22# Ternyata Nggak Gampang

411 90 87
                                    

Ini Sabtu pagi yang murung. Bahkan setelah lewat pukul enam, matahari masih memilih tidur bergelung. Dirinya juga. Selain karena alasan ibu Sakinah yang mengarantina mereka semua untuk konsentrasi belajar, juga karena Karima hampir tidak bisa tidur sepanjang malam. Ia belum pernah merasa sekesal ini pada Fendra; bahkan ketika orang itu masih tampil sebagai cowok berandal, anggota geng motor garong, yang bau miras dan solar.

Mereka sampai di rumah jauh setelah lewat pukul sebelas. Hujan tiba-tiba turun sangat deras di akhir perjalanan, dan mereka masuk dalam keadaan basah kuyup. Untung semua orang sudah tidur. Tidak ada yang menegurnya; menyuruhnya mandi air hangat; membuatkan teh panas; dan melihat air matanya berleleran secara memalukan. Kecuali Fendra.

Ia mengabaikan semua teguran orang itu dan berangkat tidur setelah mengganti baju serta mengeringkan rambutnya. Berani sumpah Fendra pasti keluar lagi untuk bertemu teman-temannya setelah ia masuk kamar. Buat apa basa-basi menyuruhnya mandi air hangat dan minum teh panas segala?! Apapun yang dilakukannya, tidak ada yang lebih penting buat cowok itu dibanding teman-temannya!

Cuma butuh satu kali telpon, coba!! Satu kali telpon dan dia sudah tergesa-gesa kabur kayak buronan dikejar polisi! Dan bisa-bisanya Fendra mikir buat ninggalin dia! Di jalan, di kantor polisi, di rumah Amelia, semuanya sama saja. Intinya dia ditinggalkan! Dikalahkan demi ketemuan sama teman-temannya!

Padahal semalam itu pertama kalinya mereka bisa keluar berdua saja!

Brengsek! Brengsek! Brengsek!! Dasar tukang ngelayap! Tongkrong sana! Tongkrong sini! Ngelakuin hal nggak mutu yang nggak habis-habis!

Karima terisak kesal saat ia berjalan cepat menaiki teras couple kamarnya. Ia melempar tas plastik berisi teratai-teratai yang baru saja dibelinya ke halaman tengah yang setengah banjir oleh air hujan. Beberapa bunganya jatuh dan hanyut ke saluran air, tapi ia tidak peduli. Karima masuk dan menangis tanpa suara; menahan kedongkolan sampai pagi.

Saat bangun subuh tadi, ia masih melihat tas plastik itu terserak bersama sebagian isinya di dekat gorong-gorong yang bertutup kawat, tapi sekarang sudah tidak ada....

Lirikannya berkitar mencari-cari. Apa benar-benar hanyut ke selokan? Rasanya tidak mungkin. Bunga-bunga itu terlalu besar. Lagian, selokannya kan ditutup kawat strimin. Atau disapu Titis? Atau malah sudah dibuang Fendra? Biasanya cowok itu yang bertugas mengeluarkan sampah dari dalam rumah, dan sekarang keranjang sampah besar di sudut halaman tengah juga sudah kosong.

Matanya tiba-tiba menghangat lagi menyadari hal itu. Ada sesal yang menyesak di dalam dada.

Dibuang...! Tega bener....!

"Eh? Mbak Karima baru berjemur?"

Titis yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang rumah utama melihatnya terheran-heran.

"Enggak..."

"Terus ngapain berdiri di situ?" Anak itu sedikit terkekeh, memainkan handuk yang baru dipakainya.

"Ng... nggak pa-pa.... berjemur aja!" Eh! Salah jawab!

Mendengarnya, Titis semakin tergelak, "Noh..., bunganya Titis jemur di atas.... Lagian kenapa dicari lagi kalau udah dibuang?"

Karima mengikuti gerak dagu Titis yang menunjuk ke loteng. Teratainya berjajar di tali jemuran, ditahan dengan jepit pakaian.

"Bunga apaan?! Aku nggak nyari bunga!"

Titis mengikik lagi, merentang handuknya di jemuran stainless steel di bawah matahari, "Iya, deeehh... nggak nyari bunganyaaa... Mbak sama Abang ini pasangan ajaib banget, deh. Sumpah!"

Adik iparnya masuk lebih dulu ke kamar mereka, dan Karima menyempatkan melirik sekilas teratainya. Tetapi kemudian sebuah wajah lain muncul di loteng itu, membuat ia seketika memalingkan muka dan menyugar rambut yang masih sedikit lembab di bawah matahari; berpura-pura mengeringkannya.

Lean On Me (Bersandarlah Padaku )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang