3.0

10.1K 641 49
                                    

Hujan mengguyur tanah Roma. Langit yang gelap sama sekali tidak menunjukkan bahwa waktu setempat sudah memasuki tengah hari.

Jaemin menggeliat di balik selimut tebalnya. Matanya terbuka perlahan, lalu bergerak ke kanan dan ke kiri, memperhatikan lingkungan di sekitarnya yang terlihat asing.

Jaemin terkesiap. Ia menendang-nendang selimutnya sampai fabrik itu terjatuh ke lantai dan langsung beranjak dari kasur empuk yang ditidurinya.

"Na Jaemin, bangunlah! Restoranmu tidak buka dengan sendirinya!"

Ah. Ia baru teringat jika kemarin ia baru saja mendarat kembali di Roma setelah mengambil cuti dua minggu lamanya. Padahal, restorannya baru ia buka dua minggu, eh sudah ditinggal pergi saja.

Jaemin segera pergi ke kamar mandi dengan membawa handuk dan baju gantinya. Sepuluh menit kemudian, Jaemin sudah berada di dapur sambil membantu Taeyong membuatkan sarapan.

"Hyung, aku ada oleh-oleh untukmu. Ntar ambil saja di kamarku, ya! Ada namamu di atasnya."

Taeyong berdecak sebal. "Kamu suka sekali beli ini itu. Urus dulu restoranmu dengan benar, kumpulkan uang sendiri dulu, baru belanja sepuasmu. Ayahmu bisa bangkrut kalau kamu seperti ini terus!"

Jaemin hanya cengengesan mendengar omelan hyung-nya itu. Ah, bukan hanya burung saja yang bercicit. Hyung-nya ini kalau pagi juga suka sekali bercicit.

"Gimana? Apa sudah beres semua?"

Jaemin bergumam pelan. "Sudah. Tinggal sedikit sentuhan akhir saja."

"Kamu tahu kamu berhutang banyak penjelasan padaku, kan?"

"Eh? Untuk apa? Toh hyung juga sering mendengarnya dari bunda. Untuk apa aku menjelaskannya lagi? Buang-buang energi saja!"

Taeyong terkekeh pelan. Agak terkejut karena Jaemin tahu bahwa ia sering bertanya ini itu mengenai dirinya pada bundanya.

Jaemin mengambil nampan yang sudah ia isi dengan segelas kopi dan sepiring penuh gimbab, dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang berada di lantai atas.

Jaemin meletakkan nampan tersebut di atas meja kecil. Ia lalu menyingkap gorden, membiarkan sinar matahari yang samar memasuki ruangannya. Jaemin duduk di kursi single di kamarnya, mengambil gelas kopi tersebut, dan meminumnya perlahan.

Ia duduk dengan santai di sana, menikmati paginya yang tenang.

"Buongiorno. . ." Jaemin tersenyum kecil ke arah tempat tidur. Lebih tepatnya pada seseorang yang sedang berbaring di sana.

"Guten morgen. . ." Suara serak khas bangun tidur menyapa indra pendengaran Jaemin.

Senyum Jaemin merekah. Ia meletakkan gelas kopinya ke atas nakas dan berjalan mendekati kasur. Ia pun duduk di pinggiran kasur sambil mengelus lembut surai hitam legam di tangannya.

"Up, baby. Aku udah bawain sarapan." Lembut sekali Jaemin ngomongnya. Sangat berbeda dengan Jaemin di masa SMA.

Pria itu menggeram rendah. Badannya masih pegal karena perjalanan panjang mereka semalam. "Gimme five."

"Uh-huh. Enggak. Lima menitnya lo tuh setengah jam. Gak. Gak boleh. Bangun. Ayo bangun! Jeno! Bangun! Kalo gak bangun, gue gak mau ya nikah sama lo!"

Iya, Jeno.

Setelah kedatangan tamu mengejutkan di restorannya tempo hari, Jaemin mengamuk. Ia bahkan tidak memberikan Jeno kesempatan untuk berbicara sebelum kepalan tinjunya mendarat di pipi Jeno. Bahkan lebamnya masih terlihat, meskipun samar.

Jaemin tidak merasa bersalah, dan Jeno juga sadar ia pantas mendapatkannya. Dan setelah Jaemin puas menghajar Jeno, barulah mereka bicara.

Jeno menggeram rendah. Ia pun membuka matanya dan menatap Jaemin tajam. "Bersikap baiklah ke suami, Na."

Love, J || NOMIN ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang