16# Satu-satunya Pilihan

401 93 33
                                    

  #LOM update!!! Siapa yang ngarepin uwu uwu setelah pernikahan sejoli kita??😂😂😂😂

Vote dulu doooonnngg.....!!!#

****

Mereka semua pindah ke serambi yang masih berada di dalam masjid, dan acara berlanjut dengan serangkaian foto-foto bersama para tetangga dan teman-teman yang hadir. Karima tidak merasa terlalu  gamang lagi, entah karena Fendra ada di sisinya atau karena semuanya telah menjadi lebih jelas, kini.

Ada banyak snack dan nasi kardus, juga penjual bakso dan sate serta batagor di depan. Bapak-bapak dan ibu-ibu itu duduk santai sambil berbincang-bincang dan makan, sekali waktu melempar candaan kepada mereka. Sementara Amelia dan Nilam menjadi seksi sibuk yang memastikan tidak ada kekurangan.

"Pong! Maaf akhirnya gue terpaksa bawa pasukan kecil. Soalnya itu, Bu Bos lo yang rambutnya kriwil, ngasih komandonya nggak kira-kira." Laki-laki pendek yang rambutnya keriting seperti Amelia, mencondong ke dekat telinga Fendra, "Tapi semua sudah tahu kok, harus gimana. Lo jangan khawatir... Dapat salam dari Bang Rawak. Dan ada ini dari anak-anak." Bang Palah menjejalkan sesuatu ke tangan Fendra, membuat pemuda itu mengerut.

"Apa ini? Nggak usah pakai beginian, lah!"

"Ini doa, Pong. Doa. Lo harus terima."

"Trimakasih, Bang!" Kedua pria beda usia itu saling berpelukan, sebelum disusul oleh teman-teman Fendra yang lain.

"Bang, jangan pulang dulu sebelum kelar semuanya, ya?" tiba-tiba Amelia sudah berada di dekat mereka.

"Beres, Bu Bos. Kita kan seksi kebersihan." Bang Palah menjawab, disambut tawa oleh yang lain sebelum berlalu untuk makan.

"Ya ampun, Ndra! Lo itu keringetan apa mandi, sih?" Amelia datang dan menarik berlembar-lembar tissue dari tas selempangnya, mengulurkan tangan untuk mengelap dahi Fendra.

"Eee... eehh... apaan, sih lo?! Gue udah jadi punya orang, ini!"

Rambut bergelombang itu mencebik manis, "Gitu ya, tingkahnya yang udah merit?! Ma, katanya kamu sempat neting kemarin soal gue sama Fendra? Duh, ya ampun, Ma, Fendra itu udah kayak kembaran gue! Kita besar bareng sedari orok. Kontrakan dia di Pasar Aji aja adu punggung sama rumah gue. Jadi gue udah tahu jeleknya dia luar dalam. Nggak bakal, lah, gue mau ama kembaran gue sendiri!" Amelia tertawa mengikik dan untuk pertama kalinya Karima bisa mengurai senyum lebar.

"Nah, gitu dong, senyum. Masa' dari tadi manyun aja kayak Siti Nurbaya dipaksa kawin."

"Apaan, sih, lo?!" Karima terkekeh menempelak Amelia di bahunya, tapi  cewek mungil itu memeluknya dan terisak di bahu.

"Gue udah nahan nangis dari tadi siang. Gue bahagia banget buat lo berdua. Soal kamuflase di sekolah, lo nggak usah khawatir. Yang penting jaga diri elo, Ma. Jagain abang gue juga, ya? Dia polos kayak perosotan, jadi lo musti sabar kalau dia kadang-kadang nggak ngeh sama perasaan cewek. Lo jeblakin aja maksud lo apa. Ngerti kan, yang gue omongin?"

Amelia melepas pelukan dan menatapnya, membuat Karima kaget karena mascaranya berantakan.

"Ngomong apa, sih? Gibahin gue, ya?"

"Iya pasti! Kenapa?!" Amelia mendelik semakin menyeramkan dengan riasannya yang berleleran.

"Mm.. maskaranya, Mel..." Karima berusaha menunjuk dan lawan bicaranya meraba wajah,

"Aarrggh... Nilam!! Hari gini masih pake yang nggak waterproof!"

Pukul setengah sembilan, masjid mulai sepi. Mereka meninggalkan Bang Palah dan teman-teman Fendra yang masih makan-makan sambil membersihkan masjid. Keduanya  berjalan lambat-lambat menyusuri jalan yang setengah gelap dan mulai lengang, tanpa seorang pun bicara.

Lean On Me (Bersandarlah Padaku )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang