8# Pasar Malam

387 95 22
                                    

# part ini saya dedikasikan untuk Papah (18.8.48 - 7.12.19) pria luar biasa sumber inspirasi dan cinta pertama saya.

Terimakasih sudah mengajari saya bermimpi dan berimajinasi.

Terimakasih sudah percaya saya bisa menjadi penulis.

Terimakasih untuk mesin ketik pertama saya.

Terimakasih sudah mengajari saya bagaimana cara belajar segala hal.

Tidak ada maut yang bisa memisahkan kita. Tidak perlu ada air mata. Karena kau akan
hidup melalui saya.... Papah💝#

****
Apa ia terlambat?

Fendra melihat cewek itu keluar dengan setengah berlari dari teras. Tangan kirinya yang bebas menyibak rambut panjang berantakan yang menutupi wajah. Ia menengok ke belakang di mana pintu depan berada, lalu sibuk mengetik sesuatu pada HP-nya tanpa sekalipun mengangkat pandangan. Yang menjadi perhatian Fendra adalah sebilah pisau dapur besar yang digenggamnya begitu erat dengan tangan kanan. Benda itu gemetar ketika kedua ibu jari Karima mengetik di papan ponsel. Ia menyibakkan sekali lagi rambutnya yang menurun di sisi wajah, menampilkan sekilas lebam merah di tulang pipi dan sudut bibir.

Hatinya serasa luruh dari tubuh dan hanyut ke gorong-gorong di bawah kakinya. Apakah hal buruk yang terjadi sebelum kedatangannya tadi, sampai Karima harus menghunus pisau sebesar itu untuk membela diri?

Sang ketua kelas yang selalu menjadi idola itu tampak rapuh ketika ia menatap sekitar tanpa sedikitpun fokus dengan pandangannya. Bibirnya gemetar berbicara di ponsel; menyebut nama Mas Jono dan ayahnya.

Jadi benar, ayahnya belum pulang?

Fendra dengan jelas melihat RexMac hitam itu terparkir di samping rumah. Pada suatu detik ada pergerakan yang tidak begitu kentara dari jendela ruang depan di balik gorden transparan. Seseorang sedang mengawasi mereka.

Karima terisak dan hampir jatuh berjongkok di tempatnya berdiri. Saat itulah Fendra bergerak ke tengah jalan, dan gadis itu mengangkat matanya.

Pandangan mereka bersirobok. Langkah Fendra terhenti. Sejenak ia ragu; bagaimana jika Karima bersikeras menolak bantuannya? Bagaimana jika ia tetap keras kepala dan tidak membiarkan Fendra mencampuri urusannya? Toh walau tidak dikatakan, mereka sudah saling bersepakat untuk tidak merecoki kehidupan satu sama lain.

Tapi ia juga tidak bisa mundur lagi, kan?

"Lo mau keluar...?" ia akhirnya bersuara, "Jalan sebentar?"

Sesaat Karima terpaku, tetapi kemudian kepalanya mengangguk kecil. Fendra mengawasinya menyeberang jalan sambil memasukkan pisau besarnya ke dalam tas ketika ia naik ke atas motor. Detik berikutnya Karima sudah membonceng di belakangnya.

Ia bahkan tidak membawa helm cadangan....

Tangannya memutar kunci start, batal menyerahkan helmnya sendiri kepada Karima; cewek itu pasti tidak mau memakainya. Tiba-tiba saja teriakan Titis seperti menggema di dalam kepala, "Sekali-sekali helm itu dicuci, ya, Bang!"

Ck! Ia benci kalau Titis selalu benar...

Dalam satu kilometer pertama, Fendra tidak tahu harus bicara apa pada Karima. Wajahnya yang sekali waktu terlihat dari spion motor juga tidak tampak berniat mengatakan sesuatu. Dia sudah tidak menangis, tapi warna merah di tulang pipinya semakin nyata dan membiru.

Apa ia harus menanyakan keadaannya? 'Lo nggak papa?', begitu?

Tapi bukannya sudah jelas kalau Karima bukan tidak apa-apa? Apa pantas kalau ia bertanya apa yang terjadi di rumahnya tadi? 'Perlu lapor polisi?', begitu?

Lean On Me (Bersandarlah Padaku )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang