24# Petak Umpet

312 86 38
                                    

#Hai DEARS....!!! Dah lama sekali nggak update ni ya... Saya lagi galau oleh debaran di dada. Tapi sekarang udah terkendali. Jadi Fendra dan Karima yang akan membuka rindu kita kali ini. Semoga kalian menikmati. Jangan lupa vote dan komen. Tanya tanya juga boleh. wekekekek (emangguesapegituloh)#

****

"Ngapain kamu di sini, Ma?"

Ngapain?!

Harusnya ia yang tanya begitu, kan? Ngapain Fendra mematung di depan cermin seperti itu? Apa yang dia lihat di balik jaketnya tadi?

"Kamu sendiri ngapain di sini?" kerut bertanya di keningnya membalas tatapan terkejut Fendra. Maniknya yang menelusur wajah cowok itu segera menangkap jejak memar di balik noda gemuk dan oli yang seperti sengaja ditorehkan di sana.

Fendra bungkam, seperti tidak berniat memberikan jawaban, dan Karima pun tidak menunggu. Ia yakin bisa mendapat jawaban itu sendiri saat tangannya terangkat dan menarik turun masker Fendra. Walau begitu apa yang dilihatnya tetap saja membuatnya terpekik kecil. Sekarang Rima tahu dari mana asal bau darah yang tercium olehnya.

"Kamu berkelahi?"

"Bukan apa-apa," Fendra menggenggam jarinya, menurunkan dari bibir yang terluka.

"Bukan apa-apa?!" Suaranya nyaris hilang. Ia tak bisa lagi bertanya, tapi tampaknya matanya sudah mengutarakan pertanyaan itu lebih dari yang ia butuhkan.

Sudut bibir yang robek itu, dan memar lebar yang ditutup dengan torehan oli.... Apa yang dipikirkan orang ini? Bagaimana kalau lukanya sampai infeksi?

Karima mati-matian berusaha melawan gumpalan sesak di dadanya untuk bisa bicara. Tetapi tetap saja beban itu akhirnya meletus mewujud aliran yang menuruni wajah, "Jangan bilang alasannya sama seperti perkelahian dengan Noel tempo hari..."

"Aku ngejar Igo tadi...."

Jawaban Fendra sudah cukup menjelaskan semuanya, bukan hanya perkelahian dengan Igo, tapi juga kenyataan bahwa laki-laki itu masih menjadi ancaman bagi mereka.

Ia tidak bertanya lagi, juga tidak bisa menahan air matanya bercucuran. Tapi tangannya sigap mengisi kantong kompres dengan es batu yang sudah dibawa Fendra ke lantai atas.

"Coba duduk sini..." Karima mengambil tempatnya di lantai dan Fendra ikut merosot dari tempatnya berdiri, berakhir menyandari tepian dinding dan memejam saat ia menghantarkan kompres es itu ke sisi wajahnya. Cowok itu juga tidak melawan saat Rima melepas jaket dan pakaian atasnya yang kotor penuh bercak darah. Ia bersimpuh untuk memotong jaraknya dari Fendra, dan gemetar saat membasahi lap dengan air dingin dari baskom untuk membersihkan luka.

Lebam yang tampak seperti gambar peta rusak hanya membuat Karima terpaku dan kemudian tergugu lagi. Memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan? Keberadaan Igo seperti ancaman di sudut gelap jalanan yang menghadang di setiap kesempatan. Berapa lama lagi mereka harus menghadapi semua ini? Kapan akan berakhir? Bagaimana akan berakhir?

"Ma.... jangan sampai ibu tahu.... Besok aku ujian antropologi. Bilang saja pada ibu aku sedang belajar. Dia tahu aku suka antropologi..."

Mata Fendra menelusur wajahnya yang sibuk mengalirkan air mata. Apa orang ini tidak punya sedikit saja rasa takut atau khawatir terhadap ancaman yang menghadang? Bagaimana mungkin ibunya jadi lebih menakutkan dibanding sosok Igo yang sudah berkali-kali kali mengancam nyawa mereka?

"Ma.... Ya, Ma? Jangan sampai ibu atau Titis tahu..."

"Kalau gitu biarin aku yang ngerawat luka kamu! Gimana orang lain nggak bakal tahu kalau lebam di badan kamu aja seperti ini?" suaranya tercekat. Tangannya bergerak bingung harus mengompres bagian mana dulu dari memar merah di wajah dan sebagian besar tubuh Fendra. Tapi kemudian cowok itu mengambil alih kantong karet darinya, menempelkannya di pipi kiri sambil mengulas senyum terpaksa.

Lean On Me (Bersandarlah Padaku )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang