Delapan

59 5 0
                                    

Manusia boleh berharap, selebihnya Tuhan yang menentukan. Kita bisa saja berekspektasi, berandai tentang suatu hal setinggi mungkin. Namun, jika takdir berkehendak sebaliknya, kita bisa apa?

Menerima, itu yang sedang coba aku lakukan saat ini. Berpikir jika yang terjadi adalah hasil terbaik. Pun aku mencoba memahami, bahwa mau bagaimana pun kerasnya Eldi berjuang, dia jelas bukan tandingan Saka.

Tidak. Aku tidak meremehkan kemampuan Eldi, karena selama pertandingan berlangsung, kejar-kejaran poin intens terjadi. Hanya saja pada akhirnya selalu ada yang disebut pemenang, kan? Dan ... aku rasa ini hanya soal keberuntungan. Ya, sebut saja Saka beruntung hari ini. Sedangkan aku ....

Aku menghela napas berat, memandangi ponsel yang menampilkan laman perpesanan online. Ada sebuah pesan dari nomor baru yang entah kenapa begitu menyakiti mata. Entah karena orang yang mengirimnya, atau isi pesannya. Ah, aku rasa dua-duanya.

Aku menyandang tas di punggung, lalu bangkit. Bersiap pergi.

“Mau pulang lu?” tanya Zafran.

“Mau ngerjain tugas,” jawabku sambil lalu.

Baru sampai di depan pintu, ada yang menarik tasku. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pelakunya. “Apa, sih, Zaf? Gue lagi gak mood ngladenin lu,” ujarku tanpa menoleh.

Zafran berpindah ke depanku, menatap lekat. “Beneran mau nemuin Saka? Lu mau jadi kacungnya?”

Aku memutar bola mata. Zafran memang sudah tahu perihal persyaratan bodoh dari Saka. “Ini bukan perkara mau atau gak, tapi tanggung jawab,” tekanku. Menyingkirkan tubuhnya, dan kembali berjalan.

Jangan panggil Zafran jika akan menyerah begitu saja. Pemuda itu lagi-lagi menarik tas, membuatku mundur satu langkah.

“Ampun! Lu tuh emang—”

“Gue ikut!”

Netraku melebar, makian yang sedianya akan aku gelontorkan, tersumbat di tenggorokan. “Maksud lu?”

“Gue ikut. Masa gitu aja gak maksud?”

“Iya, tapi buat apa? Mau jadi tim sorak lu?” Aku mengaduh karena sentilan di dahi dari Zafran.

“Lu pikir gue anak cheers?”

Sontak tawaku pecah karena membayangkan dia yang memakai rok tutu dan pompon. Apa kata dunia coba?

“Malah ngakak? Buru jalan!”
Dia kembali menarik tasku, bedanya kali ini ke depan bukan ke belakang seperti tadi.

“Tapi beneran deh lu gak harus nemenin gue, Zaf.” Kami berjalan menuju tempat parkir sesuai instruksi dari Saka via ponsel yang aku terima.

“Anggap aja gue ke parkiran.”

“Lah, emang lu bawa mobil?”
Lagi aku mengaduh, karena jambakan di rambut yang aku kucir kuda.

“Bawel banget! Noh, Saka udah nungguin.”

Terlalu fokus pada Zafran membuatku tidak sadar telah berada di tempat parkir khusus mobil. Di sana, cowok yang seluruh kancing kemejanya terbuka menampilkan kaus putih itu tengah duduk di kap mobil. Entah kenapa sorot mata dari iris hitam itu terasa mengintimidasi.

“Kayaknya dia gak suka deh, ada gue di sisi lu,” bisik Zafran.

Aku hanya menanggapi dengan lirikan, karena selain jarak yang makin dekat, aku pun tak tahu harus berkata apa.

“Gue baru tau kalau lu perlu baby sitter buat ke sini.” Kalimat pertama dari Saka terdengar sarat ejekan.

Membuka mulut, aku bersiap membalasnya, tapi suara Zafran mendahului, “Gue cuma mau mastiin kalau lu gak macem-macem sama Gea.”

Saka mendengkus, “Semacem aja kok, gue gak perlu banyak macem.” jawabnya terlampau lempeng.

“Trus apa mau lu?”

