Fahri menunggu Kak Ilham berdiskusi dengan temannya. Ketika selesai, ketua basket itu kembali duduk di sebelah Fahri.
"Jadi ada apa nih?" Kata Kak Ilham santai.
Fahri memaksakan diri untuk tersenyum. "Maaf kak ganggu waktunya--"
"Eh gak apa-apa! Santuy," potong Kak Ilham. Ia begitu ramah pada Fahri, karena Fahri adalah adik kelas sekaligus anggota tim favoritnya. Fahri pun merasa bahwa Kak Ilham begitu baik padanya, bahkan dia cenderung bersikap lebih asik daripada teman Fahri yang lain.
"Hmm.. gini Kak. Fahri mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sama kakak," buka Fahri. Kak Ilham tak lagi tersenyum, perasannya jadi tak enak. "Fahri merasa beruntung udah diterima di klub basket ini selama satu tahun. Itu pengalaman yang sangat berharga buat Fahri."
Kak Ilham mencondongkan tubuhnya, bertumpu pada dua sikutnya. "Maksudnya?"
"Jika diizinkan, Fahri ingin pindah ekskul, Kak," kata Fahri takut.
Kak Ilham tak berkutip selama beberapa detik. Ia tidak menyangka bahwa Fahri akan berkata seperti itu. "Apa alasannya?" Tanyanya datar.
"Fahri ingin memperdalam ilmu agama di rohis," kata Fahri. "Dan Alhamdulillah untuk masalah di ekskul mah gak ada. Sejauh ini Fahri nyaman-nyaman aja di klub basket," jelas Fahri sebelum Kak Ilham bertanya lebih jauh.
Kak Ilham mengusap-usapnya telapak tangannya. "Apa sudah dipikirkan matang-matang?"
Fahri mengangguk. "Sudah Kak."
Kak Ilham membuang nafas melalui mulutnya. Ia benar-benar harus kehilangan anak emas tim basket. "Ya... Kakak sangat menyayangkan keputusan kamu sih. Karena kamu jadi harapan paling besar di tim ini. Kakak jujur kecewa sama kamu," Kak Ilham melirik Fahri.
"Maaf, Kak..." Lirih Fahri. Batinnya berkecamuk, takut-takut Kak Ilham akan memarahinya. Fahri sangat berharap bahwa Kak Ilham akan mengerti.
"Tapi kakak gak bisa apa-apa," ucap Kak Ilham. "Keputusan kamu bagus, Ri. Kalau keputusan kamu murni untuk memperdalam ilmu agama, kakak gak bisa nolak. Tapi kalau karena ada masalah di klub, kakak harap kita bisa sama-sama cari solusinya."
"Fahri ingin pindah ekskul bukan karena ada perlakuan kurang mengenakkan dari sesama anggota ataupun pengurus. Fahri betah banget kok di basket," kata Fahri. Kak Ilham tersenyum kecil.
"Iya iya Ri. Kalau orang udah dikasih hidayah, siapa yang berhak nahan?" Tanya Kak Ilham, melirik adik kelasnya itu.
Fahri kini bisa membuang nafas lega. Ia berkali-kali meminta maaf kepada Kak Ilham. Namun esoknya, ia tak menyangka bahwa teman-teman basketnya mencegahnya untuk pindah ke rohis.
"Fahri kamu yakin mau pindah?" Cegat Kelvin ketika Fahri mengambil barang-barangnya di ruang basket.
Fahri mengangguk mantap.
"Yaaah kok pindah sih? Kamu gak sayang apa sama Kak Ilham dan yang lainnya? Mereka susah payah pertahanin kamu!" Sambung Hesti.
"Ri jangan pindah atuh!" Sahut Kiki.
Fahri berdiri tegak, menatap teman-temannnya. "Seandainya bisa dua ekskul, pasti aku bakalan tetep di sini dan masuk rohis. Tapi kalian tahu 'kan peraturan sekolah kayak gimana?" Tanya Fahri, mencoba membuat mereka mengerti.
Sekolah Fahri memang mengizinkan siswa-siswinya untuk masuk lebih dari satu ekskul. Namun hal itu berlaku hanya selama kelas X semester 1. Setelah pelantikan anggota, mereka harus memilih satu ekskul saja. Dan di sinilah Fahri. Hasil istikharahnya berkata bahwa rohis akan membuatnya lebih baik, dunia dan akhirat.
"Belajar agama bisa sendiri, Ri," kata Jaka, berusaha untuk memengaruhi Fahri.
"Kita udah ngandelin kamu!" Sahut Gemma, tangannya kini mencengkeram tangan Fahri.
"Ayolah Ri tetep di sini! Kamu harapan kita satu-satunya!" Seru Devan yakin. Tentu saja Fahri tidak menyetujui perkataannya itu.
"Kalian masih punya Farhan dan yang lainnya buat jadi kapten," kata Fahri.
