“Lu bodoh, ya!”Aku hanya bisa menunduk saat Clara memaki. Menunjuk hidungku dengan jari runcing berkuteks bening.
“Ra!” Zafran menegur halus yang justru mendapat pelototan dari Clara.
“Apa lu? Mau belain Gea?” salak gadis berambut hitam kecokelatan itu.
Zafran mengusap belakang kepala. Mungkin merasa serba salah. Bingung mau membela siapa.
“Udah, Ra.” Diana ambil bagian, “udah telanjur, lagian lu, kan, tau Eldi kalau udah ada maunya susah diusik.”
“Ya gara-gara dia, nih!” lagi, Clara menunjuk wajahku. “Anak baru aja belagu!”
Tanganku yang berada di bawah meja saling meremas. “Sory, Ra.”
“Enak banget lu bilang sory!”
“Ra, udah, Ra.” Diana bangkit, mendekati bangku Clara, lalu mengusap pundaknya.
“Heran gue, ni hari ngebetein banget!”
“Udah, mending kita nyari yang seger-seger gimana?” tawar Diana.
“Masalahnya tuh ini ....” Clara menunjuk lembaran kertas di meja. Meski tidak jelas itu apa, tapi aku dan yang lain tahu dia sedang membahas edisi terbaru Genius. “Gue gak yakin kita bisa dapetin berita si Saka.”
“Kalau itu kita kasih kesempatan Gea buat ngebuktiin omongannya.” Diana menatapku, “Gea lu tau kan, apa yang mesti lu lakuin?”
Aku mengangguk kaku. “Yang kayak biasa aja, kan?”
Clara mendengkus kencang. Diana tersenyum, lantas kepalanya tergeleng.
Aku menatap Zafran meminta penjelasan yang justru ditanggapi dengan helaan napas lesu.
“Ya lu coba aja deh, Ge,” ujar Diana, “saran gue, lu kudu siap mental.” Dia menarik tangan Clara, beranjak pergi. Menyisakan tanda tanya besar di kepalaku.
Menoleh, aku meminta penjelasan pada Zafran. Dia lagi-lagi menghela napas, lalu menjatuhkan kepala di atas meja.
“Napa, sih, Zaf?”
Dia melirik sekilas, menghela napas lagi. “Lu tau siapa Saka Kelana gak?”
“Ng ... yang kemarin jadi juara tunggal putra, kan?”
“Itu doang?”
Aku mengangguk kaku, “Emang apa lagi? Gue kan, masih baru di Garuda, Zaf.”
“Trus lu tau kenapa Clara semarah itu?”
Mengedikkan bahu, aku menjawab tidak tahu. “Udah, deh, gak usah main tebak-tebakan kayak gini. Mending lu langsung jelasin aja siapa Saka Kelana itu.”
Bukannya menjawab, Zafran justru merogoh saku celana. Tanpa perlu bertanya, aku tahu apa yang akan dia keluarkan. Lolipop rasa susu dengan kombinasi buah-buahan yang katanya setara dengan setengah gelas susu murni.
Benar saja, dia mengeluarkan sebungkus permen bertangkai itu. Membukanya, lantas memasukkan ke dalam mulut dengan ekspresi berlebihan. Seolah benda itu makanan terlezat di dunia. Mengabaikan seseorang yang menanti penjelasan darinya.
***
Aku melangkah gontai menyusuri koridor. Pikiran melayang pada kejadian kemarin. Dua bulan lebih menjadi bagian dari redaktur Genius, baru kali ini aku mendapat amarah sebesar itu dari Clara. Meski awalnya bingung, tapi setelah mendapat penjelasan dari Zafran, aku sedikit mengerti.
Saka Kelana. Satu nama itu terus menari-nari sepanjang sisa pelajaran hari itu. Membuat aku tak fokus menyimak materi. Memaksa otakku mencari tahu segera tentang sosoknya. Termasuk membuatku datang ke sekolah di hati Minggu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...