Aku seperti penonton saat ini. Hanya memandang mereka secara bergantian. Padahal jelas-jelas aku yang jadi objek pembicaraan.

Saka turun, berdiri berhadapan dengan Saka. Nyaris sama tinggi dengan warna kulit serupa. “Mau gue tuh Anggea, bukan elu.” Telunjuknya mengarah ke dada Zafran.

“Gue berhak tau.”

“Punya hak apa emang elu?” tantang Saka.

Sejenak belum ada jawaban dari Zafran, dia melirikku, lantas berujar, “Gue sahabatnya.”

Saka mendecih, “Sahabat? Lu yakin?”

“Hello ....” Aku akhirnya ambil bagian. “Ini kalian mau ngobrol aja, ya udah gue tinggal.”

Berbalik, aku rasakan tarikan lebih kuat dari beberapa waktu lalu, disertai kalimat pencegahan dari kedua cowok itu. “Mau ke mana lu?”

Aku membenarkan letak ransel. Sedikit menggerutu karena ulah orang-orang yang suka sekali menariknya. Kalau rusak, memangnya mereka mau ganti?
“So?” tanyaku, menatap Saka.

“Ikut gue!” perintah cowok berambut cepak itu.

“Eh, mau diajakin ke mana Gea?” cegah Zafran.

“Zaf ....” Kali ini aku mengambil alih, sebelum telalu lama di sini dan terlalu banyak orang yang melirik penuh ingin tahu. “Gue bisa jaga diri kok, it’s oke,” yakinku padanya.

Awalnya, dia memang terlihat enggan, tapi setelah diyakinkan lagi, dan mewanti-wanti agar aku terus mengabarinya, Zafran setuju.

***

“Mana?”

Cowok yang saat ini duduk di hadapanku sepertinya memang tipe orang ambigu, yang sekali berucap tidak jelas maknanya. Seperti saat ini, kami baru saja tiba di kafe yang sarat nuansa badminton. Ada banyak ornamen menyerupai raket dan kok. Ada juga lukisan atlet yang aku yakin sebagai legenda bulu tangkis. Satu yang aku kenali adalah Alan Budi kusuma si dinding kanan kami. Ya, aku rasa Saka dan badminton seperti kembar siam, tak bisa dipisahkan.

Awalnya aku pikir dia akan menyuruhku mengetik tugas, atau pekerjaan lain. Karena seperti kata Saka, aku dijadikan pembantu. Namun, sejak kapan pembantu diajak makan dan minum? Hanya cowok misterius itu yang tahu. Termasuk pertanyaan tidak jelasnya barusan. Kira-kira dari kata, ‘mana?’ itu apa yang Saka maksud. Tunggu, dia tidak menyuruhku membawa sesuatu, kan?

“Malah bengong?”

“Mana apanya, sih?” Aku masih mencoba mengingat sesuatu yang mungkin aku lewatkan itu.

“Pertanyaannya.”

“Pertanyaan?” beoku, masih belum menangkap maksudnya.

Saka berdecak, “Lu lemot banget, sih. Katanya jurnalis Genius, tapi kemampuan otak lu gak mumpuni.”

Seingatku, Zafran hanya mengatakan jika Saka Kelana adalah cowok misterius bukan tukang nyinyir macam yang aku hadapi saat ini. “Pertanyaan lu yang gak jelas!” protesku.

“Lu bilang mau wawancara gue?”

Aku mengerjap, memastikan bahwa yang tertangkap telinga adalah benar, bukan halusinasi. Lantas netraku melebar, “Serius? Lu mau diinterview?” Tubuhku bahkan sampai condong ke depan.

Lagi, dia berdecak, “Buruan! Sebelum gue berubah pikiran.”

Segera, aku mengeluarkan peralatan: ponsel, buku catatan dan pulpen. Senyumku serta merta terkembang, Eldi dan tim pasti bakalan senang sekali besok. Oke, aku ralat pemikiranku soal Saka yang nyinyir. Ternyata di balik sikap misterius yang menyebalkan itu, dia lumayan baik.

Namun, segala antusias itu perlahan menguap seiring pertanyaan-pertanyaan yang terjawab. Hal yang kemudian membuatku mengerti kenapa Saka bersikap seperti itu.

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang