat ngasih ayam bakar ke rumah Sukainah. Ayah pengen Fahri lihat semua itu sendiri, 'kan? Iya 'kan, Yah?!" Fahri mencoba menahan emosinya.   Kedua tangan Rizki memegang pundak Fahri.

"Fahri gak nyangka ternyata selama ini ayah nutupin ini dari Fahri," kata Fahri bergetar.

Rizki menggeleng pelan. "Bukan gitu, Nak. Ayah gak maksud--"

"Ayah tahu soal ini sejak kapan?" tanya Fahri memotong.

Rizki membuang nafas. Tidak menjawab. Anaknya sudah cukup pintar dan dewasa untuk menebak semuanya.

Fahri pun menggeleng pelan, air matanya tak bisa ia bendung lagi. "Fahri tunggu penjelasan dari ayah." Lalu ia masuk ke dalam kamarnya dan menangis.

HABIBTY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang