Bagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan.
Itu cukup. Melihatmu setiap hari sudah menjadi suntikan semangat tersendiri untukku. Mendapati senyummu dari balik buku sudah menjadi kebahagiaan spesial bagiku.
Aku akan tetap menjaga rasa ini. Mengagumimu dalam diam. Menyukaimu dalam rahasia terdalam.
Biarlah aksara menjadi pelipur lara. Lewat goresan tinta ini akan kujadikan kamu abadi meski tanpa nama. Meski ... entah akan berakhir seperti apa."Rintik?"
Aku mengerjap ketika sebuah suara terasa begitu dekat dengan telinga. Mendongak, kudapati sepasang iris coklat tengah memandang lekat. Bukan ke arahku, tapi ke selembar kertas yang aku pegang. "Kak Eldi tau?" tanyaku pada lelaki itu.
Sejenak keningnya berkerut, detik berikut menggeleng. "Gak tau, cuma kalau gue perhatiin dia lumayan sering, kan, ngirim ke sini?"
"He'em ...." aku mengangguk, "hampir tiap bulan ada namanya di Genius Box." Aku menyebutkan tempat khusus di depan ruang mading. Sebuah box mirip kotak surat sebagai sarana penyaluran isi hati para warga SMA Garuda.
"Sayang bukan tulisan tangan," kata Eldi kemudian.
Aku mengernyit, "Emang kenapa?"
Lelaki bersurai hitam itu mengedikkan bahu, "Hanya ... penasaran, siapa tau bisa ngenalin tulisannya." Dia menegakkan badan saat suara dorongan pintu terdengar.
Dua orang gadis berseragam sama dengan kami memasuki ruangan. "Pagi gaes," sapa cewek berkuncir kuda ceria. Diana. Lantas segera menjatuhkan bokong di kursi samping kananku setelah mendapat respons dari kami.
Sementara Clara menarik kursi paling ujung dengan gerakan berlebihan, hingga mencipta bunyi gesekan yang tidak mengenakan telinga. Wajah gadis bertubuh serupa model profesional itu tertekuk.
"Plis, deh, gak usah ada drama pagi-pagi," celetuk Diana, lantas menoleh pada Eldi. "El buru minta maaf sono!"
"Kok gue?" tanya Eldi.
Aku memilih kembali berkutat dengan lembaran kertas lain, meski telinga tetap berdiri demi mencuri dengar informasi.
"Elah, pakai nanya, doi, kan, ngambek gara-gara lo tinggalin."
Terdengar helaan napas sejenak sebelum tubuh beraroma jeruk nipis itu beranjak dari samping kursiku. Melangkah pelan tapi pasti ke arah gadis di ujung sana.
"Marah?" tanya Eldi, menyentuh pundak Clara.
"Gea surat-suratnya udah lo ambil? ... Gea!"
Aku terkesiap, lantas buru-buru menoleh ke arah Diana. "Iya, udah ini."
Setiap akhir pekan, kami akan membuka Genius Box, mengambil kiriman tulisan dari penghuni SMA Garuda. Lantas menempelkan di majalah dinding. Sementara yang menurut kami paling bagus, akan dimasukkan ke dalam majalah sekolah yang terbit setiap awal bulan.
Aku baru dua bulan bergabung dengan tim majalah sekolah. Baru tiga bulan pindah sekolah karena mengikuti Papa yang dipindahtugaskan.
Tawa kecil dari Diana membuatku menoleh. Gadis itu menggeleng beberapa kali seolah melihat sesuatu yang 'wah'.
"Kenapa lo?" Entah sejak kapan Zafran masuk, lelaki yang doyan ngemut lolipop itu sudah berdiri di belakang kursiku.
Diana tidak langsung menjawab, masih melakukan ritual seperti tadi. Menggeleng dan tersenyum. "El ...." Sekalinya bersuara, justru memanggil Eldi. Dia kembali melanjutkan setelah mendapat respons. "Penggemar lu, nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...