Dua puluh

56 6 0
                                    

Sudah satu jam aku duduk dengan posisi yang sama. Bersandar pada kursi, dengan pandangan tertuju ke layar laptop. Bukan. Aku tidak sedang mengerjakan apa pun. Pikiranku tengah menjelajah ruang dan waktu. Seolah di layar gelap itu tersaji sesuatu.

Dan memang benar, aku tengah memvisualisasikan beberapa adegan. Momen yang aku lalui bersama seseorang. Si pemilik nama Saka Kelana.

“Gue Cuma pengen berteman sama lu.”

“Gue ... pengen ngabisin waktu bareng lu, Anggea.”

Kata-kata itu terputar dalam otakku, seolah cowok itu baru saja mengucapkannya.

“Jelas-jelas dia menginginkan pertemanan.” Aku bermonolog sendiri. “Tapi kenapa tiba-tiba berubah?”

Menggigit bibir bawah, otakku bekerja ekstra. Pasti ada hubungannya dengan Eldi, kan? Sikapnya beberapa hari terakhir jelas bersahabat. Dia bahkan membantuku mencari sumber berita. Dia juga memintaku melihatnya latihan.

“Pasti ada sesuatu! Pasti! Dan gue harus cari tau itu!”

“Gea!” panggilan seseorang disertai ketukan di pintu mengagetkanku. “Gea!” Kali ini wajah ibuku menyembul dari baliknya.

“I-iya, Bu,” jawabku tergeragap.

“Kamu lagi ngobrol sama siapa?”

Netraku melebar, sepertinya suaraku terlalu keras barusan, sehingga terdengar dari luar. “Ng ... itu Bu, ada telepon tadi.”

Dahi Ibu berkerut, sorot matanya meneliti gerak-gerik tubuhku. “Mana hp-nya?”

Aku menoleh ke kanan kiri mencari keberadaan benda pipih itu, yang sayangnya tidak ada. Tidak di atas meja belajar, tidak pula di kasur yang berada cukup dekat denganku. “Ng ... maksud Gea dialog telepon. Gea lagi ngapalin dialog buat besok, Bu.” Aku menarik sudut-sudut bibir, mencoba tersenyum, meski aku yakin sangat kaku.

Beberapa detik sempat terasa menegangkan karena Ibu tak kunjung bersuara. Baru setelah dia mengangguk dan ber-o pendek, aku merasa sedikit lega.

“Ayo makan malam!” ajaknya kemudian.

Aku segera mengangguk, lantas mengekori Ibu menuju ruang makan.
Di sana, Ayah telah menunggu.

“Malam, Yah,” sapaku.

“Malam, Nak. Bagaimana sekolahmu?”

Pertanyaan itu rutin ditanyakan oleh lelaki berkumis tipis yang aku panggil ayah itu. Hal yang membosankan sebenarnya, tapi aku tahu ada banyak anak yang mendamba disapa seperti itu oleh orang tuanya. “Seru, Yah,” jawabku mantap. “Saking serunya, aku nyaris nangis, tadi,” imbuhku dalam hati.

Setelahnya kami menikmati makan malam dengan lauk opor ayam buatan Ibu itu.

“Oh, iya, mulai besok sepertinya ayah akan pulang malam.” Ayah menghentikan sebentar gerakannya menyuap nasi.

“Loh, kenapa, Yah? Ayah dipindahkan lagi?”

“Bukan, Nak,” Ibu yang menjawab. Dia lalu menoleh pada Ayah, “Ayah jadi nerima tawaran Pak Abhiyasa?"

“Iya, Bu. Mulai besok, Ayah resmi jadi asisten pribadinya.”

Dahiku berkerut mendengar obrolan itu. Aku tidak biasa ikut campur dengan pekerjaan Ayah, yang aku tahu tadinya Ayah menjabat sebagai kepala HRD di perusahaan multi nasional. Tapi kali ini seperti ada yang mengusik pikiranku. Entah apa.

***

Pagi ini tidak seperti biasa. Ada kekosongan di dadaku. Semacam perasaan tak lengkap karena sesuatu yang hilang. Kenapa aku harus selemah ini hanya karena seorang Saka? Padahal kami tak lebih dari teman biasa.

Aku mengembuskan napas keras. Berharap mood-ku kembali. Lantas mulai melangkah pelan menyusuri koridor. Sembari menyapa beberapa teman yang aku kenal. Ya, berbagi senyum dengan mereka setidaknya sedikit memberi suntikan semangat.

Namun, semangat yang hanya secuil itu hancur tak bersisa saat netra ini menangkap bayangannya. Dia yang berdiri lima meter di depanku. Dia yang tidak menyadari keberadaanku. Pun dia yang melewatiku begitu saja.

Apa yang salah Saka? Apa aku sudah bertindak berlebihan sehingga kamu seperti membenciku?

Setelahnya kepalaku tertunduk dalam. Hingga tanpa sadar sudah berada di depan loker.

Mengangkat kepala, netraku berbinar seketika. Senyumku terulas. Rupanya benar, kesedihan dan kebahagiaan itu berdampingan. Foto kaktus ini misalnya, berhasil mengembalikan senyumku yang sempat hilang.

Aku menarik gambar itu. Kaktus mini yang cantik. Sementara di belakangnya tertulis kata, “Miss u.”

Senyumku kian lebar, merasa bahwa si anonim memang benar secret admirer-ku. Ya ... aku mungkin patah hati karena Saka, tapi setidaknya masih ada yang menyukaiku, kan?
Kenapa aku terdengar sombong sekarang?

“Minggir!”

Aku diseruduk dari belakang, nyaris limbung jika tidak segera berpegangan pada deretan loker itu. “Zafran!” seruku, memanyunkan bibir.

“Lu ngalangin jalan gue, Gea! Loker lu kan di situ.”

“Ya tapi gak main seruduk juga kali!” Memang tadi aku berdiri di depan loker Zafran yang tepat berada di samping lokerku. Tapi tetap saja caranya salah, kan?

“Suka-suka gue,” jawabnya enteng. Lantas mengeluarkan lolipop dari saku baju.

Dengan gerakan kilat, aku menyambar permen itu. Membawa lari sembari membukanya.

“Double G, itu satu-satunya, elah!”

Aku yang sudah berada di depan kelas menjulurkan lidah. Lalu dengan gerakan seperti slow motion memasukkan permen itu ke mulutku.

***

“Tentang duta persahabatan gimana?” tanya Zafran saat jam istirahat. Kami tengah menikmati santap siang di kantin.

Gerakanku menyendok kuah terhenti, “Gak jadi,” jawabku. Lalu kembali menyuap bakso berkuah bening itu.

Zafran mengangkat kepala, “Kok?” tanyanya.

Aku mengedikkan bahu, “Setelah gue pikir, itu bukan urusan gue.”

“Kenapa? Bukannya kemarin lu ngebet banget pengen mereka akur?”

Aku menggigit bibir, bimbang haruskah menceritakan insiden kemarin atau tidak. “Sakanya gak mau,” jawabku sekenanya. Kembali menyuap makanan, aku harap Zafran tidak lagi membahas itu.

Namun, tentu saja itu tidak berguna untuk Zafran. Reporter Genius itu justru meletakkan sendoknya, yang artinya dia lebih dari serius sekarang. “Ngomong, Ge!”

Nah, benar, kan?

Aku menghela napas. Baiklah, mungkin tidak ada salahnya memberitahu Zafran. Meletakkan sendok, aku lantas mulai bercerita.

“Kemungkinannya ada dua ....” Zafran berucap setelah aku selesai bercerita, “Eldi yang menyebabkan masalah pada Saka, atau Saka yang membuat masalah sama Eldi.” Zafran mengernyit, lantas terkekeh sendiri, “Eh, sama aja ya?”

Aku menanggapi decak cukup keras.

“Intinya, Ge ....” lanjutnya lagi, “Mereka gak mungkin kan saling benci kalau gak ada akarnya? Yah mungkin ... berkaitan dengan latar belakang Saka.”

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang