Dua Puluh Lima

55 6 0
                                    


Demi Tuhan, rasanya aku ingin menggulung waktu, ingin memutar jam dinding itu agar segera berlalu. Agar bel istirahat segera terdengar. Agar aku bisa segera menginterogasi cowok di ujung sana.
Sepanjang pelajaran ini aku bahkan tidak begitu menangkap apa penjelasan guru. Pelajaran soal membuat review buku hanya mampir telinga, numpang lewat saja. Intinya aku tak tahu apa-apa. Beruntung tugas yang diberikan boleh dikumpulkan minggu depan.
Otakku sibuk menerka tentang sesuatu yang aku lihat beberapa saat lalu. Meski tak sempat memegangnya, tapi aku yakin foto itu jenis foto yang sama dengan yang kerap aku terima. Anonim yang aku kira secret admirer-ku. Si tanpa nama yang selalu memberi semangat dengan caranya sendiri.
Namun, kenapa benda itu ada pada Zafran? Apa itu artinya dia yang melakukannya? Apa itu artinya Zafran penggemar— tidak! Ini pasti salah paham. Aku yakin ada penjelasan. Perasaan sentimentil itu mana mungkin ada pada diri Zafran, apalagi untukku? Yang benar saja.
Aku menoleh ke kanan, di mana bangku cowok itu berada. Tepat saat itu, meski sekilas aku menangkap basah Zafran tengah menatapku. Meski sekarang dia seperti pura-pura sibuk dengan buku.
Menghela napas panjang, lagi aku menanamkan pada diri jika Zafran tidak mungkin menyukaiku. Kami sahabat, akan terasa aneh jika memendam suka. Iya, kan?
Ah, mungkin seperti dugaanku dulu, Zafran hanya ingin mengerjaiku. Prank ala sahabat. Aku mengangguk, membenarkan asumsi ini. Lantas berjanji pada diri untuk menggeplak Zafran dengan penggaris kayu nanti.
Namun, niat itu hanya menjadi wacana tanpa realisasi. Asumsi yang terakhir jauh panggang dari api. Tak ada tawa pecah Zafran sambil menunjuk mukaku seperti yang biasa orang-orang lakukan saat berhasil mengerjai. Tak ada ejekan Zafran dengan berkata, “Sory, ya, Ge, itu cuma prank.”
Karena yang aku dengar lebih mengejutkan dari semua itu. Hingga membuat tubuhku membeku.
“Gue suka sama lu.”
Kalimat itu seperti menggema di ruang seni yang kami datangi. Gemanya terdengar lebih jelas di dalam telingaku. Berulang.
Aku terkekeh beberapa detik setelahnya, respons yang cukup telat sebenarnya. “Lu pasti becanda, kan?” Masih mencoba mengingkari perkataannya. lantas tawaku pecah. “Lu berhasil ngerjain gue, Zaf! Sialan!” umpatku sembari memukul lengan atasnya. Berharap dia ikut terbahak seperti biasa.
Sayangnya, lagi-lagi tak ada tanggapan serupa dari Zafran. Cowok itu bergeming dengan ekspresi yang sama. Serius. Seolah menegaskan bahwa memang tidak ada yang lucu di sini.
Tawaku berangsur hilang, berganti perasaan tak nyaman. Sesaat kecanggungan menyelimuti kami. Terlebih dengan sikap Zafran yang tetap diam.
Aku menunduk, mengamati sneakers hitam yang kukenakan. Entah kenapa rasanya lebih aman daripada harus berbagi tatap dengan cowok di depanku ini. Meski tetap mencuri lihat ke arahnya sesekali.
Jujur, aku masih bingung menanggapinya. Haruskah aku bersorak girang karena ternyata dia benar-benar secret admirer-ku. Atau haruskah aku marah dan mencegahnya mengembangkan perasaan lebih dalam? Karena sudah ada yang bertakhta di dalam sini.
“Sejak ... kapan?” Aku menelan ludah kelat saat menatapnya sekilas. Lantas beralih menggaruk dahi yang tak gatal. Mencoba santai, meski sebenarnya tidak sama sekali.
“Sejak pertama kali liat lu.”
Aku ingat pertemuan itu. Saat dia tiba-tiba memalakku. “Saat lu malak gue?” Aku menyuarakan isi kepala. “Lu jatuh cinta pada pandangan pertama? Ih, bulshit banget!” ejakku, mencoba mencairkan suasana.
