Sinar kuning matahari sudah menua ketika Fendra membalik motornya dan menyusuri jalan kembali dari toko besi. Jantungnya seperti dicacah-cacah oleh gelisah dan terseret-seret di belakang motornya yang melaju sangat pelan. Ia nyaris kehilangan keyakinan kalau Karima masih akan ditemuinya di jalan itu, secara Fendra sudah melaluinya dua kali sekarang.
Ke mana lagi ia harus mencari? Siapa yang harus ditanyai? Karima tidak membawa ponselnya dan semua orang yang berpapasan dengannya sudah ia tanya.
Kalau orang bisa meninju wajah dan badannya sendiri sekeras mereka meninju orang lain, Fendra akan menghajar dirinya sendiri karena berlaku seiseng itu pada Karima.
Seiseng?
Setega itu..., bukan..., sejahat itu... seiblis itu pada Karima. Apa yang dilakukannya bukan lagi sekedar iseng, tapi sebuah kejahatan.... Sebuah kebangsatan. Ia pantas mati.
Bagiamana kalau terjadi sesuatu pada Karima? Kalau istrinya sampai celaka atau Igo menculiknya, Fendra akan....
Desahnya terhela oleh perasaan mual dan cemas yang menekan. Cowok itu melambat sebentar di tepian jalan yang terbuka, mendesah dan berharap sisa matahari mampu menghangatkan buku jarinya yang kaku dan membeku.
Ekor matanya menangkap keredap pantulan cahaya di atas permukaan empang, agak jauh di bawah jalan. Air kolam itu beriak bundar-bundar karena seseorang melempari permukaannya dengan sesuatu.
Seseorang... dengan blouse putih dan kardigan ungu. Rambutnya yang panjang berkibaran, tapi ia tak tampak terganggu.
Karima....
Fendra meninggalkan motornya di tepi jalan dan menemukan setapak curam yang bisa membawanya turun. Dalam beberapa detik, langkahnya sudah berkeresak beberapa meter di belakang gadis itu.
"Ma...."
Cewek itu tidak berpaling, masih mengambil batu dari tangan kirinya dan melempar ke tengah empang dengan tangan kanan.
Berapa banyak batu yang dibawanya? Apa kira-kira Fendra harus tiarap kalau tiba-tiba Karima memutuskan untuk mengganti target lemparan?
"Aku cariin mondar-mandir dari tadi, Maa... "
"Aku tahu. Kedengeran dari motornya.... Tapi nggak mondar-mandir, kan?! Cuma dua kali, juga!!" Karima mengeremik, lirih dan tak peduli.
"Maaf, ya, Ma.... Kamu... marah?"
Gerak tangan Karima yang mau melempar batu terhenti di udara, "Enggak.... Aku nggak marah.... Cuma.... "
Tubuh rampingnya berputar, dan Fendra melihat wajah merah padam yang berurai air mata menahan kemarahan, "AKU PENGEN BANGET BUNUH KAMU SEKARANG!!"
Detik berikutnya bongkahan batu sebesar kepalan tangan meluncur ke arahnya dengan sangat cepat. Tidak hanya satu, dua atau tiga, tapi belasan! Karena ternyata Karima juga mengisi saku kardigannya dengan kerakal-kerakal sebesar tangannya.
"DASAR SLOMPRET!! GARONG MOTOR NGGAK BERTANGGUNG JAWAB!!"
"Aduh!! Ampun Ma.... Aku minta maaf, Ma... Tadinya buat lucu-lucuan aja, karena kamu keras kepala...."
"Lucu-lucuan? Kayak gitu lucu, kamu bilang?!... INI NIH LUCU!! MONYET EMANG LUCU KALAU DITIMPUK BATU!!"
CTAAKK!...CTAAKK!!
"Tapi habis itu aku lupa kalau kamu ngikutin aku... Aku pikir kamu bakal nyerah terus balik pulang... "
"Uuurrgghh!!! Dasar Bego! Nggak punya perasaan!!"
Fendra harus menerima hujan meteor lokal dari istrinya. Ia berjongkok lebih rendah untuk memperkecil daerah sasaran Karima di badan dan kepalanya.
"Maa.... Udah dong, Ma...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lean On Me (Bersandarlah Padaku )
Aléatoire(18+ Rated for violences and harsh words - Rating 18+ untuk kekerasan dan ucapan kasar) Fendra, seorang montir komunitas motor yang berpengaruh, harus berurusan dengan cewek perfeksionis teman sekolah yang ternyata keponakan dari musuh besar kelompo...