"Terpencil banget ya." Jack berkomentar mengeluarkan seluruh unek uneknya, sedari tadi cowok itu tak berhenti mengoceh mulai dari perjalanannya yang memakan waktu banyak, sampai ditempat tujuan ternyata ada beberapa gang yang harus mereka pilih salah satunya, dengan bantuan Javas mereka memilih jalan tengah tetapi sebelah kanan itupun melewati jalanannya hanya muat satu sepeda motor yang mereka tumpangi.
"HAH?" semuanya tercengang ternyata kedalaman markas itu sangat luas berbeda dengan Valerin hanya menatap biasa bangunan didepannya, memakirkan motor dan membuka helm,
"Lah gue kira cowok." Javas berceletuk menatap Valerin tak percaya, gadis itu hanya membalas dengan senyuman tipis.
Decitan pintu membuat suara nyaring keras, pemandangan yang mereka tangkap setelah berhasil membuka lebar adalah....
Warna serba coklat. "Serius ini basecampnya?" mulai deh nyinyiran si Jack, Javas mengangguk tanpa menoleh ia berkata. "So, terserah kalian mau lanjut cari tahu tentang ketuanya atau ikut balik bareng gue, karna gue ada urusan gak bisa lama lama." semuanya menggeleng masih ingin lanjut mencari tahu agar rasa penasaranya terjawab, jika dipikir pikir buat apa Marcel ingin mencari tahu tentang ketua larvel? Padahal kan tidak ada masalah apa apa.
"Hati hati bang." Javas mengangguk setelah bersalaman dengan lainnya kini giliran Valerin, Marcel mewakili menyalami tangan Javas, cowok itu tertawa melihat tingkah Marcel sangat sensi jika sedikit kulit gadis itu tersentuh olehnya, padahal kan bukan siapa siapanya.
Javas keluar, Marcel melanjutkan melihat isi dari bangunan itu tidak ada bingkai sama sekali tetapi yang membuat matanya tertarik adalah tumpukan buku, ia berjalan ingin mengambil buku itu.
Sret
Tanpa menghindar ia sudah tahu arah suara itu, suara sesuatu yang jika menancap matanya akan mengeluarkan derasnya warna merah, tapi untung saja secepat kilat ia menangkap pisau itu walaupun terkena goresan ditangan genggamannya, seperti ancaman, ia akan mendapat serangan jika membuka buku itu?
"Dari arah mana pisau itu."
"Ini pisau dapur." Marcel berujar, Izam mengambil pisau itu dari tangan Marcel warna merah ia biarkan menetes tepat didepan sepatu cowok itu. "Tapi ini gak terlalu tajam, Cel." Izam berujar setelah mencoba benda itu.
Marcel mengangguk. "Itu sebabnya, pisau ini gak tajam untuk nyiksa gue ngerasain sakit sekaligus peringatan kalok kita udah lancang masuk sini tanpa persetujuan."
"Kalok emang mereka ngerasa kita lancang, kenapa gak langsung bunuh kita? Kenapa harus pakai pisau yang gak tajam?" Jack bertanya dengan rasa penasaran.
"Lo mau kita semua mati?" Brayen menyahut.
"kalok mereka pakai pisau tajam yang pengen langsung kita mati, mereka gak akan puas karna kita gak akan bisa ngerasain sakit." jelas Marcel, oke sekarang cowok itu mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARCELINO [REVISI]
Teen Fiction[FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA] @restii_09 __________________________________________________ Auranya, tatapan tajamnya, tindakan kebengisanya, sudah hal wajar bagi mereka yang melihat itu yang tidak wajar adalah terkena dari kebrutalan dia. Tidak a...