Dua Puluh Delapan

49 4 0
                                    

Masih sibuk? (06.35)
Lu sama Eldi ada ngobrolin apa, sih? (11.49)
Gue penasaran. Plis hubungin gue kalau lu senggang. (20.23)
Aku menatap gawai di tangan, pada laman perpesanan. Centang abu-abunya tak kunjung berubah jadi biru sejak pesan pertama terkirim.
Meletakkan ponsel di kasur, aku lantas rebah di sisinya. Menatap nyalang langit-langit kamar. Lalu ... seperti ada bayangan wajah seseorang di sana. Orang yang barusan aku kirim pesan.
Tanganku terangkat, seakan bisa menyentuh wajah itu. Pada sepasang alis tebal dan manik gelapnya. Aku tahu sejak pertama melihat, ada sesuatu di sana. Kegelapannya seolah menyimpan banyak cerita dan mungkin luka. Aku juga tahu, Saka mungkin masih ragu untuk bercerita banyak padaku.
Yang aku tidak tahu adalah bagaimana bisa rasa suka itu muncul? Pada dia yang begitu menyebalkan di awal pertemuan, pada dia yang sempat mempermalukanku di depan umum, pun dia yang pernah melarangku mendekat.
Mungkin ... mata itu yang menghipnotisku. Mungkin ... caranya memperlakukanku yang membuat aku justru makin penasaran. Atau mungkin ... cinta memang tak bisa dijelaskan.
Di saat Saka sudah memutuskan untuk hanya menjadikanku sahabat, kenapa aku masih begitu peduli padanya? Memikirkannya, mengkhawatirkannya.
Samar dering ponsel terdengar, makin lama makin jelas tertangkap telinga. Aku mengerjap, tanpa sadar telah ketiduran.
Lagi, dering itu terdengar, kali ini lebih jelas. Meraih benda pipih itu, mataku melebar saat membaca nama si penelepon. Lantas buru-buru bangkit, duduk.
“Halo?” ucapku setelah menggeser tanda penerima panggilan.
“Hai, dah tidur, ya?”
Demi Tuhan, aku merindukan suara itu.
Aku berdehem, “Ketiduran tadi, jam berapa sekarang?” Menoleh ke nakas di mana jam digital berada, aku terperangah, angkanya menunjuk angka tengah malam lewat.
“Sory, ya, baru bisa hubungin lu, Anggea,” kata Saka, “Gimana kabar lu?”
“Ng ... baik.” Tapi aku rindu. Yang terakhir itu hanya bisa aku tambahkan dalam hati. “Gimana latihannya?”
“Lancar. Minggu depan sudah mulai babak penyisihan.”
“Makin sibuk, dong?” Entah kenapa membayangkannya sudah membuat rindu ini makin berat. Berapa lama lagi aku akan bertemu Saka kembali?
“Gue sempetin buat kasih kabar ke elu nanti. O iya, mau nanya apa?”
Sejenak tadi aku nyaris lupa dengan tujuan itu. “Lu sama Eldi ada obrolan apa, sih? Kok dia bilang entar lagi lu bakalan balik ke kehidupan semula? Maksudnya lu mau balik ke rumah Bu Muryati?”
Saka terkekeh karena pertanyaan panjang itu. “Gak balik ke rumah Bu Mur, kok, tapi emang mau hengkang dari kehidupannya keluarga Pak Abhiyasa.”
“Trus lu mau ke mana?” Aku tidak bisa menyembunyikan nada kekhawatiran dari suaraku.
“Lu mau nampung gue?”
“Elah, serius!”
Lagi, Saka terkekeh. “Gue dapet beasiswa ke Korea.”
“Hah!” Badanku menegak, aku bahkan mengubah posisi kaki menjadi bersila. “Kapan? Trus lu mau tinggal di sana?”
Saka tak langsung menjawab. Cukup lama hening menjeda, sampai aku kira telepon terputus sepihak. Hingga terdengar helaan napas dari sana. “Iya ... Anggea.”
Jika ada yang bertanya adakah orang yang membuatku patah hati, maka Saka orangnya. Tak hanya sekali, tapi dua. Yang pertama saat dia menyuruhku menjauh dari hidupnya. Yang kedua ... saat ini.
Iya, aku tahu harusnya aku berbahagia mendengar teman yang mendapat beasiswa. Harusnya aku bangga dan mengucapkan selamat padanya. Namun, jangankan mengucapkan selamat, sekadar mengeja satu kata  saja aku tak bisa.
Aku meraba dada, seolah bisa merasakan nyeri di dalam sana. Di bagian mana lagi Saka menyakitiku?
***
“Dulu kami satu sekolah dari SD sampai SMA.” Wanita paruh baya dengan hijab instan itu berkata dengan pandangan menerawang, seperti sedang mengingat masa-masa yang dihabiskannya bersama Pak Subagyo—Kepsek Garuda.
“Wah, kalau gitu udah tau kekurangan masing-masing dong, ya?” tanyaku sembari terkekeh. Aku mendapat jatah meng-interview Bu Susi selepas jam sekolah usai. Sementara Zafran mewawancari Pak Bagyo. Nantinya kami ingin melihat kecocokan cerita. Benarkah persahabatan mereka sedekat itu?
Bu Susi turut tertawa. “Tentu saja,” jawabnya, “Dia itu suka kentut kalau pas sama saya.”
Spontan aku menutup mulut, mencegah umpatan keluar karena sadar betul siapa yang sedang dibicarakan. Beruntung tidak ada siapa pun di sudut kantin ini. Sebagian besar kursi-kursi sudah dinaikkan ke atas meja.
“Kalau udah gitu biasanya saya akan langsung memukul bokongnya.”
Aku terbahak, teringat kelakuan sendiri yang juga kerap memukul Zafran. Mengingat cowok itu, aku jadi teringat sesuatu. Lantas memilih menanyakan hal yang tidak ada dalam daftar interview.
“Di antara Ibu dan Pak Bagyo ....” Aku membasahi bibir, agak sungkan menanyakan itu. “Pernah gak ada rasa? Atau murni persahabatan dari dulu?”
Bu Susi menghela napas panjang. “Itu juga yang membuat kami sempat bermusuhan, Gea.”
Netraku melebar, “Musuhan?!”
“Iya. Waktu itu saya yang jatuh cinta sama Pak Bagyo. Posisinya dia memiliki pacar. Suatu ketika pacarnya minta putus alasannya karena tahu saya menyukai Pak Bagyo. Padahal saya gak pernah cerita ke siapa-siapa.” Bu Susi menjeda ceritanya, matanya berkilat sedih. “Pak Bagyo marah besar waktu itu.” Dan sekarang air mata itu menetes, yang segera diseka oleh Bu Susi.
Aku menelan ludah kelat. Masih menunggu, enggan menyela, karena aku tahu butuh waktu untuk itu.
“Tapi alhamdulillah gak nyampe dua bulan kebenaran terungkap. Rupanya pacarnya yang selingkuh, dia cuma cari-cari alasan aja biar bisa putus.” Senyum terkulum di bibirnya.
“Alhamdulillah ....” Aku turut mengembuskan napas lega. “Lalu bagaimana dengan persahabatan Ibu?”
Lagi, Bu Susi menghela napas. “Waktu yang akan menjawab, Gea. Jika memang cinta itu ditakdirkan tumbuh, maka cepat atau lambat cinta pasti hadir. Tapi kalau emang enggak ditakdirkan, ya, pasti ada jalan masing-masing.”
“Kayak Ibu sama Pak Bagyo yang udah berkeluarga semua, ya?”
“Iya, seperti itu.”
Kami sama-sama tersenyum.
Aku lega. Mendengar penuturan Bu Susi barusan mencipta harapan baru. Harapan untuk sahabatku.  Semoga Zafran lekas menemukan tambatan hati yang lain.
***
Kami sama-sama berhenti di koridor itu. Persimpangan antara jalan menuju kantin dan kantor guru. Untuk beberapa saat hening yang sarat kecanggungan mengusai kami.
Mungkin sama sepertiku, Zafran pun bingung harus bagaimana menyapa. Aku menertawakan diri sendiri dalam hati. Tak pernah terlintas dalam angan hal seperti ini akan terjadi. Dulu, kami seperti Ipin Upin yang selalu tahu cara melengkapi. Pun tak jarang berlaku layaknya Tom and Jerry. Namun, sekarang ... aku rasa jika bunga aster di samping itu bisa berbicara, pasti sedang menertawakan kami. Aku dan Zafran seperti dua orang asing yang baru bertemu. Menyebalkan berada dalam situasi ini.
“Udah?”
“Lu udah?”
Kalimat itu terlontar berbarengan dari mulutku dan Zafran.
“Iya, udah.”
“Udah.”
Lagi koor itu terjadi. Tapi bukannya lucu, malah terasa kaku. Karena setelahnya kami kembali membisu.
Zafran berdehem, “Mau dicocokkin sekarang apa besok aja?” Dia membicarakan hasil interview.
“Besok aja kali ya, udah sore.”
Cowok itu memandang langit sekilas, lantas mengangguk. “Oke. Jadi ... lu mau langsung pulang?”
“He’em.” Aku mengangguk. Lantas pamit lebih dulu.




Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang