Dua Puluh Enam

61 6 0
                                    


Bagaimana perasaanmu saat melihat orang yang kamu sukai terluka? Lebih tepatnya babak belur.
Iya, itu yang aku rasakan sekarang. Panik, histeris, sampai tidak sadar jika aku masih memakai seragam tidurku—celana training dan kaus over size—saat menemuinya.
“Lu kenapa? Jatuh? Berantem? Digebukin warga?” berondongku.
Dua menit lalu saat ada suara ketukan, aku dengan malas berjalan ke depan. Masih setengah sadar saat membuka pintunya. Lalu saat melihat wajah Saka, netraku membola disusul kepanikan yang kentara.
Wajah Saka membiru di beberapa titik. Seperti sudut bibir dan pelipis. Hal yang wajar jika aku memberondangnya dengan rangkaian pertanyaan, kan?
Namun, tanggapan Saka justru kebalikan dari ekspresiku. Dia tertawa geli. Seolah ada badut di depannya. “Lu lucu, Anggea,” ujarnya. “Lu gak punya baju? Apa sengaja pakai baju bokap?” ejeknya terang-terangan.
“Enak aja! Ini tuh seragam wajib gue buat tidur.” Aku melipat tangan di dada. Untuk sejenak kepanikan itu mereda.
Lagi, Saka terkekeh. “Tapi ... bener, ya, kata orang-orang, kalau mau liat cewek beneran cantik atau gak tuh pas bangun tidur. Lu cantik, Anggea.”
Sialan! Setelah membuatku kesal, sekarang dia membuat wajahku memanas. Entah malu atau tersipu.
Namun, ketersipuanku tidak berlangsung lama, karena detik berikutnya Saka kembali berucap, “Tapi cantiknya jadi minus karena lu baru bangun.”
Aku melepas lipatan tangan, berganti mengepalkannya di samping tubuh. Geregetan dengan cowok itu. “Halooo plis, ya, Ka. Ini tuh hari Minggu, saatnya nyantai.” Sungguh hasrat untuk mencubitnya amat besar, tapi aku tahan karena tampilan wajahnya yang kasihan itu.
Berbicara tentang penampilan, Saka tampak berbeda dengan baju kasual. Celana jeans hitam yang membungkus tungkainya semakin mempertegas panjang kaki itu. Lalu kaus warna senada bergambar kok semakin memancarkan auranya. Aku rasa Saka memang secinta itu dengan bulu tangkis. Dan meski wajahnya bonyok di beberapa bagian, itu tidak mengurangi kegantengannya.
“Siapa, Ge?” Kekagumanku padanya harus terjeda karena suara Ibu dari belakang.
Baru saja akan membuka mulut untuk memperkenalkan Saka, saat dia lebih dulu berucap salam, lantas menyalami Ibu. “Saya Saka, Tante. Temennya Anggea.”
“Oh, temannya Gea, toh.” Ibu tersenyum sembari mengangguk. “Kok gak diajak masuk, Sayang?” Ibu menoleh padaku.
“Ini baru mau diajak masuk, Bu. Yuk, Ka!” ajakku pada Saka.
Namun, sebelum kami benar-benar masuk, Saka lebih dulu menginterupsi. Mengatakan hal yang membuat jantungku bertalu cepat.
“Maaf, Tante. Sebelumnya boleh gak kalah saya ajak Anggea keluar hari ini?”
Aku menggigit bibir bawah. Selain masih kaget, aku juga cemas menunggu tanggapan Ibu. Semenjak pindah, belum pernah ada yang mengajak pergi dengan meminta izin secara langsung pada Ibu begini. Saka yang pertama. Dan entah kenapa itu membuat hatiku menghangat. Terlebih saat akhirnya Ibu menyetujui dengan berbagai catatan tentu saja.
***
Aku pikir Saka akan mengajakku mengunjungi rumah Bu Muryati saat mobil melewati jalan yang pernah kami lalui itu. Namun, saat dia membelokkan mobil ke sisi yang lain dan kembali melaju, penasaran mulai menghinggapi.
“Mau ke mana, sih?”
“Markas gue,” jawab Saka tanpa mengalihkan tatapan dari aspal yang tak semulus jalan besar. Beberapa kali mobil bergoyang karena melewati lubang.
“Markas? Jangan bilang lu anggota gengster atau komunitas balapan liar?” Aku tahu kemungkinan itu sangat kecil mengingat betapa kakunya Saka dengan orang lain. Tapi tetap saja tidak ada yang tidak mungkin, kan?
Saka tertawa. “Kalau iya kenapa? Lu takut?”
“Becandanya gak lucu, ah.”
Lagi, dia terkekeh geli. “Ini beneran markas pribadi gue. Cuma gue yang ke sana.”
“Kok kesannya lu lagi sombong, ya?”
Untuk kesekian kali Saka terbahak. Lantas dia bilang jika selalu menyenangkan jika bersamaku. Hal yang membuatku turut tersenyum. Senang membuatnya senang.
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan yang aku sendiri bingung menyebutnya apa. Jika disebut pasar, hanya segelintir orang yang melakukan aktivitas jual beli. Jika hanya sekadar bangunan kosong, ada orang-orang di sana.
“Ini ... pasar?” tanyaku pada Saka sembari melepas sabuk pengaman.
“Bekas pasar.” Dia lantas menjelaskan jika kebakaran yang terjadi beberapa tahun silam membuat penghuninya pindah.
“Kenapa gak direnovasi?” Kami melewati tangga besi yang menimbulkan suara nyaring saat diinjak. Terlebih semakin ke atas, semakin jarang orang ditemui.
“Ganti lokasi yang lebih strategis.”
“Trus kenapa masih ada yang di sini?”
“Mereka yang gak mampu bayar sewa tempat baru, Anggea.” Saka menoleh sekilas lalu menyuruhku mengikutinya berbelok, melewati lorong yang lumayan temaram.
Sepertinya kami berada di lantai teratas gedung sebelah barat yang tidak terlahap si jago merah. Suara orang makin tidak terdengar di sini. Karena terlalu fokus memperhatikan sekitar, aku tidak sadar jika telah memasuki sebuah ruangan. Tempat yang lumayan lebar dan sepertinya seseorang telah mengubahnya jadi lapangan mini untuk badminton karena ada net di tengahnya.
“Jadi ini markas lu?” Kondisinya lumayan bersih, pun kaca besar di salah satu sisi membuat suasana tak sesuram jalan yang tadi kami lewati.
Saka mengangguk. “Mau main?” tawarnya.
“Daripada main, mending lu ceritain gimana bisa bonyok gitu. Kecuali lu mau bikin gue mati penasaran, sih.”
“Gue belum pernah denger orang mati karena penasaran, Anggea.”
“Heleh, malah ngeles.”
Saka lantas menyuruhku duduk di meja dari papan yang berada di depan jendela. Kami duduk bersisian.
“Mulai sekarang ... Eldi gak akan gangguin lu lagi,” ucap Saka.
“Kok bisa?” Aku mengernyit, lalu ketika sebuah asumsi menghinggapi otak, aku segera menoleh padanya. “Lu berantem sama Eldi?”
“Eldi udah bersumpah sama gue buat gak lagi cari gara-gara sama lu,” kata Saka tanpa menjawab pertanyaanku barusan. Tapi aku tahu jawabannya.
“Lu rela dipukulin cuma buat gue?” Aku tidak bisa mengontrol nada suaraku yang meninggi. Keterkejutan dan kemarahan mendominasi. Harusnya Saka tak harus melakukan itu, kan?
Saka tersenyum tipis.
“Kenapa? Kenapa lu mau menderita cuma buat gue?”
Dia mengedikkan bahu. “Entahlah. Mungkin karena gue suka sama lu jadi pengen ngelindungin elu. Mungkin juga karena lu satu-satunya orang yang gue bebas cerita, dan gue gak mau lu menderita gara-gara gue.”
“Gue gak menderita.”
“Tapi cukup terganggu dengan sikap kekanakan Eldi, kan?”
“Iya juga, sih.”
Sejenak tempat ini lengang. Aku menatap Saka yang fokus ke  pemandangan di luar. Meski aku sendiri tak tahu dia benar-benar melihat ke sana atau sedang termenung.
“Saka, kita ini apa?” ucapku lebih menyerupai gumaman. Untuk ukuran teman, apa yang telah dia lakukan jelas lebih dari itu kan? Terlebih tidak hanya sekali aku dengar dia mengatakan menyukaiku.
Dia menoleh, menatapku cukup lama yang justru membuat aku salah tingkah. Apa pertanyaanku terlalu frontal?
“Lu tau Anggea, anak-anak kayak gue terlahir dari orang-orang yang ngaku pacaran tapi gak mau tanggung jawab sama perbuatan mereka.”
Keningku berkerut, mencoba menebak arah pembicaraan Saka.
Di luar dugaan, Saka justru bangkit, lalu berdiri di depanku. “Dan lu tau, tiap gue deket sama lu, gue selalu berhasrat untuk begini ....” Saka memegang jemariku. “Lalu begini ....” Tangannya berpindah ke puncak kepalaku. “Dan begini ....” Kali ini telapak hangatnya menangkup sebagian wajahku. Menyalurkan sensasi hangat dan mendebarkan. Pun tak ingin sensasi itu lekas berlalu.
“Dan bukan hal mustahil akan lebih dari itu kalau gue macarin lu.” Saka mengelus pipiku dengan punggung jari. “So, daripada gue kelepasan mending kita tetep sahabatan. Iya, kan?”
Rasa kehilangan menyergapku saat jemarinya meninggalkan pipi. Saka  menenggelamkan telapak tangannya di saku celana.
Aku mengamini perkataan Saka barusan. Menyadari bagaimana respons tubuhku terhadap sentuhan Saka, aku pun takut kebablasan nantinya. Namun, tetap saja sisi teregoisku menghendaki lebih dari teman Saka.

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang