Dua Puluh Satu

51 7 0
                                    

Sudah tiga hari ini kami makan malam tanpa Ayah. Sejak jabatannya berubah, Ayah selalu pulang di atas pukul delapan malam.

“Kok Ayah mau sih, Bu jadi asisten?” tanyaku.

“Pak Abhiyasa yang meminta langsung, karena asistennya yang dulu ternyata gak jujur.”

“Emang Ayah sama bosnya sedekat itu?”

Ibu meletakkan sendok, menatapku intens. “Kamu tau, Nak, ada orang-orang tertentu yang memperhatikan kita hingga sedetail itu. Apalagi di dunia kerja, terutama pemilik usaha, tentu akan menilai setiap karyawannya, kan?”

Aku mengangguk, membiarkan Ibu meneruskan.

“Pak Abhiyasa pasti juga melakukan itu, sebelum memutuskan untuk Ayahmu menjadi asistennya.”

“Maksud Ibu, Ayah spesial? Pekerja keras dan jujur?”

Ibu mengangguk, “Bisa jadi pelajaran juga buat kamu, Nak. Di mana pun berada, kamu harus selalu amanah dan jujur.”

“Siap, Bu.”

Kami saling melempar senyum, lantas kembali menyuap makanan.

“Oh, ya, Nak,” Ibu berujar kembali, “Kata Ayah, anaknya Pak Abhiyasa sekolah di tempat yang sama denganmu.”

“Oh, ya? Siapa namanya, Bu?”

“Ibu lupa nanyaian nama. Yang jelas putranya sekolah di Garuda juga.”
Aku mengernyit, cukup banyak anak-anak pengusaha di SMA Garuda. Mereka yang berangkat dengan mobil mengilat dan gadget termutakhir keluaran terbaru. Lalu siapa kira-kira yang menjadi anak atasan Ayahku? Pantas saja aku seperti tidak asing mendengar nama Pak Abhiyasa.

***

Hari ini aku sengaja bangun lebih pagi, lantas berdiam diri di depan meja makan sembari menunggu Ayah keluar. Ibu sampai terheran-heran saat menatapku. Biasanya aku akan lebih senang menunggu waktu berangkat di kamar. Sarapan saat mendekati jam berangkat. Pun terkadang aku tak sempat melihat Ayah berangkat.

“Gea, tumben?” Seperti Ibu, Ayah juga mengernyitkan dahi saat menatapku.
Aku hanya memberikan cengiran sebagai tanggapan. “Kangen sarapan sama Ayah,” dalihku, dan memang tidak sepenuhnya dusta. Aku rindu satu meja dengan lelaki itu. Rindu mendengar pertanyaan Ayah seputar sekolah.

Aku jadi membayangkan bagaimana perasaan mereka yang ditinggal ayahnya bekerja jauh? Yang hanya bertemu sekali sebulan atau lebih, bahkan tahunan. Ingatkan aku untuk lebih banyak bersyukur nanti.

Ayah mengelus puncak kepalaku. “Maafin Ayah, ya? Kita jadi jarang makan bareng.” Lantas dia duduk di kursi paling ujung, seperti biasa.

“Gak papa kok, Yah. Asal gak sampe lupa waktu aja.”

“Ya, gak lah, Nak,” sahut Ayah cepat. “Ayah kerja kayak gini, kan, juga buat kamu.”

“Iya, Yah, makasiiih Ayahku Sayang,” ucapku manja, dengan menangkupkan tangan di depan dada.

“Hm ... pasti ada maunya nih?” timpal Ibu yang menyajikan sepiring bakwan jagung di depan kami.

“Biasanya, sih, gitu, Bu,” balas Ayah. Mereka berbagi tatap seperti tim yang solid. Menaik-naikkan alis seperti tengah mengejekku.

“Ih, orang Gea serius.” Aku menusuk bakwan jagung menggunakan garpu dengan tekanan berlebihan. Bibirku mengerucut, tak terima dengan olokan mereka.

Dua orang itu kompak tertawa. Lantas bergantian menjawil pipi dan daguku. Seolah aku bocah lima tahun yang menggemaskan.

“Ayah juga kangen, Nak,” kata Ayah kemudian, setelah menyeruput kopi. “Bagaimana sekolah kamu?”

Aku tersenyum, pertanyaan yang aku rindukan. “Lancar, Yah. Oh, ya, kata Ibu, anaknya bos Ayah sekolah di Garuda?” Pertanyaan ini adalah tujuan sebenarnya aku berlaku tidak biasa. Aku penasaran dengan anak Pak Abhiyasa. Pun aku masih merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.

Ayah mengangguk, “Betul, Nak. Ayah beberapa kali bertemu sama anaknya. Namanya Eldi, ganteng, putih. Orangnya juga baik. Kamu kenal?”

Aku mengerjap, tidak langsung menjawab. Tidak menyangka jika dunia akan sesempit ini. Hanya ada satu nama Eldi di Garuda. Dia pemimpin redaksi Genius. Dia yang dibilang Ayah ganteng dan putih. Eldi yang sama dengan yang pernah mengancamku untuk menjauhi Saka.
Satu pertanyaanku, sesempit itukah dunia?

“Kenal, Yah,” jawabku setelah beberapa detik. “Ng ... dia tau, kalau Ayah, ayahnya Gea?” Entah kenapa aku berharap Ayah tidak memberitahu Eldi tentang itu.

Ayah mengedikkan bahu, “Belum, kami Cuma sempat beberapa kali saling melempar salam. Kenapa Gea gak suka kalau ayah kerja sama ayahnya temenmu, Nak?”

“Bukan!” Aku menggeleng kuat. “Gea gak masalahin Ayah mau kerja sama siapa aja kok.”

“Oh, syukurlah.” Ayah tampak lega.
Karena memang bukan seperti itu alasanku. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan status pekerjaan Ayah. Pun tidak keberatan siapa pun atasannya. Bagiku yang penting pekerjaannya halal.

Hanya saja ada sesuatu yang sedikit mengganjal. Hanya sedikit, semoga segera enyah dari pikiran.

***

Apa yang berbahaya dari sebuah pemikiran?

Kita tidak bisa mencegah otak untuk terus berspekulasi. Merangkai jalinan cerita sendiri meski belum pasti. Terkadang mengandaikan sesuatu yang mungkin akan terjadi di masa depan, hanya karena satu fakta baru.

Oke, mungkin tidak semua orang seperti itu. Sayangnya, aku termasuk salah satunya. Sejak tahu jika Ayah bekerja pada orang tua Eldi, otakku bekerja di luar kendali. Berbagai bayangan tak mengenakkan menari-nari di awang-awang.

Salah satunya adalah bagaimana jika Eldi memanfaatkan situasi itu untuk mengintimidasiku. Seperti yang kerap terjadi pada kisah di dalam novel romansa. Salah satu tokoh menggunakan orang tua  untuk mendapatkan tokoh lain.

Bagaimana jika Eldi mengancam akan memecat Ayah jika aku tidak menuruti keinginannya?

Aku bergidik. Menggeleng kuat, berusaha mengenyahkan berbagai pikiran jahat. Sembari menyugesti diri jika Eldi tidak akan berbuat seperti itu. Lagi pula, aku tidak seberarti itu untuk Eldi, kan?

Berbicara tentang Eldi dan nama ayahnya, aku masih merasa belum menemukan kepingan ingatan tentang itu. Nama Abhiyasa memang pernah mampir di indra pendengaranku, tapi aku merasa bukan Eldi yang mangatakannya.

Aku terkesiap karena ujung sepatu seseorang yang menghalangi jalan. Membuatku otomatis berhenti. Pun menyadarkanku dari lamunan. Sepanjang perjalanan menyusuri koridor, aku memang menunduk.
Kernyitan di dahi timbul karena si sepatu putih tak mau beranjak. Aku memilih mengalah dengan bergeser ke kiri tanpa mengangkat kepala. Iya, aku sedang malas bertegur sapa dengan siapa pun.

Namun, yang terjadi berikutnya membuatku mau tak mau harus menegur si sepatu putih karena lagi-lagi menghambat langkahku. Aku mendongak, bersiap mengomel kepada entah siapa pun itu. Tapi ketika netra kami beradu, dan wajahnya terpampang, semua omelanku tertahan di ujung lidah. Berganti sekadar membuka mulut tanpa sepatah kata.

“Gue kangen lu, Anggea.”

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang