Angka

40 9 0
                                    

Fahri tercenung, mengosongkan pikirannya dengan memandang keluar jendela rumah. Tangannya terlipat di atas meja dan matanya menerawang jauh ke tanaman-tanaman yang berjajar di depannya.

"Nak?" Ayah Fahri mengagetkannya. Fahri menoleh dan cepat-cepat duduk tegak.

"Eh iya Yah? Ada apa?" Kata Fahri, mengusap-usap telapak tangannya.

Rizki tersenyum. "Bukan kamu yang nanya. Tapi ayah yang nanya--ada apa, nak? Udah seminggu liburan mukanya kusuuut terus. Kayak ada yang dipikirin."

"Enggak kok Yah. Fahri baik-baik aja," sanggah Fahri, menunjukkan cengirannya agar ayahnya percaya tidak ada apa-apa yang sedang menjadi pikirannya. Tetapi semua itu tidak bisa ia tutupi karena Rizki tahu betul anaknya seperti apa.

Rizki menarik kursi kecil dan duduk di sebelah Fahri. "Kalau kamu mau apa-apa bilang, Ri. Jangan dipendem gitu. Lagian ayah juga belum ngasih hadiah buat kamu karena udah masuk lima besar," ucap Rizki, wajahnya berubah gembira. Fahri menelan ludah diam-diam. Mendengar kata lima besar, menjadi hantu dikepalanya akhir-akhir ini.

"Enggak kok. Fahri lagi gak pengen barang apa-apa," kata Fahri.

"Sepatu baru mau gak? Ayah liat yang kanan udah jebol. Mumpung ayah lagi punya uang lebih nih. Anggap aja tanda ayah bangga sama kamu," Rizki terus mengulang-ulang bahwa ia sungguh bangga dengan pencapaian Fahri.

Fahri semakin tak enak. Hatinya tak karuan. "Jangan, Yah. Sepatu Fahri masih bagus kok. Kemarin juga baru di sol."

Rizki mengerutkan dahi, agak curiga dengan anaknya yang tampak sedang menutupi sesuatu. "Apa yang kamu sembunyiin, Ri?" Nada suara Rizki menjadi datar dan serius.

Fahri menunduk, menghindari tatapan ayahnya yang seperti mengintimidasi jika sudah begini.

"Gak ada apa-apa, Yah," ucap Fahri, tak yakin.

"Jangan bohong," kata Rizki. Fahri memainkan jemarinya gelisah.

"Uhmm.. ayah.. Fahri.. mau minta maaf," kata Fahri terbata-bata Tangannya mulai basah oleh keringat. "Sebenarnya Fahri.. Fahri eng... aduh.."

Tentu saja Rizki menangkap gelagat anaknya yang mulai mencurigakan itu.

"Ayah gak akan marah kan kalau Fahri cerita?" Tanya Fahri melirik takut ayahnya.

"Tergantung," jawab Rizki.

Fahri mengernyit dan tak bisa menahan air matanya. Fahri meraung dan turun dari kursinya, langsung memeluk kaki ayahnya.

"Ayah.. Fahri minta maaf yang sebesar-besarnya sama ayah... Sebenarnya waktu ujian kemarin Fahri udah tahu soalnya--tapi gak semua kok! Fahri tahu pelajaran matematika sama IPA aja... Fahri emang salah, Yah.. Fahri mau aja nerima tawaran temen Fahri yang ngasih bocoran soal.. Fahri khilaf, Yah.. maafin Fahri.." jelas Fahri panjang lebar tanpa sedikit pun membiarkan ayahnya memotong pengakuannya. Fahri tersedu-sedu, bersujud di kaki ayahnya, tangannya menggenggam erat kedua kaki Rizki dengan penyesalan yang luar biasa.

Rizki terpaku, mencoba mempercayai apa yang baru saja anaknya bicarakan. Kini ia merasa kecewa.

"Maafin Fahri, Yah..." ucap Fahri kemudian setelah ayahnya belum juga bereaksi apa pun.

Lalu ayahnya berdiri, membuat Fahri terduduk dari posisinya.

"Ikut ayah!" Tegas Rizki. Fahri mengangguk sekali, mengusap air matanya dan mengikuti langkah Rizki ke dapur. Fahri akan menerima resiko apa pun jika dihukum oleh ayahnya.

Rizki membuka lemari di dekat kompor dan memgeluarkan tali tambang sepanjang dua meter. Dan menghadap Fahri.

Fahri menatap tali itu dengan takut. Rupanya Rizki akan memukulnya.

"Tangan kamu, sini!" Suruh Rizki. Fahri langsung mengangkat kedua tangannya  lurus.

PLTAK!

Rizki memukul tangan Fahri dengan tali tersebut. Fahri menunduk dan menutup matanya, mengernyit menahan sakit.

"Berapa pelajaran?" Tanya Rizki.

"Empat, Yah..." jawab Fahri masih memejamkan mata.

PLTAK!

Satu pecutan untuk pelajaran kimia.

PLTAK!

Fahri mulai meringis, air matanya meleleh--bukan karena sakit akibat tali yang dilucuti ke tangannya. Tetapi, karena rasa bersalah yang kini telah melumuri tangannya dengan dosa berbuat curang.

PLTAK!

Untuk pelajaran fisika dan PLTAK! Terakhir, untuk biologi.

Rizki menurunkan tangannya dan melempar tali ke sembarang tempat. Fahri mulai membuka matanya perlahan, menatap tangannya yang bergetar pelan. Telapaknya sudah memerah dengan garis-garis bekas tali tadi mendarat dikulitnya.

Rizki mengatur nafasnya, sejujurnya ia tak benar-benar marah. Rizki hanya tak menyangka, bahwa Fahri menggunakan cara yang salah hanya untuk membuatnya bahagia. Ia amat mengerti bahwa Fahri ingin sekali memberikan yang terbaik padanya. Hanya saja, untuk yang satu ini tidak bisa ia toleransi.

Rizki mendekat kepada Fahri yang menangis dalam diam, bahunya naik turun terguncang. Tangis Fahri nampak sangat bersalah.

"Ri?" Kata Rizki pelan. Fahri masih sesegukan, menunduk dan menggenggam kausnya erat. "Ayah gak pernah minta kamu buat sukses dengan cara apa pun. Kamu ngerti kan maksud ayah?"

Fahri mengangguk, masih terisak.

"Ayah gak mau kamu mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara," kata Rizki. "Hasil akhirnya bakal tetep beda, Ri. Ayah gak mau punya anak yang cuman ngejar nilai dan malah melupakan niat buat murni mencari ilmu. Nilai cuman sebatas angka. Semua orang bisa dapetin angka. Tapi tidak dengan ilmu yang didapatkan karena niat tulus karena Allah."

Fahri tertegun, mengusap matanya.

"Ayah gak marah, nak. Ayah tahan buat gak marah sama kamu. Ayah sadar kamu perlu ridho ayah. Makanya ayah mukul kamu pake tali tadi karena apa? Ayah mau kamu menanggung balasannya di dunia aja, jangan di akhirat," ucapan Rizki membuat Fahri kembali menangis. Fahri menutup matanya dengan lengan kanannya, langsung memeluk ayahnya erat.

"Afwan, Yah... Afwan...." Fahri mencengkeram punggung Rizki. Rizki mengusap puncak kepala anaknya penuh kasih sayang.

"Iya, Ri. Ayah maafin kamu," jawaban Rizki membuat Fahri bernafas lega. Rizki melepas pelukan Fahri dan memegang kedua pundaknya.

Fahri langsung berkata, "Fahri janji sama ayah gak akan ngelakuin hal itu lagi."

Rizki tersenyum kecil. "Jangan janji sama ayah. Janji sama Allah."

Fahri terenyuh dan mengangguk pelan.

"Cuman, ayah pengen kamu ingetin Ramdan buat gak ngelakuin itu lagi. Ayah mau kamu bikin Ramdan sadar kalau apa yang dia lakukan itu salah. Secara gak langsung sekarang dia jadi tanggung jawab kamu," ucap Rizki. Fahri mulai berpikir.

"Tapi caranya gimana, Yah?" Tanya Fahri meminta penjelasan.

Rizki tersenyum. "Kamu akan tahu."

HABIBTY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang