“Bagi gopek dong!”Alisku berjengit, disertai kerutan dalam di dahi, merasa tidak kenal dengan lelaki berambut ikal di depanku ini. Bagaimana bisa kenal sedangkan aku anak baru di sini. Baru hari ini menyandang gelar sebagai siswi SMA Garuda. Namun, cowok di depanku ini bertingkah seolah kami sudah berteman sebelumnya.
“Eh, cepetan?”
Aku tergeragap, buru-buru merogoh saku baju dan mengangsurkan uang lima ribuan ke arahnya.
“Jiah, gue kan mintanya gopek, napa lo kasih goceng?” protesnya.
“Gue punyanya itu,” jawabku jujur.
“Ya udahlah gak jadi.”
Dia berbalik, sedikit berlari ke arah kantin.
Lagi, alisku berjengit. Menggeleng, aku lantas kembali melanjutkan langkah menyusuri koridor. Namun, belum genap sepuluh langkah, aku kembali dikejutkan dengan tepukan di pundak dari belakang.
“Lo!” Nyaris saja aku memaki, andai tidak ingat statusku sebagai newbie di sini.
Pemuda itu menarik sudut bibir. “Anak baru, kan?” tebaknya, “kelas berapa? Gue anterin yuk!”
Dan sejak saat itu, dia menjadi teman paling dekat yang aku miliki di SMA Garuda. Teman yang tanpa sungkan aku pukuli, dan kata-katai. Ya, dialah Zafran Algifari.
***
“Lu suka sama Eldi, kan?”
Netraku membola, nyaris saja tersedak ludah sendiri saat mendengar penuturannya. Aku berdehem, demi menjaga wibawa meski tahu jika mungkin aku tidak akan bisa berkilah. “Apaan, sih? Ngaco, deh!” Buru-buru membuang muka.
Terdengar decakan dari mulut Zafran. “Gak usah ngeles, keliatan juga.”
Aku menggigit bibir bawah, bimbang apakah harus jujur atau berbohong. Meski opsi kedua jelas percuma. Aku yakin ekspresiku sekarang sudah macam maling yang tertangkap basah. Menarik napas panjang, aku menoleh padanya. Baiklah, barangkali curhat dengan seseorang bisa sedikit mengurangi beban pikiran. “Emang ... keliatan, ya?” Rasa waswas sempat menyusup, takut jika ada orang lain yang juga mungkin tahu rahasiaku.
Dia mengedikkan bahu, “Hanya yang benar-benar memperhatikan.”
Hal yang justru membuatku berhasrat mengoloknya. “Cie ... yang merhatiin gue.”
Zafran berdecak, “Gimana gue gak merhatiin lu? Lu kan selalu ada di mana gue berada. Mbuntut aja kerjaannya!” cibirnya.
“Enak aja! Elu kali!” Gerakanku untuk menggeplak lengannya berhasil dihindari pada saat yang tepat, membuat tanganku hanya meraih udara kosong.
“Nah, kalau gini, baru Gea Galak namanya ....”
Aku mengerjap, masih memproses yang dia katakan.
“Gea tuh galak sekali pun lagi patah hati!” jelas Zafran tanpa diminta.
Hal yang lantas membuatku sadar jika apa yang dia lakukan barusan demi membawa mood-ku kembali. Mungkin dia tahu bahwa seharian ini aku lebih banyak diam. Terlalu fokus dengan urusan hati, sehingga tanpa sadar turut mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan.
“Thank’s , Zaf,” ucapku tulus.
“Elah, napa jadi serius gitu? Ngeri gue kalau lu ngomong gitu.”
Aku terkekeh, “Dasar Zafran gila!”
Dia turut tertawa kecil, “Btw lu gak ke lapangan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...