Sakinah duduk menyeruput air panas di salah satu bangku dekat dapur. Wajahnya tampak keruh dan sembab. Apakah ibunya tidak tidur sepanjang malam kemarin? Karena memikirkan perbuatannya?
"Ibu sakit?... Fendra antar ke dokter, Bu?"
Wanita itu menggeleng dalam desah, "Ibu cuma mau istirahat sendirian sebentar. Nanti sore harus ngawal teman-teman masak di tempat orang punya kerja. Kalian pergi main ke tempat Bang Rawak, sana. Ajak Fahri juga." Dengan ucapannya itu, Sakinah bangkit dan berlalu kembali ke kamarnya.
Fendra bertukar tatap dengan Titis di konter dapur. Jelas adiknya juga merasakan gelagat tidak senang sang ibu. Apa karena Karima? Ibu keluar setelah mendengar Karima tertawa, lalu mereka semua diusir keluar rumah. Ibu masih tidak sepenuhnya bisa menerima kehadiran Karima?
Ia baru menyadari tatapan bertanya di hadapannya, setelah melihat Titis membawakan baki sarapan untuk ibu. Bibirnya mengulas senyum tipis, tapi Fendra tidak tersenyum dari hatinya.
"Mumpung libur, kita jenguk Bang Rawak, yuk!"
****
Dalam perjalanan ke rumah pemimpin komunitas motor itu, Karima baru tahu kalau Bang Rawak hidup membujang di sebuah kontrakan beberapa kilometer dari rumah Fendra. Laki-laki itu tidak memiliki keluarga, dan bekerja sebagai montir di luar kesibukannya mondar-mandir dalam Komunitas Semut Hitam. Tempat tinggalnya hanyalah kontrakan kecil semi permanen dengan tiga ruangan yang tidak seberapa luas; Satu ruang depan, sebuah kamar tidur dan areal belakang yang menjadi dapur dan mandi cuci.
Di dapur itulah sekarang Karima dan Titis berada, menjerang air dan memanaskan gulai yang mereka bawa, juga menata jajanan dan memasak nasi. Karena seperti umumnya pria bujang, Bang Rawak bukan orang yang telaten mengurus diri dan memasak sendiri. Walaupun ada Anak-anak Semut yang bergantian menemani pria sakit itu setiap hari, tapi begitu ada Titis dan Karima, mereka seperti memanfaatkan keadaan dan berleha-leha. Mumpung ada kaum hawa; urusan perut pasti beres semua.
Karima membuat satu jumbo teh, karena ada banyak Anak Semut di depan. Di hari Minggu seperti ini, mereka suka sekali berkerumun di mana saja ada Bang Rawak dan makanan. Untung saja mereka membawa gulai yang cukup untuk semua orang, dan Bang Palah membawa sisa snack dari acara semalam, walau tidak semua orang tahu makanan itu dari pernikahan Fendra dan Karima.
"Aksi mereka makin gencar aja. Sudah ada tiga komunitas lagi yang dibekukan polisi. Orang-orang yang kena fitnah banyak yang ditangkap dan bahkan ada yang diamuk masa. Dah kayak komunis aja nih gaster, dah!"
Langkah Karima terhenti di balik gorden, mendengar suara Bang Rawak yang serak itu berat oleh resah. Kelihatannya mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting. Ia tahu Fendra ada di antara orang-orang yang duduk di ruang depan itu. Haruskah ia mengeluarkan minuman ini sekarang?
"Kalau benar orang yang dorong lo ke jurang waktu itu pamannya si Eneng, berarti tambah besar kemungkinannya kalau dia terlibat dengan Geng Ninja."
Fendra di dorong ke jurang? Oleh pamannya "si Eneng"? Apa yang dimaksud 'si Eneng' itu dirinya? Berarti yang mendorong Fendra ke jurang adalah....
Igo....
Kenapa sekarang omnya juga menyasar Fendra? Bagaimana dia bisa tahu tentang Fendra?
Karima terlarut dalam lamunan saat tiba-tiba gorden disibak oleh montir itu.
"Ngapain kamu di sini, Ma?"
Ia tergagap, tapi tangannya mengangkat baki minuman. Cowok jangkung itu segera mengambil alih, "Mending kamu bantuin Titis di belakang, deh. Kalau dengerin yang kita omongin, ntar kamu takut, lagi. Ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lean On Me (Bersandarlah Padaku )
Random(18+ Rated for violences and harsh words - Rating 18+ untuk kekerasan dan ucapan kasar) Fendra, seorang montir komunitas motor yang berpengaruh, harus berurusan dengan cewek perfeksionis teman sekolah yang ternyata keponakan dari musuh besar kelompo...