"Jangan pindah plis!" Ucap Kiki, sengaja tak menghiraukan ucapan Fahri tadi.
"Kita bilang ke Kak Ilham ya kamu gak jadi keluar basket, ya?" Tawar Hesti.
Fahri mengangkat tangannya, menyuruh mereka semua untuk diam. Teman-temannya was-was menunggu apa yang akan Fahri katakan. Fahri menatap mereka satu-persatu, tatapan mereka begitu menohok Fahri. Mereka tampak berharap penuh padanya. Tetapi Fahri tahu. Jika mereka terlalu mengandalkan dirinya, mereka tidak akan berjuang sepenuhnya.
"Maaf teman-teman. Aku gak bermaksud buat kalian semua kecewa. Berat untuk aku ninggalin kalian," kata Fahri, matanya terpejam sejenak. "Tapi keputusanku udah bulat. Aku ingin masuk rohis untuk memperluas agamaku. Aku merasa ketinggalan, ilmu agamaku masih sangat kurang."
"Ilmu agama aku juga masih kurang, Ri. Kenapa kita gak belajar bareng aja?" Ucap Jaka. Yang lainnya mengangguk menyetujui.
Fahri tersenyum simpul. "Aku bakal seneng banget belajar sama kamu, Ka. Tapi... Keputusan aku udah final."
Gemma menekukkan bibir di sebelah Fahri. Hesti, Kelvin dan yang lainnya sama-sama tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka pun tidak bisa mencegah Fahri untuk mengejar Tuhannya.
"Maaf ya teman-teman semua," kata Fahri. Ia pun buru-buru mengambil tasnya dari loker dan menguncinya. Fahri mengangguk sekali dan segera keluar dari ruang basket. Ia tak tahan menatap timnya yang selama ini sudah berjuang bersamanya sampai memenangkan medali kejuaraan beberapa bulan yang lalu. Fahri menyayangi mereka semua, tentu saja. Di klub basket, ia merasakan arti persahabatan dan kekompakkan untuk meraih keberhasilan bersama-sama. Begitu berat bagi Fahri membuat keputusan ini.
Fahri menunduk untuk membetulkan tali sepatunya yang lepas. Dan pada saat itu, Gemma menepuk punggungnya. Ia menyodorkan sebuah medali emas polos.
"Ini. Kenangan dari kita," kata Gemma.
Fahri berdiri, meraih medali tersebut. "Ini apa?"
"Itu bentuk kenangan dari tim basket kalau salah satu di antara anggotanya ada yang mengundurkan diri," jelas Kelvin yang baru keluar dari ruang basket.
"Mungkin kamu belum tahu soal ini, Ri. Pas penutupan kemarin, Kak Ilham cerita kalau di ruang basket ada satu boks penuh yang isinya mendali-mendali emas kayak gini," kata Gemma. "Dan aku gak menyangka kamu jadi pemilik salah satu di antara sekian banyak mendali itu."
Jaka, Kelvin, Hesti, Kiki dan Devan menghampiri Fahri dan Gemma.
"Kita dukung apa pun keputusan kamu," ucapan Devan membuat Fahri seratus persen bernafas dengan lega.
Fahri tak kuasa menahan harunya. Ia memeluk Devan, lalu diikuti oleh Gemma, Jaka dan Kelvin. Hesti dan Kiki tersenyum menatap keakraban anggota timnya.
"Fahri?" Panggil Farhan. Fahri melepaskan pelukan dari kawan-kawannya dan terkejut melihat Farhan yang datang sembari memakai syal rohis di sekeliling dadanya.
"Farhan?!" Ujar Fahri, menatap Farhan dari atas sampai bawah. "Kok--kamu?"
"Iya Ri. Aku pindah ke rohis," jawab Farhan, terkekeh geli melihat Fahri yang kebingungan.
"Makanya kita maksa banget kamu buat gak keluar dari klub basket," sahut Devan. "Harapan kami cuman kamu, Ri."
Fahri kini paham sepenuhnya. Ia menatap Devan dan yang lainnya. "Kalian harus tahu bahwa harapan kalian semua adalah diri kalian sendiri. Bukan aku, ataupun Farhan," kata Fahri, membuat mereka tersenyum haru.
Teman-temannnya sudah tak lagi mencegahnya ketika Fahri dan Farhan berjalan meninggalkan mereka.
"Semoga sukses, Ri!" Teriak Gemma, lubuk hatinya paling dalam bangga dengan keputusan Fahri untuk memilih agama sebagai jalannya.
Bismillahirrahmanirrahim....
KAMU SEDANG MEMBACA
HABIBTY [COMPLETED]
Teen FictionIa tidak pernah menyangka bahwa ternyata, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, itu berarti Tuhan akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia pula. Fahri namanya. Seorang siswa SMA Negeri yang mencari arti dari falsafah kecintaan kep...