Tak terasa, satu tahun di kelas sebelas begitu banyak kenangan yang tak bisa dilupakan Fahri. Mulai dari memasuki lingkungan rohis dan merasakan kenikmatan beribadah yang semakin meningkat, ilmu agama yang mulai membuat Fahri punya arah, dan relasi-relasi fisabilillah yang begitu baik kepadanya.
Kak Hasbi berhasil lulus dan diterima di perguruan tinggi negeri favorit. Dan Fahri berhasil mengikuti jejaknya sebagai ketua umum rohis. Ia sudah berhasil mengalahkan Hamzah dan tiga kandidat ketua rohis yang lainnya.
Fahri menjadi ketua umum rohis sekolahnya. Tentu saja, bersama Sukainah sebagai ketua akhwat. Hamzah bertepuk tangan sambil tersenyum bangga ketika Fahri dilantik bersama ketua-ketua ekskul lainnya di depan semua peserta upacara pada hari Senin. Namun, Fahri tahu ada sorot sedih Hamzah yang ia perlihatkan di matanya. Hamzah sengaja membuat kampanye pemilihan ketua rohis tidak maksimal, karena ia tidak ingin hubungannya dengan Sukainah semakin dekat. Dengan begitu, posisi Hamzah akan tergantikan oleh Fahri yang lebih bisa menjaga hati Sukainah dibanding dirinya.
Hamzah merelakan Sukainah untuk Fahri. Hamzah sudah tidak bisa melangkah lebih jauh. Ia sudah terlambat untuk saat ini. Fahri melaju jauh di depannya. Menyusulnya, dalam segala hal.
Fahri berhasil menduduki peringkat satu di kelas, dengan memindahkan Hamzah ke peringkat tiga. Aldan masih tetap di peringkat dua, sejak kelas 10. Hamzah tentu saja sempat merasa kalah dan dikalahkan. Tapi, ia tetap berpikir jernih bahwa Fahri memang pantas untuk mendapatkan semua itu. Hamzah sudah tidak semangat belajar lagi. Ia merasa jenuh sejenuh-jenuhnya. Rasanya, ia hanya ingin cepat-cepat keluar dari SMA. Entahlah. Melihat gadis yang ia cintai kini memilih orang yang lebih pantas darinya, membuat Hamzah seperti terhunus secara perlahan. Akademiknya menurun, keceriaannya seolah hilang dan digantikan dengan kemajuan Fahri yang begitu signifikan.
Fahri tersenyum lebar kepada Sukainah yang sudah memakai syal rohis sama sepertinya. Tepuk tangan kian mereda, kini upacara sudah dibubarkan. Sukainah masih senang menunduk, namun gadis itu sering malu-malu ketika sedang mengobrol dengan Fahri.
Fahri pun melirik Wisnu yang sedang disalami adik-adik kelasnya. Ia memakai atribut Pramuka lengkap, senyumnya mengembang bahagia. Wisnu menatap Fahri. Mereka berdua saling mengangguk mantap, mengisyaratkan keberhasilan satu sama lain, lalu mendekat dan berpelukan.
Di satu sisi, Hamzah menyaksikan pemandangan itu dengan perasaan yang remuk. Ia sempat berkontak mata dengan Sukainah. Dan gadis itu tersenyum tipis padanya, dan membuat Hamzah memilih untuk pergi dari lapangan.
Sukainah melirik Fahri yang sedang sibuk bercanda dengan Wisnu. Ia pun ikut melangkahkan kaki meninggalkan lapangan.
Ia mengikuti Hamzah yang kini berbelok menuju masjid. Sukainah mengekor di belakang. Gadis itu menunggu Hamzah mengambil wudhu dengan duduk di teras masjid. Hamzah berjalan melaluinya tanpa menoleh, lengan bajunya tersingkap di atas sikut.
"Hamzah." Sukainah berdiri. Hamzah berhenti melangkah dan menatap Sukainah.
Lelaki itu tersenyum lembut. "Sebentar, ya. Dua rakaat." Hamzah mengangkat dua jemarinya. Sukainah pun mengangguk dan duduk kembali di teras.
Hamzah pun melaksanakan shalat hajat, menyampaikan segala yang ia rasakan kepada Tuhannya. Namun, rasanya lama sekali bagi Sukainah. Tak terasa, tujuh menit berlalu dan Sukainah mengira Hamzah pergi meninggalkannya. Jadi, ia putuskan untuk berputar ke teras Ikhwan dan Hamzah baru saja menyelesaikan doanya.
Sukainah menatap dari luar jendela, lalu duduk di sana.
Hamzah membetulkan posisi duduknya menjadi sila, belum beranjak dari atas sajadah. Ia menoleh pada gadis itu. Lama sekali Hamzah menatap Sukainah. Biarlah Allah yang tahu apa yang ada dihatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HABIBTY [COMPLETED]
Ficção AdolescenteIa tidak pernah menyangka bahwa ternyata, jika ia memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, itu berarti Tuhan akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia pula. Fahri namanya. Seorang siswa SMA Negeri yang mencari arti dari falsafah kecintaan kep...