15# Akhir Galau

355 100 40
                                    

#LOM UPDATE.!!! Kalau kalian yang diposisi karima, mau enggak Terima fendra? Dan apa alasan kalian?

Jangan lupa votenya ya sayang. #

****

".... Aku sungguh-sungguh dengan semua ini, Ma. Kalau kau setuju, aku akan meminta Pak Bajang menjadi wali hakim untukmu dan menikahkan kita malam ini."

"Apa?! Lo gila, Ndra!! Kenapa buru-buru sekali? Malam ini?! Lo pikir nikah itu semudah itu? Motif elo apa sebenarnya?!"

Karima mendengar Nilam berteriak protes di sampingnya. Cecarannya berlanjut dengan tuduhan terhadap Fendra yang mungkin punya niat terselubung. Tapi cowok itu menatap tanpa berkedip kepadanya; seperti membangun jembatan keyakinan dengan Karima.

Apa bedanya malam ini dan besok pagi?

Dalam kehidupannya yang hancur dan carut marut penuh duka dan ancaman seperti ini, apa yang membedakan kesungguhan dan kegilaan?

Ia seperti seseorang yang terselubungi kegelapan. Karima sama sekali tidak bisa melihat apa yang ada di depan atau samping kiri kanannya, atau mampu melangkah dengan kepastian bahwa ia tidak akan terluka.

Jadi, jika ada sebuah tangan yang ia kenal mengamitnya dan menuntunnya ke suatu arah, bukankah itu lebih baik dari pada berhenti di tempatnya semula dan pasrah?

Pilihannya hanya berhenti, sendiri, dan menanti, atau berpindah ke satu arah, dengan harapan bahwa di sana nanti akan ada cahaya yang bisa memberinya pilihan.

Apa bedanya malam ini dan besok pagi? Atau lusa, atau sepuluh tahun lagi? Apa bedanya kesungguhan dan kegilaan? Dari semua pilihan, hanya cowok ini yang bicara dengan penuh keyakinan dan mengatakan bahwa ia sungguh-sungguh. Jadi.... masih mampukah ia berpikir dan berandai-andai lebih jauh?

"Oke.... Aku setuju... Terserah kau saja..."

"What?! Rima! Lo gila!!"

Ia melihat Fendra menegakkan duduknya dan menghela nafas lega. Cowok itu mengangguk penuh kemantapan dan beralih menatap Nilam yang masih berwajah horor tidak percaya.

"Kamu bisa, kan, antar Karima ke rumahnya ntar. Nanti aku telpon kalau aku udah mastiin di sana aman..." mata coklat itu menatapnya sekali lagi, "Aku akan bicara sama Pak Bajang, Ma."

Karima merasa dirinya masih mengambang sampai jauh setelah cowok itu pergi. Rasanya seperti mimpi. Jika tidak melihat Nilam yang terus mengajukan protes tidak percaya di sampingnya, Karima akan berpikir kalau jawabannya tadi adalah mimpi.

Sekarang masih bisakah ia mundur lagi? Atas pertimbangan apa? Adakah pilihan yang lebih baik dari pada ini?

****

Fendra sudah tahu ia akan menerima kesimpulan negatif dari siapapun yang mendengar niatnya. Siapa yang tidak akan berpikir macam-macam? Dirinya dan Karima masih sekolah walau hanya tinggal beberapa bulan lagi. Mereka masih sangat muda. Apa memangnya yang menyebabkan anak-anak muda menikah begitu tergesa-gesa kalau bukan karena...

"Hamil duluan?"

Rahangnya mengatup keras dan nafasnya terhela pelan menahan kesabaran. Ini adalah resiko yang harus ia hadapi atas pilihannya sendiri.

"Demi Allah, Pak. Tidak ada hal-hal seperti itu yang terjadi antar Karima dan saya. Dari semua orang, saya sangat berharap bahwa Bapak akan memahami posisi Karima sekarang ini. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan ada pamannya yang gila dan bermaksud melecehkan kehormatannya. Niat saya tulus ingin menjaga Karima. Bukankah ini lebih baik dari pada Bapak melihat saya nongkrong di sekitaran rumahnya setiap hari? Saya mengambil alih tanggung jawab moral yang harus Bapak pikul bersama tetangga-tetangga yang lain untuk menjaga Karima. Dengan begini, dia akan punya keluarga lagi. Saya dan keluarga saya yang akan menjadi keluarganya."

Lean On Me (Bersandarlah Padaku )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang