Sepuluh

65 7 0
                                    

Topeng
Semua orang memakai topeng
Topeng dengan wajah tersenyum
Topeng dengan wajah tanpa dosa

Topeng
Semua orang memakai topeng
Di balik wajah yang menangis
Di balik wajah yang tersenyum sinis

Topeng
Semua orang memakai topeng

Rintik

“Tumben banget si Rintik ngirim ginian?”

Aku hanya melirik dari balik laptop saat Eldi menanyakan hal itu. Memilih berpura tak mendengar. Toh, ada orang lain di ruangan ini.
Ya, aku masih di sini. Masih menjadi bagian dari Genius. Pun masih menjadi tim yang dikepalai Eldi Syah Rizal, lelaki yang telah cukup melukai harga diriku secara tak langsung.

Namun, aku tidak sebaper itu sehingga memilih menjauh atau pergi. Lagi pula, kecintaanku akan dunia tulis menulis melebihi rasaku pada Eldi. Jadi, tidak ada alasan untuk keluar dari Genius. Aku hanya perlu sedikit menjaga jarak dari pimred satu itu. Bukan apa-apa, aku hanya takut hilang kontrol dan berakhir melayangkan tinju ke pipi putihnya.

“Emang biasanya gimana?” Clara yang ambil bagian menimpali.

“Lebih ke bucin gitu, sih, kalau ini kayak lagi nyindir.”

“Yah, tiap orang, kan, bebas berekspresi, Di ....” Kali ini Diah yang bersuara, “Mungkin ... dia lagi kesel saat ini, makanya nulis gitu.” Gadis itu mengangkat bahu sekilas.

“Kenapa, lu penasaran sama Rintik, jangan bilang lu suka sama sese-embuh itu?” Tanpa perlu melihat pun, orang akan tahu jika yang protes adalah Clara. Cewek yang seperti sangat takut kehilangan Eldi itu.

“Plis, ya, gak usah mulai cari perkara, deh!” Diah mengembuskan napas bosan.

Eldi berdehem, “Gimana penjualan perdana bulan ini?” Dia mengedarkan pandangan ke orang-orang yang ada di ruangan.

“Gak se-boom yang kita harepin, sih, tapi it’s oke, kan baru dua hari launching-nya,” ujar Diah.

Ya, edisi terbaru Genius baru saja terbit dua hari lalu. Garuda memang tidak mengharuskan seluruh warganya membeli majalah kami, terserah saja. Namun, wajah di sampul majalah turut mempengaruhi penjualan. Orang-orang akan tertarik membeli manakala ada sesuatu yang istimewa di sana.

“Kalau beneran Saka yang jadi artikel utama pasti boom banget.” Clara memainkan pulpen di tangan, sedikit mengerling ke arahku.

Aku memilih tetap diam. Aku memang tidak mengatakan kepada siapa pun tentang wawancara itu, membiarkan momen itu menjadi salah satu rekaman di sudut otakku. Meski saat-saat tertentu beberapa kalimat yang diucapkan Saka terngiang di kepala. Seperti sengaja mengganggu ketenanganku.

“Ya udah, sih, udah terlanjur ini.” Zafran yang dari tadi juga diam, mendadak bersuara. “Yang penting, kan, Genius tetep terbit.”

“Yoi, Bro,” tukas Eldi, cowok itu lantas menyebut namaku, membuatku mau tak mau mengangkat pandangan padanya. “Tentang syarat itu ... gimana?” tanyanya.

Alisku berjengit, pertanyaan itu pun turut menyadarkanku. Setelah pertemuan waktu itu, aku belum bertemu lagi dengan Saka. Entah dia sengaja melupakan, atau memang sudah berakhir, meskipun seingatku Saka bilang waktunya tujuh hari. Tapi apa pun itu, aku justru bersyukur tidak perlu berurusan lagi dengannya. “Itu ....”

“Saka kan, lagi di Bali ikut turnament.” Celetukan dari Suci membuatku menoleh, sekaligus menghentikan perkataanku.

“Maksud lu Saka bisa aja minta Gea jadi kacung lagi?”

Pertanyaan Zafran membuatku bergidik, jangan sampai hal itu terjadi. Namun, belum semenit harapan itu terbetik, pop up pesan dari ponsel di meja membuatku tahu jika sudah terlalu sering harapanku tidak berjalan sesuai kenyataan.

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang