Karima dengan jelas melihat bagaimana kehangatan itu luruh dari wajah Fendra. Ia berpaling melihat penyebabnya; Sakinah melepas selendang kepalanya dan melangkah berat menuju kamar.
"Ibu-ibu di sana sudah bisa mengatasi keperluan masak buat malam ini. Ibu mau ganti baju dulu, terus bantu kalian. Pembelinya ramai sekali ternyata."
Fendra mengelap torehan saus dari pipinya, dan membersihkan bungkus kopi instan di meja saat Akri berteriak dari luar, "Dicari Bang Palah, Pong! Banyak kerjaan!"
"Yow! Oke!" Ia berlalu sambil melepaskan kemeja yang tadi dipakainya ke masjid, menghilang di ceruk kecil bawah tangga tempat meja setrika berada.
Fendra mencari bajunya!
Karima menyusul karena tadi siang ia membereskan ceruk itu dan menyetrika semua baju. Cowok itu mungkin tidak bisa menemukan bajunya di antara tumpukan setrikaan.
"Cari apa, Ndra?"
"Kaos hitam..."
"Ini semua baju kamu ada di tumpukan ini..."
Fendra melihat tangannya menyentuh tumpukan itu, tapi ia masih menarik keranjang cucian dari bawah meja yang sudah nyaris kosong. Tinggal ada serbet-serbet dapur di situ.
"Yang lain ada, nggak? Yang nggak disetrika?"
Keningnya berkerut. Apa maksudnya mencari baju yang tidak disetrika?
Fendra kemudian berlalu keluar lewat pintu belakang. Karima menarik salah satu kaos hitam yang sudah disetrikanya dan menyusul saat mendengar tangga baja di luar dipijak.
Di atas loteng rumah itu, Karima dengan jelas melihat Fendra menarik kaos kering dari jemuran dan langsung memakainya. Seketika dadanya mendidih, seperti ada bendungan besar yang hampir runtuh di balik matanya.
"Kok kamu nggak menghargai banget kerja keras aku seharian ini, sih, Ndra? Aku sudah susah-susah nyetrikain baju kamu, tapi kamu malah pilih pakai baju lembab dari jemuran!"
"Bukan apa-ap..." Fendra terkekeh, tapi ia terhenti saat berpaling dan melihat tubuhnya gemetar. Karima hampir tidak bisa menahan kejengkelan yang membeludak di matanya.
"Yaudah, deeeh..." ia melepas kembali kaosnya dan melempar sembarangan ke tali jemuran. Tapi saat hendak mengambil baju di tangannya, Karima menghindarkan benda itu, bahkan menghempaskannya ke lantai.
"Ma...," Fendra memungut kaos hitam itu dan mengenakannya, "Aku nggak maksud apa-apa, Ma. Baju ini mau dipakai ngebengkel, bakalan kotor sekali kena gemuk dan oli. Buat apa disetrika?" Ia mencoba tertawa kecil mengurai ketegangan sambil mengamit tangan Karima, tapi sosok semampai itu berbalik memunggunginya dengan cepat.
"Aku tadi juga buru-buru, karena Bang Palah nunggu. Dia suka senewen kalau kelamaan nggak ada yang bantu.... Ma...," Fendra meraih bahunya, dan kali ini Karima membiarkan cowok itu memutarinya hingga mereka berhadapan.
"Maaf, aku nggak peka banget tadi. Kamu udah susah-susah seharian, tapi aku enak aja ngambil baju dari jemuran.... Maaf, yaa..."
Entah dari mana datangnya keberanian itu. Mungkin karena suasana loteng yang remang-remang oleh cahaya bulan, Fendra menarik bahu Karima ke dalam pelukan, dan ia mengikuti saja; mendaratkan tubuh dan wajahnya di dada Fendra yang lebar.
Seketika mereka saling merasakan deburan jantung yang menggila di dada masing-masing. Tapi sudah kepalang basah, terlalu canggung untuk bergerak lebih jauh, pun untuk saling melepaskan kembali.
Ia mendapati otot dada Fendra menjadi bantal empuk untuk pipinya. Hangatnya berbaur dengan wangi semprotan setrika. Dan... ya ampun.... rasanya seperti undangan ramah sebuah rumah pada seorang tuna wisma. Begitu asing, tapi begitu dibutuhkan. Ia malu, tapi sangat ingin memiliki bantal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lean On Me (Bersandarlah Padaku )
Random(18+ Rated for violences and harsh words - Rating 18+ untuk kekerasan dan ucapan kasar) Fendra, seorang montir komunitas motor yang berpengaruh, harus berurusan dengan cewek perfeksionis teman sekolah yang ternyata keponakan dari musuh besar kelompo...