Tidak ada yang mengatakan kepada Fendra kalau ternyata menikah itu sangat berat. Bukan masalah beratnya menghidupi seorang istri. Bukan! Ia punya pekerjaan dan bisa bekerja siang malam kalau cuma harus menyediakan uang sayur dan pakaian. Sama sekali bukan itu. Ia tidak tahu kalau menikah itu bisa sangat berat di "menahan diri"Dan kenapa pula sebenarnya ia harus menahan diri? Iya, kan? Karena katanya sudah halal; halal dilihat, halal dipegang, halal di...
Bingung bener jadinya.
Dan "menahan diri" itu jadi semakin berat sejak ujian semester selesai. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah; kegiatan di sekolah berkurang, kesibukan warung bertambah, -karena banyak pelajar-pelajar seperti dirinya yang memanfaatkan waktu luang selepas tes itu untuk nongkrong di komunitas. Kegiatan bengkel juga berpusar antara halaman rumahnya dan kios Bang Palah yang hanya beberapa langkah jaraknya.
Jadilah ia banyak berkitar di sekeliling Karima yang sibuk di dapur; membantu, tapi tidak benar-benar membantu. Sibuk tapi tidak benar-benar sibuk. Seharusnya ia bisa memaksa diri menghabiskan lebih banyak waktu di depan bengkel Bang Palah. Tapi, ya ampun, kok pantat ini berat sekali mau dibawa pergi. Yang ada ia tambah betah saja berdesak-desakan di dapur sempit dengan Karima.
Fendra juga baru tahu, kalau cewek putih memakai baju putih itu bisa bikin kepala cenut-cenut. Harusnya nggak usah dilihat, tapi kok ya mubazir, karena boleh dilihat. Tapi dilihat kok tambah sakit kepala. Pengen megang, tapi takut ketagihan. Akhirnya ia sibuk sekali mencuri kesempatan megang-megang (dikiiiit ajah). Mana yang lebih halus, ya? Bajunya, apa kulitnya?... Eh, bajunya wangi... tapi tengkuk Karima lebih wangi... rambutnya juga.
Fendra bahkan melihat kaos putih Karima yang ketat di dalam mimpinya, menyentuh kulitnya, mencium wanginya, membelai rambutnya, dan akhirnya berakhir 'bahagia' sendirian. 'Bahagia' yang nelangsa... aaaaa....
Kenapa menikah justru bisa semenderita ini?
Seperti pagi ini, ia bangun kesiangan dengan badan meriang karena sebelum subuh tadi harus mandi. Air panas di kamar mandi tidak berfungsi karena gasnya habis dan ia malas mengganti. Jadilah Fendra terpaksa keramas dengan air dingin. Bbbbrrrrrr
Sekarang di areal sumur, di bawah siraman matahari, ia harus melihat Karima duduk di bangku kecil, menghadapi bak karet cucian, dengan paha tersingkap sebagian dari daster putihnya yang basah. Cewek itu hanya mengenakan short spandex hitam di bawah gaunnya yang lebar, tipis dan berenda-renda.
Waduh! Mampus gue! Harus pergi atau harus bantuin nyuci, ya?
"Udah bangun, Ndra?"
Terlambat! Karima sudah terlanjur melihatnya.
Kepalanya berputar sebentar menengok kamar ibunya. Tidak mungkin sang ibu belum bangun sesiang ini kecuali beliau sakit. Kalau tidak ada di dapur, berarti beliau pergi.
"Sepi amat, Ma? Ibu ke mana?"
"Ibu nganter Fahri ke sekolah. Ada penyuluhan sama imunisasi, katanya. Titis masuk, katanya remidi Bahasa Inggris."
Weeiicch... boleh bantuin nyuci dong!
"Kok dicuci manual bajunya? Mesinnya kenapa?"
"Listriknya habis, Ndra! Aku nggak tahu kontak yang jual token. Lagian kamu juga sih, dipanggil-panggil dari tadi nggak bangun juga." Karima manyun pura-pura, menguncir bibir sambil melirik cantik, membuat Fendra nyaris ambruk di ambang pintu.
"Iya deh..., aku pesenin listrik." Sosoknya berbalik menuju ke kamar depan.
"Ada baju kotor nggak, Ndra, dicuci sekalian sini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lean On Me (Bersandarlah Padaku )
Random(18+ Rated for violences and harsh words - Rating 18+ untuk kekerasan dan ucapan kasar) Fendra, seorang montir komunitas motor yang berpengaruh, harus berurusan dengan cewek perfeksionis teman sekolah yang ternyata keponakan dari musuh besar kelompo...