Aku sedang menatap foto kaktus dengan duri putih yang lebat. Konon duri-duri itu sebenarnya adalah daun yang beradaptasi dengan lingkungan. Foto itu tampak cantik, meski mungkin pada kenyataannya sangat mengerikan untuk disentuh. Sepertinya kaktus memang jenis tanaman yang hanya bisa dikagumi dengan indra penglihatan.Pagi ini aku kembali mendapatkan gambar itu, yang semakin menambah deret pemberian dari si anonim. Ya, aku sengaja menempel foto-foto itu pada buku agenda kecil. Menempel di tiap lembar berbeda disertai tanggal diterima. Aku berharap jika suatu hari nanti bisa menunjukkan ini pada si pengirim.
Jika ada yang bertanya sudah tahukah aku tentang anonim itu atau sudah menduga seseorang? Jawabannya masih 50:50.
Awalnya aku sempat menduga jika Zafran pelakunya. Mungkin dia sedang mencoba melakukan prank seperti di video-video itu. Setelah aku baper, dia lantas terbahak. Menertawakan kebodohanku yang gampang dibuat terpesona. Namun, spekulasi itu pudar karena tidak masuk akal jika jebakan dilakukan sampai sejauh ini. Buang-buang waktu, kan?
Lalu beberapa hari lalu aku sempat mengira Eldi orangnya. Tantenya seorang pencinta kaktus, mungkin saja dia mendapat foto-foto itu dari sana. Namun, ingatan tentang Eldi yang hanya menganggapku mainan, membuatku mengenyahkan praduga itu segera.
Jadi, siapa pengirimnya? Mari kita lihat penghuni B.2 satu per satu.
Tidak mungkin si cupu yang duduk di bangku paling depan itu. Aku rasa hanya ada tumpukan materi pelajaran dalam otaknya. Mana sempat dia memikirkan hak sentimentil begini.
Beralih ke cowok badung di bangku pojok. Siswa yang entah niat atau tidak datang ke sekolah ini. Entah sudah berapa kali dia dipanggil guru BK. Aku bergidik ngeri saat membayangkan dia yang menempel kaktus-kaktus itu.
Oke, skip.
Baru saja aku hendak meng-eksplor si ketua kelas, saat ponselku bergetar panjang. Nama Saka terpampang di layar. Cukup lama aku menimbang dalam hati untuk mengangkat telepon itu atau tidak hingga getarannya habis berganti notifikasi tanda panggilan tak terjawab.
Aku mengembuskan napas lega. Lantas hendak memasukkan benda itu ke saku lagi, saat panggilan kedua datang. Menggigit bibir, mau tak mau aku menerima panggilan itu.
“Ya?” sapaku.
“Gedung olahraga.”
Klik. Dan panggilan terputus begitu saja.
Aku mengumpat tertahan. Memaki Saka dalam pikiran. Apa dia tidak tahu seberapa lama aku berpikir untuk menjawab teleponnya? Dan setelah terhubung dia hanya mengucapkan dua patah kata itu. Apa-apaan ini?
Anehnya, aku tetap mematuhi perintah Saka. Mendatangi gedung olahraga sepulang sekolah. Ya, aku masih punya utang hari, kan, dengannya?
Saka sudah berada di tengah lapangan saat aku datang. Satria lawan mainnya. Seperti biasa sudah ada cewek-cewek yang menyoraki nama Saka meski ini cuma latihan.
Aku memilih duduk di bangku teratas. Sudahkah aku bilang jika tidak terlalu suka badminton? Pun pernah nyaris ketiduran karena menontonnya suatu kali. Akan tetapi tidak dengan hari ini. Pemain dengan nomor punggung delapan itu menyita perhatiannya. Seolah menghipnotis mataku untuk hanya menatap ke sana. Cara dia menangkis kok, memukul hingga menukik di daerah tak terjangkau. Apa itu yang membuat cewek-cewek histeris? Saat Saka membawa naik tubuhnya? Melompat, lalu mendarat dengan mulus. Atau saat Saka mengusap peluh di dagu dengan punggung tangan? Dan bisa jelaskan kenapa dia tampak bersinar dengan peluh mengucur itu?
Aku terkesiap, seperti tersadar akan sesuatu. Apa yang baru saja kamu pikirkan, Gea? Mengusap wajah, aku mengipasi diri dengan tangan. Entah kenapa wajahku terasa terbakar. Sepertinya aku butuh penyegaran. Berdiri, aku memutuskan untuk ke kamar mandi, mencuci muka sebentar.
Aku merasa waktu yang kugunakan untuk ke kamar mandi hanya sebentar, tapi saat melihat Saka bersandar di dinding depan kamar mandi, tak ayal aku pun terkejut. “Ngapain lu di sini?”
Bukannya menjawab, dia justru bertanya balik, “Lu ngapain di kamar mandi lama banget?”
“Ish, ditanyain malah balik nanya. Latihannya udah kelar?”
Kali ini dia mengangguk sebagai jawaban.
“Berarti gue boleh pulang dong. Yes!”
Aku baru saja menggerakkan kaki satu langkah saat tiba-tiba Saka berdiri di depan. Sangat dekat sampai aku nyaris terjengkang ke belakang karena kaget.“Kata siapa lu boleh pulang?!” ujar Saka.
Aku mundur dua langkah, selain menjauhkan jarak kami, pun menyelamatkan leherku dari bahaya patah. Dia terlalu tinggi ngomong-ngomong. “Lha terus mau ngapain lagi?”
“Ikut gue!”
Dahiku mengerut saat Saka berjalan ke arah lapangan badminton. Bukankah dia bilang sudah selesai? Kebingunganku semakin meningkat saat dia menyodorkan sebuah raket pada.
“Apaan nih?” tanyaku, menimang raket hitam itu.
“Lu gak tau itu apaan?”
“Ish ... maksudnya kenapa dikasihin ke gue?”
“Buat nimpuk nyamuk, ya buat mainlah.”
Netraku membola, “Gue? Sama elu? Main badminton?” Aku menatap Saka tak, lalu beralih ke raket di tangan, kemudian ke Saka lagi. Dia sedang bercanda, kan?
“Buru!” Dia mendorongku ke sisi lapangan dengan ujung raket yang dia pegang.
Namun, baru beberapa langkah, aku kembali berbalik, mendekatinya lagi. “Apaan sih, gue gak mau latihan!” protesku.
Dia maju selangkah, membuatku melakukan hal sebaliknya. “Gue yang nentuin, lu masih jadi pembantu gue!” tegas Saka.
“Ya tapi kan ... irgh ....” Pada akhirnya aku memang tak mampu menolak. Mengentak kaki, aku kembali berjalan ke sisi lapangan.
Sementara, di tribun sana para gadis tampak berbisik-bisik. Seolah sedang membicarakanku. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Apa mereka sedang menggosipkanku sekarang?
“Aduh!” Aku mengaduh karena timpukan sebuah benda yang mengenai sisi kepala. Kok? Melihat benda itu aku segera tahu pelakunya.
“Saka! Gue kan belum siap!” demoku.
Seperti biasa, dia tidak menggubris. Justru mengambil kok lain dan bersiap memukulnya. Segera, kupasang kuda-kuda, bersiap menangkis kok dari Saka. Sialnya, benda itu melesat di luar jangkaun, aku laksana menangkis udara kosong semata.
Itu bukan masalah. Karena aku memang tidak mahir menangkis kok. Yang jadi masalah adalah suara tawa bernada sindiran dari bangku tribun yang entah kenapa berisi lebih banyak penonton.
Aku mengetatkan rahang. Pegangan pada raket menguat. Jangan mau dipermalukan, Gea! Menyemangati diri sendiri, aku kembali bersiap. Namun, sesiap apa pun diriku, jelas bukan tandingan Saka. Semakin sering dia memukul kok, sesering itu pula aku seolah jatuh ke kubangan lumpur. Dan menjadi bahan tertawaan cewek-cewek itu. Dari entah berapa menit pertandingan, bisa dihitung dengan jari keberhasilanku menangkis si bulu putih. Selebihnya nol besar.
Suara tawa itu pun kian menjadi, terasa mengiris kuping dan harga diri. Aku seperti badut di atas panggung yang menjadi bahan olokan para penontonnya.
Di menit entah ke berapa, aku memutuskan membuang raket. Meraih tas di pinggir lapangan lantas berlari pergi. Menulikan telinga dari sorakan penonton. Mengabaikan Saka yang memanggil namaku.
“Anggea tunggu!”
“Anggea!”
“Anggea berhenti!”
Aku berharap bisa segera lenyap dari hadapannya. Seperti di film-film, si pengejar menyerah, dan membiarkan si pelari pergi. Namun, harapan itu musnah saat sebuah tangan mencekal pergelangan dan membalik badanku secepat kilat.
Netra Saka membeliak saat pandangan kami bertemu. “Lu ... nangis?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...