Aku memejamkan mata, menarik napas panjang guna menambah kesabaran. Akan lebih runyam lagi jika aku membalas perkataan Clara barusan. Akan percuma menjelaskan padanya meski yang aku sampaikan nyata.
“Terserah lu si, mau percaya gue atau Eldi. Tapi gue berani sumpah gak pernah ngelakuin itu. Gue bahkan gak pernah ada niat.” Aku menatap Clara yang masih terdiam, lantas kembali melanjutkan, “Lu pasti juga bisa nyimpulin sendiri gimana posisi kita waktu itu. Gue harap lu gak buta cuma buat bela cowok yang lu sukai.”
Clara mendengkus. “Lu pikir gue akan lebih percaya elu daripada Eldi yang udah gue kenal lama?”
Meski berkata seperti itu, tapi aku tahu ada sedikit keraguan di sana. Clara hanya ... yah mungkin belum mau menerima kenyataan. Lagi pula siapa pun yang melihat interaksi aku dan Eldi waktu itu, pasti bisa menyimpulkan jika Eldi yang memojokkanku. Bukan sebaliknya.
“Fine!” Aku mengedikkan bahu. “Lu bebas mau percaya siapa aja. Lu juga silakan mata-matain gue mulai sekarang. Dan kita liat siapa yang benar nantinya.”
“Lu nantangin gue!” bentak Clara. Sepertinya jiwa jawaranya tersulut karena tantangan dariku. Tak mau dipandang rendah dan tak biasa mengaku kalah.
“Kalau lu nyebut itu tantangan, ya anggap aja gitu.” Suaraku masih seenteng itu. “Lagian itu, kan, yang selama ini lu lakuin? Jadi CCTV-nya Eldi?”
“Lu!” Tangannya terangkat, mungkin bersiap menampar atau apa, tapi dia ditahan karena ada orang yang lewat. Berganti mengetatkan gigi. Mungkin gemas. “Bilang aja lu iri, iya, kan?” tanyanya, dagunya kembali terangkat.
Aku mengernyit, tidak menjawab karena tahu Clara sendiri yang akan menjelaskannya.
“Lu iri sama kita. Lu mupeng punya cowok, kan?”
Tawaku pecah. Merasa lucu dengan perkataan Clara. Ya, aku mungkin tidak punya pasangan yang bisa dipamerkan seperti dia. Tapi bukan berarti iri. Apalagi jika cowok yang dimaksud adalah Eldi. Big no!
“Gue justru kasian sama lu, Clara. Dari sekian banyak cowok yang sangat mungkin lu dapetin, tapi lu pilih Eldi,” ujarku setelah puas tertawa, pun karena tatapan tajam dari Clara yang seolah mengisyaratkan untuk diam.
“Maksud lu apa?”
Bahuku otomatis terkedik. “Coba cari tau aja sendiri.” Lantas aku memilih enyah dari hadapannya dengan mengambil jalan di sebelah Clara. Mengabaikan panggilannya.
***
Aku mengernyit saat melihat pemandangan tak biasa di dalam kelas. Seperti ada yang salah dengan tempat yang biasa aku duduki. Mengalihkan pandangan ke sekitar ruangan, aku menghitung baris bangku. Dan memang benar itu bangku yang biasa aku tempati, tapi di mana Zafran? Kenapa ada orang lain yang duduk di sana?
“Kok lu di sini?” tanyaku pada Mila. Cewek berkepang dua dan berkaca kata bulat. Dulu saat pertama melihatnya aku sempat mengira dia kembaran tokoh dalam cerita di telenovela.
“Itu ... si Zafran ngajak tukeran.”
Kerutan di dahiku kian dalam. Untuk apa Zafran bertukar tempat?
Sejak masuk kelas ini, aku sudah terbiasa dengan Zafran yang duduk tepat di belakangku. Kebetulan tatanan bangkunya memang satu-satu. Jika sebangku berdua, mungkin aku akan duduk berdampingan dengan cowok itu.
Namun, pagi ini justru Mila yang ada di sana. Membuatku bertanya-tanya. Ada apa dengan Zafran?
Lagi, aku mengedarkan pandangan, mencari keberadaan cowok berambut ikal itu. “Lu tau di mana dia?” tanyaku lagi pada Mila karena tak kutemukan batang hidung Zafran.
Cewek itu menggeleng. “Ke toilet mungkin, atau kantin,” jawabnya ragu.
Aku memutuskan untuk menaruh tas lebih dulu. Duduk di kursi, sembari menatap ke arah pintu.
Lantas ketika sosok yang aku cari menampakkan diri, aku segera menghampiri.
“Ngapain lu pindah?” todongku langsung.
Seperti sengaja mengabaikanku, Zafran tetap berjalan melewati sisi yang lain.
“Zaf, gue nanya ya, sama lu?” Aku mengikutinya sampai di depan loker.
“Apa, sih, Ge! Lu gak denger udah bel tadi,” jawab Zafran tanpa berbalik. Mencoba terlihat sibuk dengan isi lokernya, tapi aku tahu tidak seperti itu yang sebenarnya. Karena dia hanya mengambil sebuah buku.
“Jawab dulu pertanyaan gue! Napa lu pindah?” Kali ini aku mencoba merangsek ke samping, menahan pintu lokernya dengan tangan.
Zafran berdecak. “Trus kenapa kalau gue pindah? Urusan sama lu?”
“Ya ....” Kalimatku menggantung di udara. Aku juga bingung menjawabnya. Memangnya kenapa kalau Zafran pindah?
Aku tersentak karena sentuhan Zafran di bahu. Dia menggeser tubuhku. Lantas menutup pintu lokernya. “Dah, balik sono!” ucapnya.
“Gak mau!” Aku menggeleng. “Lu kudu pindah ke sana.” Aku menunjuk baris bangku yang biasa kami tempati. Baris ke tiga dari pintu. Kursi nomor tiga dan empat. Lantas kembali mengernyit saat melihat seseorang di bangku nomor empat itu. Merasa ada yang aneh di sana.
Lagi Zafran berdecak. “Jangan kayak bocah. Gak ada bedanya gue duduk di mana pun.” Dia akan melangkah, tapi buru-buru aku cegah dengan mencekal lengannya.
“Bedalah!” ketusku. “Gue gak biasa duduk sama yang lain.”
“Ya udah biasain!”
“Ih, Zafran! Lu napa sih? Marah sama gue? Gue punya salah sama lu?”
Zafran tampak menghela napas. Lalu meraih tanganku yang ada di lengannya, melepas, tapi tetap menggenggam. Kami berdiri berhadapan.
Aku sedikit mendongak demi bisa melihatnya, masih menunggu jawaban dari cowok itu.
“Lu gak salah, Ge,” ujarnya kemudian. “Gak ada yang salah. Gue cuma pengen pindah aja.”
“Kenapa mesti pindah? Trus ntar gue nyontek siapa?” berondongku.
“Hari ini gak ada matematika.”
“Berarti besok lu pindah lagi, kan?”
“Gak!” Zafran kembali berjalan menuju deret kursi paling ujung.
Setengah berlari aku mengejarnya. Lantas dengan sedikit kasar merebut buku di tangan kiri cowok itu.
“Ge! Lu apaan, sih?” protes Zafran.
Aku mengangkat buku itu setinggi mungkin, meski tahu jika Zafran bisa dengan mudah merebutnya kembali. “Janji dulu besok lu balik.”
Tangannya berusaha menjangkau buku, untungnya aku masih bisa berkelit. “Duoble G, bentar lagi guru dateng, ya.” Dia mencoba mengingatkanku.
“Janji dulu!” tuntutku, masih tak mau mengalah.
Zafran menghela napas. “Nyari perkara lu, ya,” ucapnya seiring dengan gerakan cepat tangannya menjangkau buku itu. Alhasil kami terlibat adu kuat, saling menarik ujung buku.
“Gea! Sobek, nih ntar buku!”
Aku hanya menanggapi dengan juluran lidah, masih fokus dengan genggamanku sendiri yang sayangnya mulai terasa licin.
Zafran seperti menyadari itu, dia menyentakkan tangan cukup keras, sehingga genggamanku terlepas. Tepat saat itu, beberapa lembar kertas berjatuhan dari dalam buku, berhamburan di depan kakiku.
Lalu saat aku menunduk, dan melihat gambar di kertas-kertas itu, mataku membola. Aku mengenalinya, foto kaktus mini yang kerap mampir di loker. Membungkuk, aku berniat mengambil salah satu foto itu. Namun, sebelum tanganku menjangkaunya, sebuah tangan lebih dulu memungutnya.
“Zaf ....” Aku mendongak, menatap Zafran yang berdiri gusar. “Itu ...?” Telunjukku mengarah ke lembaran foto di tangannya.
Zafran memejamkan mata sejenak, lantas berdecak. “Ntar gue jelasin,” ucapnya, tepat saat guru memasuki ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...