Seakan tak terpengaruh dengan ejekanku Zafran kembali bersuara, “Gue jatuh cinta sama sepasang mata yang gak naruh curiga bahkan sama orang yang baru dilihat. Gue jatuh cinta sama cewek yang gak gampang nge-judge orang, bahkan terlalu polos sampai gak sadar siapa yang dia sukai.”
“Ish, lu ngejek gue?” Aku berdehem, “Trus kenapa lu gak ngomong?”
Kali ini Zafran terkekeh, tapi tetap terdengar tak seperti Zafran yang biasanya. “Menurut lu kapan saat yang tepat, Ge? Saat lu jadi pemuja rahasianya Eldi? Atau saat lu berubah halauan menyukai Saka?”
Telak. Aku tak bisa menjawab.
“Gue gak pernah punya kesempatan, Ge!” tambah Zafran lagi yang kian membuatku tak enak hati. Terlebih mendengar suara yang seperti sarat kepedihan itu.
Mendadak aku merasa seperti si jahat yang menyakiti sahabatnya sendiri. Seperti perempuan yang tak peka dengan keadaan sekitar.
“Sory, Zaf.” Aku menunduk. “Tapi ... lu tau, kan, perasaan itu gak bisa dipaksain?”
“Gue gak maksa, Ge. Gak pernah. Buat apa gue susah-susah nempel kaktus-kaktus itu kalau bisa maksa lu?”
Aku mengangguk, membenarkan perkataan Zafran. “Jadi, lu gak papa?” tanyaku hati-hati, sembari mengamati manik coklatnya.
Zafran mengedikkan bahu. “It’s oke. Kita tetep bisa temenan, kan?”
Menarik ujung-ujung bibir, aku mencoba tersenyum. “Thanks, Zaf.”
***
Entah tabir apa yang menutupi pandanganku sampai aku tidak menyadari perasaan Zafran. Harusnya aku bisa menduga saat dia selalu ada setiap aku kesulitan. Harusnya aku bisa menebak saat Zafran tiba-tiba marah karena tahu aku jalan dengan Saka.
Aku mengembuskan napas kasar sembari berjalan di koridor. Tak menyangka akan jadi serumit ini. Jika sudah begini, bagaimana sikapku nanti? Bagaimana aku akan menghadapi Zafran? Meski dia bilang baik-baik saja, tetap saja ada rasa tak nyaman. Meski dia bilang kami tetap berteman, pasti akan ada yang berbeda nantinya.
“Gila, sih, tadi pagi Kak Zafran ngebentak Clara mpe kayak gitu.”
Suara dari orang di belakang pilar menghentikan gerak kakiku.  Seseorang yang tengah membicarakan Zafran. Asumsiku mereka adalah siswi kelas satu yang senang menggosipkan kakak kelasnya. Lantas cewek lainnya menanggapi.
“Hu’um, gosip yang beredar sih, Clara lebih dulu ngelabrak Gea si anak baru.”
“Emang alasannya apa?”
“Gue denger sih, si Gea berusaha ngerebut pacarnya Clara. Tau kan, pimred-nya Genius, Kak Eldi?”
“Trus  Kak Zafran ngebelain Gea, gitu?”
“Iyalah, apa lagi.”
“Berarti gosipnya gak bener dong.”
“Kalau itu tau, deh. Yang jelas Kak Zafran gentle banget tadi pagi. Uh, beruntung banget, ya, si Gea-Gea itu?”
Aku meringis, bukan karena menjadi bahan gosip mereka, tapi karena sadar apa yang mereka katakan benar. Aku beruntung memiliki Zafran. Dia yang selalu mengembalikan senyum dan semangatku lewat kiriman foto dan kata-katanya. Dia yang rela berlagak sok tidak tahu demi menjaga kenyamananku.
Namun, tetap saja hati tidak bisa diarahkan sesuai kemauan pikiran. Untuk siapa dia berdesir, untuk siapa dia tertuju, tak ada yang bisa mengendalikan. Aku tidak mungkin begitu saja menyambut gembira perasaan Zafran, sedangkan sudah ada satu nama yang bertakhta di dalam dada.
Mendadak aku menyesali kejadian tadi pagi. Andai saja aku tidak memaksa Zafran pindah. Andai saja aku tidak merebut buku itu. Andai saja aku memilih pura-pura tak melihat foto kaktus itu.



Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang