"Hobbi?""Badminton."
Ah, Saka dan badmintonnya. Tentu saja itu hobinya, untuk apa aku menanyakan itu? Aku kembali melanjutkan pertanyaan.
"Makanan kesukaan?"
"Apa aja."
"Yang spesifik dong!" tuntutku, "Lu gak tau ada banyak dedek-dedek gemesh yang siap bawain makanan kesukaan lu." Ya, aku yakin setelah artikel ini terbit, para pemuja Saka akan sangat senang, dan tanpa sungkan memberi hadiah padanya.
"Tenderloin steik."
Aku menarik sudut bibir ke samping. "Itu sih, morotin namanya, siapa yang mau beliin makanan semahal itu?"
"Lu bilang fans gue rela lakuin apa pun?"
"Ya gak steik juga keules."
"Ya udah tulis aja terserah lu."
"Jiah. Oke, skip. Pertanyaan berikutnya, sejak kapan suka badminton?"
"Sejak umur lima tahun."
Aku berdecak kagum, pantas saja kemampuannya setinggi itu. "Tertarik dengan bulu tangkis karena siapa?"
"Karena nonton TV."
Alisku berjengit, tadinya aku pikir dia tertarik karena ayah atau saudaranya. Pun dengan beberapa informasi selanjutnya yang di luar bayanganku, seperti: Saka yang belajar otodidak saat kecil, baru setelah sekolah ada pelatih yang mengajari intens. Jangan tanyakan soal seberapa banyak piala juara yang dia raih, karena Saka mulai menunjukkan taringnya di bulu tangkis sudah sejak SD.
Aku menarik gelas di meja mendekat, meminum jus jeruk itu hingga separuh bagian. Lantas kembali melanjutkan pertanyaan, "Pertanyaan berikutnya ... ini agak sedikit pribadi, sih, tapi masih umum kok." Aku tersenyum, "Apa pekerjaan orang tuamu?"
Tidak langsung menjawab ada jawaban dari Saka. Cowok itu justru menelengkan kepala seperti tengah menimbang sesuatu, "Papa gue presdir sebuah perusahaan."
Aku pikir masih ada kelanjutan dari ucapannya, tapi setelah beberapa detik berlalu, dia hanya diam, aku kembali bertanya, "Nyokap lu?"
Sama seperti tadi, Saka tidak segera menjawab. Dia menghela napas ringan sebelum mencondongkan tubuh, membuatku mengernyit bingung. Lantas ketika ucapannya keluar, aku sadar jika selalu ada alasan di balik sikap ganjil seseorang.
"Gue gak punya nyokap." Dia kembali menyandarkan tubuh di kursi.
"Ma-maksudnya, mama lu udah gak ada?" tanyaku hati-hati.
"Lebih tepatnya, gue gak tau siapa yang ngelahirin gue."
Kenapa telingaku berdenging? Kenapa seolah ada yang salah? Yang dia ucapkan barusan ...?
Netraku membeliak saat sadar arti ucapan itu, sebelah tangan membekap mulut karena terlalu syok.
Beberapa saat hening meraja. Hening yang sangat tidak nyaman bagiku. Aku bingung harus bagaimana bersikap sekarang. Apakah aku harus bilang maaf, atau berpura-pura tidak terjadi apa-apa?
"Kenapa lu? Kebelet? Jelek banget ekspresinya."
Sial! Saka Kelana memang tidak mudah ditebak. Setelah pernyataan yang menggemparkan itu, dia justru masih sempat mengejekku. Aku berdehem, membenarkan posisi duduk, lalu meminum jus jeruk hingga tandas.
"Yang tadi ...." Aku berdehem sekali lagi, "anggap aja aku gak nanyain itu."
Dia mendengkus, lantas menumpukan lengan di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...