Saka: Bentar lagi bakal ada turnamen. Kayaknya gue bakal jarang ketemu sama lu. Baik-baik, ya, Anggea.
Napasku otomatis terembus cukup kencang saat membaca pesan itu. Menyadari bahwa intensitas pertemuanku dan Saka akan berkurang entah kenapa membuat lesu.
Dan seakan belum cukup semua rasa tidak enak itu, aku harus kembali menghela napas karena sadar ada yang berbeda mulai hari ini. Ketika kakiku menjejak lantai kelas, ketika mata ini melihat deret bangku yang biasa kutempati. Tidak ada Zafran temannya Gea di sana. Tidak ada lagi tempatku berbagi cerita tentang Saka atau yang lainnya.
Tanganku meraba permukaan pintu loker, tempat biasa foto kaktus itu tertempel. “Kenapa sih, lu mesti suka sama gue, Zaf?” bisikku. Lantas menunduk dalam.
“Baru dateng lu?”
Kepalaku otomatis terangkat saat mendengar suara itu. “Eh, iya, nih.” Aku mengusap sisi leher. “Lu juga batu dateng?” tanyaku pada Zafran.
Dia mengangguk. Lalu tak ada lagi obrolan selanjutnya. Zafran sibuk dengan isi lokernya. Aku juga sama, hanya saja dengan isi kepala yang melalang buana. Menyadari bahwa kami secanggung ini sekarang. Mungkin itulah sebabnya lebih banyak yang memilih terjebak friendzone. Tidak mengapa dia yang kamu cinta tidak tahu isi hatimu asal masih bisa menghabiskan waktu bersama.
Lagi-lagi penyesalan itu bergelayut. Andai tetap seperti sebelumnya saja.
***
Aku tidak bisa menahan decak lidah saat memasuki ruang Genius. Merutuki diri yang datang secepat ini. Tubuhku sudah separuh berbalik, bersiap pergi saat dia yang lebih dulu berada di sana bersuara. “Masuk aja, Ge, gue gak akan gigit, kok.”
“Lu emang bukan tukang gigit, tapi tukang pukul,” ujarku masih tidak mengubah posisi. Enggan bertemu tatap dengan Eldi.
Dia terkekeh sekilas lantas terdengar derit kursi dan suara alas kaki yang beradu dengan lantai. Badanku otomatis menegak, siaga jika Eldi akan kembali melakukan sesuatu seperti tempo hari.
“Maksud lu Saka?” tebak Eldi.
Aku bergeming. Karena tahu dia tidak butuh penjelasan itu.
“Dia sendiri kok yang nyodorin diri buat gue tonjokkin, katanya biar gue puas.”
“Terus lu puas sekarang?” Menggeser kaki, aku berhadapan dengan Eldi. Suara pun meninggi.
Dia mencebikkan bibir sembari mengedikkan bahu. “Tergantung. Kalau Saka nepatin janji, gue puas, tapi kalau dia ingkar, gue bisa lebih dari sekedar mukul dia. Termasuk buat lu sengsara.”
“Sinting!” umpatku.
Bukannya marah atau apa, Eldi justru tertawa lebar. “Gue gak terbiasa berbagi, Ge,” ucap Eldi setelah tawanya mereda. “Cuma gue satu-satunya anak yang lahir dari rahim nyokap. Itu artinya gak boleh ada yang ngambil hak milik gue, termasuk kasih sayang dan perhatian bokap gue.” Kalimat terakhir Eldi terdengar lirih. Pun pandangannya meredup.
Namun, tak sampai hitungan menit, wajahnya kembali dihiasi senyum aneh. “Tapi ... sebentar lagi semua itu akan berakhir. Si anak pungut bakal balik ke tempat asalnya. Dan gue bakal balik jadi anak satu-satunya.”
“Maksud lu apa?” Perasaan tak enak mulai merambati dada. Khawatir dengan keberadaan Saka.
Eldi memicing. “Gue tebak si anak pungut belum ngasih tau lu, kan?”
“Apa? Ngomong yang jelas, Di!” tuntutku.
Cowok itu mengedikkan bahu, seperti sengaja mempermainkanku. Lantas ketika samar suara langkah kaki mendekat, dia berbisik. “Itu artinya elu gak seberharga itu di mata Saka, Gea.” Dia berbalik, melangkah dengan mengangkat dagu tinggi. Seolah sengaja menunjukkan bahwa dialah jawaranya.
Sementara aku mulai dirambati perasaan ... entah. Terlalu banyak yang aku rasakan, sampai aku sendiri bingung mendeskripsikannya. Antara khawatir, jengkel, marah, bahkan sedih. Dan semua itu bersumber dari orang yang sama, Saka Kelana.
Apa lagi yang Saka sembunyikan? Apa selain menjadikan tubuhnya sebagai samsak Eldi, dia juga mengorbankan masa depan?
“Di, jangan bikin gue pensaran, ya!” tuntutku, menghampiri cowok itu yang akan kembali duduk. “Ada pembahasan apa antara lu sama Saka?”
Bukan menjawab, dia justru menatapku lekat, tersenyum miring. “Bentar lagi Clara dateng lu yakin masih mau di sini?”
Sial! Cowok satu ini benar-benar tahu cara mempermainkan emosi seseorang.
Sedikit mengentakkan kaki, aku berbalik, lantas menempati bangku ujung seperti biasa. Tepat saat aku duduk, anak-anak yang lain masuk. Termasuk Zafran yang datang paling belakang.
Aku pura-pura sibuk, meski sebenarnya penasaran di mana Zafran akan duduk. Biasanya dia akan menempati kursi di sebelahku. Tapi mengingat hubungan kami sekarang, entah kenapa aku ragu.
Lantas saat derit kursi di sampingku terdengar, dan Zafran duduk di sana, aku mengembuskan napas lega.
“Siang, Gaes,” Eldi memulai. Basa-basi sejenak tentang edisi Genius sebelumnya. Tentang ulasan dari para pembina, pembaca, dan dia sendiri. “Gue harap kalian tetap semangat, Gaes, tunjukkin performa terbaik kalian. Karena gue denger bakal ada beasiswa dari GL buat kita.”
Sontak semua yang hadir berseru, mempertanyakan kebenaran kabar itu.
“GL? Genius Leader?” seru Clara, matanya melebar.
Eldi mengangguk.
“Institut bergengsi itu?” tambah Diana. “Yang lulusannya langsung kerja di tv dan majalah GL, kan?”
Eldi mengangguk dua kali untuk semua pertanyaannya.
“Jadi maksud lu kita punya kesempatan kuliah di sana?” kali ini Zafran yang menimpali. Hal yang juga jadi pertanyaanku.
“Yup.” Si pemred mengacungkan dua jempolnya.
“Wah ... ini sih kesempatan emas.”
Antusiasme segera menyelimuti wajah kami. Termasuk aku. Cita-cita untuk terjun di bidang literasi tersaji di depan mata.
“Oke, simpan dulu angan-angan kalian!” Eldi menghentikan dengung percakapan yang sempat mengisi ruangan. “Back to Genius, jadi mau angkat tema apa bulan ini?”
“Seni?” tawar Zafran. “Seni mencintai dalam diam misalnya.”
“Heleh!” sambung Diana. “Yang ada ntar Genius isinya puisi semua.”
Yang lain kompak tertawa. Kecuali aku yang berpura-pura. Entah kenapa ucapan Zafran membuatku tak nyaman.
“Gimana kalau persahabatan?” tawar Clara. “Bentar lagi kan, kelas tiga ujian trus kita juga naik kelas, otomatis temen-temennya ntar berubah, kan? Nah, gimana kalau kita ngadaian chalenge juga buat yang persahabatannya tahan lama.”
Aku menelan ludah, persahabatan? Persahabatan itu jika dua orang tetap bersama apa pun yang terjadi, kan? Persahabatan itu tentang jalinan murni antar dua orang yang saling peduli dan percaya, kan? Lalu ... apa masih bisa disebut persahabatan jika salah satunya memiliki perasaan lebih?
Aku menoleh, menatap Zafran yang juga tengah menatapku. Untuk beberapa detik, ruangan ini mendadak sunyi, seolah semua hilang, menyisakan aku dan cowok berambut ikal itu. Kami seperti tengah berbagi bahasa lewat isyarat tubuh.
Apa kita masih sahabat, Zafran?
“Gimana yang lain, Gea?”
Panggilan dari Eldi mengembalikan kesadaranku. Menatap ke depan, aku mengedikkan bahu. “Gue ngikut aja, sih.”
“Soal chalenge-nya gimana? Ada ide, Zaf?” Kali ini Eldi menatap Zafran.
“Ng ....” Zafran mengerutkan dahi, tampak berpikir, sebelum berujar, “Menurut gue itu terlalu berat sih, secara kebanyakan dari kita kan baru kenal. Belum bisa diuji juga keawetannya.”
Eldi mangut-mangut. “Masuk akal juga. Setuju gak, Ra?”
“Kalau gitu ... gimana kalau surat untuk sahabat aja?” usul Clara lagi. “Ntar anak-anak bisa nulis tentang plus minus-nya temennya. Atau tentang masalah yang pernah muncul antar mereka, tapi tetep bisa bersama lagi.”
“Setuju gue!” sambung Diana. “Cakep, Ra!” Dia mengacungkan jempolnya pada Clara.
“Oke. Yang lain gimana?” Eldi mengedarkan pandangan.
“Trus buat ngisi kolom inspirasi, siapa?” Aku bertanya.
Eldi dan yang lain tampak berpikir.
“Gue tau!” Zafran menjentikkan jari. “Kepala sekolah sama ibu kantin.”
“Hah?” tanggapan dari kami nyaris kompak, mempertanyakan ucapan Eldi dengan tampang tak percaya.
Si reporter terkekeh. “Kalian pasti belum tau, kan? Makanya kali-kali ngobrol sama ibu kantin.” Lagi, Zafran tertawa jemawa.
“Itu beneran?” tanyaku.
“Iya, mereka sahabatan dari SD.”
“Wah!” seru kami, lagi-lagi kompak.
Selain takjub, aku juga tak menyangka ada persahabatan yang bisa sedemikian lama. Aku mencuri lihat ke arah Zafran. Satu pertanyaan kembali menjejali kepala. Bagaimana dengan persahabatan kita, Zaf?
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...