34# Ternyata Sesakit Ini

254 75 33
                                    

Ini cuma sementara, kan? Cuma beberapa hari. Setelah itu mereka akan kembali ke sini... dan dia bisa melihat orang itu lagi.

Karima menatap punggung Fendra yang lebar di ambang jalan masuk dan merasa seolah cowok itu yang akan pergi, bukan dirinya. Entah hanya perasaannya saja atau Fendra memang menghindari bersitatap dan berbicara dengannya, Karima tidak tahu. Tapi sejak dia kembali dari tempat Mas Yudi tadi siang, orang itu memang jadi lebih pendiam, kecuali kepada Titis dan Ibu, juga Fahri. Ada apa sebenarnya? Apakah dirinya berbuat salah?

"Jangan Lompat-lompat, Buyung! Kalau lo jatuh, yang benjol siapa?!" Fendra memperingatkan adiknya yang melompat lompat di atas kasur yang digelar di bak truk. Menjelang petang, kendaraan pengangkut material itu sudah berubah menjadi kamar hotel dengan matras ukuran queen, kursi malas Ibu, sebuah peti styrofoam yang penuh dengan makanan dan minuman, dan monitor LCD yang terkoneksi dengan ponsel Titis (siap maraton drakor). Perjalanan kali ini bisa saja menjadi asyik gila... Seandainya Fendra ikut juga.

Sebenarnya apa yang dibahas Fendra bersama Mas Yudi dan anak-anak semut? Apa yang membuatnya setegang itu; yang membuatnya berubah pikiran begitu cepat seperti tadi siang?

"Fahri mau tinggal di siniii! Selamanyaaa!"

"Selamanya.... Emang kamu mau jadi sopir truk?" Titis menaikkan tas pakaian Karima dan mencari tempat supaya barang-barang mereka tidak diinjak Fahri.

"Kapan berangkatnya, Bang?!"

"Ayo turun! Pakai jaketnya yang bener. Kalau Mang Darman udah selesai makan, kalian bisa berangkat, ntar."

Fendra berjongkok di belakang truk membetulkan jaket Fahri yang belum dikancingkan, sementara dirinya berjalan melewati pintu menuju tangga pendek yang menjadi jalan naik ke bak truk itu.

Sudah? Begini saja? Apa Fendra akan tetap tidak bicara? Mereka akan berpisah tanpa mengatakan apa-apa?

Karima mencoba untuk tidak memikirkan semua itu lagi dan memanjat naik. Ia bertemu mata dengan Titis yang seperti membaca dengan jelas kesedihannya. Tiba- tiba adik tengah Fendra itu bangkit dan meluncur kembali ke halaman.

"Charger gue ketinggalan! "

Karima melihat Fahri kembali naik ke belakang truk dengan penuh semangat saat Titis mengamit jemari Fendra dengan kasar dan menariknya ke dalam.

Ia duduk di tepi peti kayu dan memandang keremangan di sekelilingnya. Kalau boleh memilih, Karima mungkin lebih suka pergi ke Jawa Timur dengan kereta api; sesuatu yang memang digunakan untuk mengangkut manusia, bukan kendaraan pengusung pasir dan sayuran, juga binatang ternak seperti ini. Kalau mau mengeluh, Karima akan bilang lampu penerangannya terlalu suram. Ini juga perjalanan yang konyol; kendaraannya konyol, tingkah Fahri yang ribut seperti kera sakti juga konyol, perasaan cengengnya juga konyol.

Kalau boleh bilang, ia tidak ingin pergi.

Tapi Fendra juga tidak ingin ia berada di sini, kan? Ia memaksa -seolah dengan segala cara- agar Karima pergi ke Probolinggo berserta ibunya.

"Nggak ada yang ketinggalan, Ma?"

Karima tersentak. Ternyata ia tadi melamun. Fendra berdiri di pertengahan tangga memandanginya, sedang Fahri sudah tidak ada.

Ia menarik nafas dan menegakkan duduk. Mengingat lagi semua yang harus dibawa, "Enggak... Kayaknya nggak ada."

Cowok itu melanjutkan naik dan mengambil tempat di sampingnya.

"Kok cemberut gitu? Harusnya kamu senang, kan, bentar lagi bisa lihat Surabaya, tempat kamu ngelanjutin belajar nanti."

"Kamu yang kelihatannya lebih senang karena aku pergi dari sini." Ia tak bisa menahan gelisah dan marah serta penasaran yang dirasakannya.

Lean On Me (Bersandarlah Padaku )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang