“Hai ....”
Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya? Kenapa seakan telah lama sekali? Sampai-sampai aku harus mengepalkan tangan kuat agar tidak berlari memeluknya.
“Hai ... lu udah balik?” tanggapan dariku setelah beberapa detik.
“Semalem gue nyampe.”
Kami berjalan bersisian. Saka seperti sengaja memperpendek langkah kaki agar bisa menyamakan dengan langkahku.
“Gimana hasilnya?”
“Serius lu kudu nanya? Lu ngraguin kemampuan gue apa gimana?”
“Ish, sombong banget!” Aku memukul lengan tasnya pelan. Setidaknya dengan begini aku bisa memastikan jika dia nyata.
Saka tergelak. “Gue gak menang, sih.”
Refleks aku mendongak demi bisa menatapnya. “Serius? Kok bisa?”
“Ya gak lah. Mana pernah Saka kalah.”
Lagi aku memukul lengannya. “Dasar!”
Beberapa siswa yang kebetulan berpapasan dengan kami terlihat berbisik-bisik, tapi aku tidak peduli. Demikian pula dengan Saka yang tetap enjoy menggerakkan kaki.
“Oh, iya, gue punya sesuatu buat lu.”
Netraku melebar, tak menyangka Saka akan memberiku oleh-oleh. Ya, meski belum taju jenis benda apa itu, tapi setidaknya aku boleh bersuka hati kan?
“Wah ....” Aku terang-terangan berdecak takjub saat melihat gantungan kunci berbentuk raket dan kok mini itu.
“Liat ini!” Saka menunjuk kok warna putih itu. Di bagian dalamnya terdapat cetakkan namaku, Anggea. Sementara di bagian pegangan raket terdapat nama Saka.
“Apaan nih maksudnya?” tanyaku.
Saka menghentikan langkah, membuatku melakukan hal yang sama. Lantas kami berdiri berhadapan.
Aku menatapnya, menunggu, karena aku pikir sesuatu yang akan dia utarakan seserius itu. Namun, saat Saka berucap, aku tahu jika dia memang bisa semenyebalkan itu.
“Biar lu inget kalau lu itu kok yang selalu dipukul raket.”
“Asem! Maksudnya gue cocok jadi objek penganiayaan gitu?”
Saka tergelak, lantas menepuk puncak kepalaku pelan. “Selamat ngerjain tes, Anggea. Jangan lupa berdoa!” ucap Saka sebelum pergi.
“Juga buat lu, Saka,” lirihku sembari menatap punggungnya.
Aku tahu ada yang harusnya kami bicarakan. Ada hal serius yang ingin aku konfirmasi ulang padanya. Namun, aku juga tahu kami perlu konsentrasi untuk mengerjakan soal. Mungkin Saka juga sengaja memberi waktu dengan tak mengungkit hal itu.
***
“Lusa gue berangkat.”
Faktanya momen itu datang juga. Meski seminggu ini kami berinteraksi biasa, meski tak ada pembahasan tentang kepindahan Saka. Namun, tetap saja tak lantas membuat semua akan baik-baik saja. Seperti hatiku misalnya. Seperti ada yang bolong di dalam sana.
“Ah, beasiswa itu.” Aku berusaha—sangat berusaha terlihat biasa. Seperti teman yang seharusnya. “Emang lu bisa bahasa Korea?” tanyaku.
“Bisa. Sarange ... bogosipo ...,” ucap Saka dengan gaya berlebihan.
Kami sama-sama terbahak karena itu. Bedanya aku tertawa disertai derai air mata. Entahlah sekuat apa pun aku menahannya, cairan bening itu tetap luruh membasahi pipi.
“Lu nangis?” tanya Saka.
Aku menyeka ujung mata dengan jemari. “Gue seneng. Gue bangga sama elu.”
Itu bohong. Yang benar adalah hatiku menjerit di dalam sana. Aku tak ingin Saka pergi. Aku tak mau kehilangan kebersamaan kami. Tak apa kami tetap jadi sahabat. Sungguh, itu bukan masalah untukku, selama Saka masih bisa aku temui. Selama dia masih bisa aku pandang seperti ini.
“Gue bakal sering hubungin elu.” Jempolnya turut mengusap air mataku.
“Lu ... bakal balik ke sini?” Aku menelan ludah kelat.
Saka menggeleng samar, lantas menarik napas panjang. “Mungkin nanti kalau gue udah bener-bener sukses. Udah gak perlu lagi dikasihani buat makan sendiri.”
Gantian aku yang menghela napas panjang. Mencoba memasok oksigen sebanyak-banyaknya agar sesak di dada sedikit berkurang. Lantas beralih menatap ke depan, pada hamparan langit itu. “Mungkin ... saat itu tiba lu udah punya anak yang juga jago badminton.” Aku sengaja tidak menatap Saka. Sadar betul jika ucapan itu kebalikan dari isi hati.
Tawa kecil Saka terdengar. “Dan lu udah punya anak lima.”
Aku masih tak menatapnya. Dalam hati protes, “Kenapa, Ka? Kenapa lu gak nyuruh gue nunggu? Bukannya lu bilang suka sama gue? Apa sedangkal itu perasaan lu?”
Namun, aku tidak seberani itu.
“Kalau gitu kita jodohin aja anak kita ntar,” balasku asal. Masih tak mau menatapnya.
Lagi, gelaknya terdengar. “Ide bagus, sih.”
Tanganku terkepal erat karena tanggapannya barusan. Aku lantas berdiri sembari berujar, “Gue cabut dulu.”
Dan tidak ada respons apa pun dari Saka.
***
Apa yang menyakitkan dari sebuah perpisahan? Menyadari bahwa kamu tak akan lagi bertemu dengannya atau mengetahui bahwa segala tentangnya terus melekat di otak dan hatimu serupa benalu?
Aku keduanya.
Tidak mendapati Saka di tempat-tempat yang biasa dia sambangi adalah satu hal menyedihkan. Namun, di saat yang sama aku seperti melihatnya ada di sana. Dan itu lebih menyedihkan.
Seperti saat melewati gedung olahraga, aku seolah mendengar suara Saka, seakan melihat sosok itu tengah melompat demi menangkis serangan. Namun, lima detik setelahnya aku sadar jika itu hanya halusinasi semata. Jika Saka tak akan mungkin lagi ada di sana.
Sejak itu, aku berusaha menghindari gedung olahraga. Pun segala hal yang berkaitan dengan Saka. Apakah berguna? Tidak. Karena kadang otakku sendiri yang mengkhayalkannya.
Suara pesawat terbang yang lewat di angkasa mengalihkan perhatianku. Mendongak, aku menatap benda itu yang menjauh hingga tak lagi tertangkap mata. Lantas pelan suara seseorang terngiang di telinga.
“Lu tau, Anggea, raket emang mukulin kok, tapi raket juga gak akan ada gunanya tanpa kok.”
Kalimat yang Saka ucapkan di bandara sore itu sebelum meninggalkanku. Kalimat yang lantas membuatku bertanya, “Apa maksudnya, Saka?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...