Langkahku ringan menyusuri koridor sekolah. Sesekali berhenti dan menyapa beberapa teman yang kenal. Meski terhitung baru, aku cukup berbaur dengan teman-teman seangkatan.
Kelasku berada di ujung koridor, dekat taman. XI.B.2 tertulis di depan pintunya. Ada tiga puluh tujuh murid di sini. Sebagian besar cewek. Deretan loker terletak di belakang.
Alisku bertaut saat melihat sesuatu asing di pintu loker. Semakin dekat, semakin nyata terlihat. Sebuah foto kaktus tertempel di sana. “Apa nih?” Aku mencabutnya, dan menemukan deretan aksara di belakangnya.
Jadilah kuat seperti kaktus.
“Ciee ... Gea punya secret admirer ....”
Aku heran dengan orang-orang yang kerap mengagetkanku akhir-akhir ini. Entah aku yang tuli, tidak menyadari kedatangan mereka, atau mereka yang sengaja melakukannya. “Lu tau siapa yang naruh ini?” tanyaku pada Zafran.
“Gue baru dateng.” Zafran menunjukkan ransel di belakang punggung.
Beberapa siswa lain yang ada di kelas pun tidak tahu saat aku bertanya. Membuatku kemudian menyimpulkan bahwa mungkin benda itu tak sengaja tertempel di sana. Niat untuk membuangnya aku urungkan, beranggapan bahwa mungkin saja si empunya akan mencari.
“Gimana lu udah dapet apa tentang Saka?” tanya Zafran setelah kami duduk di bangku sembari menunggu guru.
Aku menggeleng lesu yang segera ditanggapi dengan cemoohan, “Lu sih?”
“Ya mana gue tau. Bantuin ya?” pintaku padanya dengan nada semelas mungkin. “Plisss!”
“Gue aja belum kelar. Gara-gara lu, kan, gue jadi dobel tugasnya.”
“Tapi kan, itu gak sesusah Saka Kelana.”
“Apa lu bilang? Emang ngewawancarain Pak Wawan itu gampang?” Zafran menyebut salah satu guru olahraga di Garuda.
“Aha!” Aku menjentikkan jari, baru saja menemukan ide brilian. “Kenapa gak sekalian minta Pak Wawan buat datengin Saka?”
Menaik-naikkan alis, aku pikir telah mendapat jalan keluar, tapi toyoran yang aku dapat membuatku mengaduh.
“Kamsud lo? Emangnya mereka kembar, saudara, kakak beradik yang bisa saling sapa dan minta tolong?” ucap Zafran panjang, penuh nada ejekan.
Gantian aku yang menoyor kepala lelaki berambut ikal itu. “Pak Wawan kan, pelatih Saka juga, dodol!”
Zafran mengusap kepala. “Terus?”
“Terus lurus aja sampai mentok," sewotku, “Kemungkinan mereka berinteraksi jelas ada, kan?”
Mulutnya terbuka separuh, lalu mengangguk-angguk. “Kalau gitu lu aja yang interview Pak Wawan, ukey?” Jari telunjuk dan jempolnya membentuk lingkaran.
“Gue?” Aku mengambil buku, menggulungnya menyerupai tabung. Lantas memukulkan ke arah Zafran.
“Duh! Gea, sadis banget jadi cewek!”
***
“Hai, Kak Saka ....”
“Halo, Kak, gue Gea reporter Genius ....”
“Gue reporter Genius, boleh minta waktu, gak?”
Itu bukan cuplikan percakapan, tapi itu adalah artefak tak berbentuk, bukti perjuanganku menemui Saka Kelana. Di mana pun aku berusaha mengajaknya bicara, di depan kelas, di kantin, bahkan di depan toilet, tak pernah ada respons apa pun. Sekali lagi TIDAK ADA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...