"Aaarrrkkhh...! Azzam! Turunin!" Karima berteriak memukul bahu sepupunya. Ia benar-benar merasa malu dilihat begitu banyak orang, diperlakukan seperti itu. Apalagi ada Fendra... dan ibunya...
"Kenapa?" cowok itu tertawa, menjejakkan kembali kakinya ke halaman berplester semen, "Bukannya dulu kau suka sekali kugendong-gendong seperti itu?"
Seketika Karima menyimpulkan kalau orang ini menyebalkan, sama seperti belasan tahun yang lalu, "Waktu itu kan aku masih umur lima tahun! Nggak lihat ada banyak orang di sini?!" ia menghardik walau tidak keras, dan laki-laki itu hanya tertawa, sama seperti budenya dan juga ibu Sakinah. Hanya Fendra yang tidak tertawa.
"Kalau begitu hamba minta maaf, Yang Mulia..." Azzam membungkuk lagi, dan Karima berjalan ke arah rumah, dihadang oleh pelukan budenya yang membimbing.
"Maafin Azzam, ya? Di matanya, kamu itu tetap tuan putri kecil ngegemesin yang dulu sering dia ganggu.... Oh... kamu masih ingat Iqbal, kan? Adiknya Azzam? Tapi seingat Bude, dulu kalian belum sering main bersama. Iqbal masih kecil sekali, dan dia juga sering sakit."
Bude Yusmarni sampai harus menempelak anak keduanya itu untuk menyapa Karima, karena Iqbal sedang sibuk bertukar pandangan dengan Titis. Herannya, mereka tersenyum sama-sama manis, dan ia menemukan wajah Fendra semakin merah padam saat Iqbal diperkenalkan kepada adiknya itu.
Fendra menjadi pendiam sekali saat membantu Karima dan Titis menyiapkan minuman dan makanan kecil di dapur. Bukan membantu sebenarnya, karena cowok itu hanya membuka tutup pintu kulkas dan menuang minuman bersoda sampai tiga kali untuk memuaskan hausnya. Karima sampai bertukar tatapan heran dengan Titis melihat perilaku Fendra. Tetapi sikap diam adik iparnya itu sudah cukup memberi tanda kepadanya, 'Udah..., cuekin aja!'
"Rasanya itu, ya..., kayak hilang jantung saya waktu dengar kabar soal Yusmardi. Duuh... bertahun-tahun kehilangan kontak, sekarang dengar-dengar sudah tinggal namanya. Saya nggak pernah dirundung penyesalan sebesar ini... Kakak seperti apa saya ini..." suara Bude Marni terdengar menggaung sampai ke koridor saat Titis dan Karima membawa baki menuju ke ruang depan. Wanita bertubuh tinggi besar itu menangis lagi, entah untuk ke berapa kalinya sejak dia datang.
"Bu..., sudah, Bu.... Kasihan Karima." putra sulungnya menepuk-nepuk pangkuan sang ibu, memberi isyarat kehadiran Karima yang menyajikan minuman untuk mereka.
"Karima... sini duduk sini sama Bude, Nduk..."
ia mengosongkan bakinya dan duduk di samping Yusmarni, membiarkan lengannya yang besar memeluk dan membelai punggungnya. Kapan terakhir kali budenya melakukan itu? Karima sendiri tidak ingat.
"Waktu Azzam menyebut soal Karima, saya jadi merasa harus ketemu saat itu juga. Tapi, ya, terpaksa tertunda sehari, karena Azzam harus menyelesaikan urusannya dulu di Jogja, baru menjemput saya ke Surabaya. Setelah itu kami langsung berangkat ke sini." Sang bude memeluk dan mencium kepalanya, "Gimana kabarmu, Ma? Sehat to, Nduk?"
"Sehat, Bude."
"Bude nggak bisa bayangin kesedihan dan penderitaan kamu ditinggal ayah kamu. Bude nggak tahu... Maafin Bude, ya Nduk.... Oo alah, Gusti...!" Yusmarni menangis lagi, dan Azzam terpaksa menenangkannya supaya ia tidak membuat Karima lebih sedih.
"Jadi, selama ini Ibu tinggal di Surabaya? Bukan di Palembang?" Ibu Sakinah bertanya.
Saat itulah Karima baru tersadar kalau Fendra sudah duduk kembali bersama mereka, tetap dengan kebungkaman dan wajah dinginnya. Orang itu kenapa sebenarnya?
"Saya meninggalkan Palembang sembilan tahun yang lalu. Pindah ke Surabaya karena tugas suami... Tapi sekarang pakde kamu juga sudah meninggal, Nduk.... Tinggal kita berempat, sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lean On Me (Bersandarlah Padaku )
Sonstiges(18+ Rated for violences and harsh words - Rating 18+ untuk kekerasan dan ucapan kasar) Fendra, seorang montir komunitas motor yang berpengaruh, harus berurusan dengan cewek perfeksionis teman sekolah yang ternyata keponakan dari musuh besar kelompo...