30# Mengumpan Dan Menunggu

361 82 27
                                    

Rasanya seperti dimasukkan ke ruang penghakiman.

Karima membawa baki minuman dengan tangan gemetar menuju ruang tamu. Bagaimanapun ia berusaha, tetapi kedua tungkainya seolah menolak untuk membawa tubuhnya. Ia terpaku di lorong dapur, sampai kemudian Titis ikut memegang nampan itu, bermaksud mengambil alih pekerjaannya.

"Jangan.... Nggak usah.... Aku butuh alasan buat ke sana."

Adik iparnya itu mengerti, memberinya jalan.

Di ruang tamu Fendra sedang menghadapi budenya, juga Azzam dan adiknya yang menuntut penjelasan tentang status Karima sebagai istri Fendra. Bukan hanya keluarganya, di tempat itu juga ada Bang Palah, Bang Rawak, serta Pak Bajang yang jauh-jauh datang dari Perum Bukit Indah. Mereka hadir untuk memberikan penjelasan tentang pernikahannya.

Jadi... Fendra tidak bisa dikatakan berdiri sendirian, kan? Seharusnya dia akan baik baik saja. Iya kan?

"Nggak mungkin Karima mau begitu saja dinikahi sama teman sendiri, kalau tidak ada paksaan atau kejadian yang membuatnya terpaksa menerima itu. Saya budenya! Saya walinya yang sah! Bagaimana mungkin saya membiarkan masa depan keponakan saya hancur oleh pernikahan di usia dini? Dan lagi pernikahan apa yang terjadi tanpa adanya wali?! Ini nggak sah!"

"Tapi Bu, keadaan Mbak Karima saat itu memang benar-benar pelik! Dia sendirian, sedang berkabung, dan terus saja ketakutan dan was-was karena ancaman Igo. Memangnya di manaaa Sampeyan saat ituuu?! Apa Sampeyan pernah ngasih kabar atau sekedar telepon Pak Mardi atau anaknya? Mana mungkin Mbak Karima tahu dia masih punya kerabat kalau Sampeyan saja nggak pernah ketahuan ujung pangkalnya!" Pak Bajang memberikan pembelaan dengan geram.

"Memangnya siapa lagi yang bisa menjadi wali saya, Bude?"

Karima meletakkan nampan minumannya di atas meja. Nafasnya tercekat menahan tangisan. Ia tidak boleh lemah sekarang, demi Fendra.

"Saya sudah tidak punya ayah. Tidak ada kakek atau paman, apalagi saudara laki-laki yang bisa menjadi wali. Saya sudah melakukan hal yang benar dengan menunjuk Pak Bajang sebagai wali hakim, karena dia yang memimpin di lingkungan tempat saya tinggal."

"Tetap saja pernikahan ini tidak ada dari sudut pandang hukum!"

Karima tidak mengerti kenapa sekarang budenya menjadi orang yang paling keras menyangkal kenyataan ini. Azzam juga kelihatan kecewa, tetapi ia lebih banyak menahan diri. Apakah budenya dan Azzam memang punya agenda tertentu untuk Karima? Bude Marni ingin menjodohkannya dengan Azzam?

"Bu Yusmarni, ini anak-anak sudah besar walaupun masih muda-muda... " Bang Rawak membuka suara dengan nada baritonnya yang sareh dan menenangkan. "Pemerintah saja sudah menganggap mereka punya hak untuk memilih dalam Pemilu. Saya rasa adil kalau kita memberi mereka kesempatan juga memilih jalan hidup mereka sendiri."

Semua mata beralih kepada Karima yang berdiri sedikit di belakang Fendra, seolah bertanya apa yang akan mereka lakukan dengan situasi ini. Secara otomatis tangan Karima mengamit jemari cowok itu, berharap kehadirannya bisa memberi kekuatan, sekaligus jawaban bagi mereka.

"Saya akan meresmikan pernikahan ini begitu kami menyelesaikan ujian akhir... " Fendra berucap, berpaling sedikit menatapnya.

"Setelah itu apa? Karima akan jadi ibu rumah tangga, begitu? Punya anak dan jadi pelayan di warung makan?! "

"Bu Marni! " Ibu Sakinah mengeraskan suaranya. "Tolong jangan menghina cara hidup saya! Saya berjualan dan mendapat penghidupan yang halal di sini. Sampean tidak perlu khawatir! Anak saya juga bisa menghidupi Karima dengan pendapatan yang halal. Sampeyan juga tidak perlu khawatir pendidikan Karima akan terbengkelai. Kalau dia memang butuh sekolah di Surabaya, anak saya Fendra akan menjaga dia di sana. Kalau Fendra masih tidak mau, saya akan memboyong semua keluarga saya pulang ke Probolinggo, supaya bisa menemani Karima belajar di sana! "

Lean On Me (Bersandarlah Padaku )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang