Lima

64 7 0
                                    


Ada luka yang tak berdarah tapi sakitnya amat parah. Nyeri yang diakibatkan terasa menyayat. Seperti tusukan belati. Luka itu bernama sakit hati.

Hatiku sakit saat melihatmu dengannya. Ada perih yang menjalari dada ketika menatap kalian berinteraksi mesra.

Lalu, haruskah aku sebut ini cemburu?

Dan ... bolehkah aku merasakan itu? Perasaan sentimentil dan tak terima ketika kamu begitu dekat dengannya.

Bolehkah, hai, kamu?

Aku menghela napas panjang, mencoba melonggarkan dada yang seperti terimpit beban. Meski sakit, tapi menuangkan isi hati menjadi deret aksara seperti ini cukup melegakan. Setidaknya aku tidak harus menanggungnya seorang diri.
Kubaca ulang tulisan itu, sebelum mengetikkan nama di bawahnya; Rintik.

Iya, itu aku. Pengirim tulisan di box Genius belakangan ini. Yang sampai kini belum ada yang tahu. Sengaja memang aku tidak memberitahukan pada siapa pun. Termasuk tentang isi hatiku. Tentang rasa yang coba aku sembunyikan. Mewadahinya dalam kotak khusus yang tak seorang pun mampu mengendus.

Aku tidak tahu kapan tepatnya rasa itu muncul. Rasa bahagia hanya dengan melihat senyumnya. Dada yang membuncah hanya karena mendapat sapaan darinya. Benarkah itu cinta? Atau hanya kagum semata? Entahlah, aku pun masih mencari tahu tentang itu.

***

Badanku rasanya remuk, sendi-sendi sakit. Tiap gerak yang aku lakukan mencipta linu tak tertahankan. Benar-benar badminton yang menyengsarakan.

“Napa lu kayak robot gitu jalannya?”

Netraku membola saat Zafran dengan seenak jidat meletakkan siku di bahu. Aku tahu badanku pendek, tapi tidak lantas membuatnya bisa memperlakukanku seperti papan, kan? Dengan sisa tenaga aku menggeplak bahunya keras, hingga telapak tanganku kebas. Beberapa siswa yang kami lewati bahkan memandang penuh ingin tahu.

“Sakit, Gea!” adu Zafran, mengelus bekas pukulan.

“Nah lu, gak tau apa ada orang sakit, main templokin aja tuh siku!”

“Lu sakit?” Seketika nada suaranya berubah lembut. Tangannya terjulur, hendak menyentuh keningku.

“Apaan, sih? Gak usah mendadak perhatian, deh!” protesku.

“Heleh, ni bocah!”

“Apalagi itu?” Aku mempercepat gerak kaki ketika melihat sesuatu di pintu loker.

Foto kaktus seperti beberapa hari yang lalu, dengan tulisan di belakangnya. You can do it, Anggea!
Netraku melebar, menyadari jika benda itu memang ditujukan untukku. Siapa pengirimnya?

“Wah, beneran nih, ada yang jadi secret admirer-nya Gea Galak.” Zafran turut memperhatikan benda di tanganku.

“Lu kenal tulisan ini?” Aku menoleh sekilas, lalu memperhatikan lagi barisan aksara dengan tinta biru itu.

Zafran mengedikkan bahu, “Gue bukan ahli ngebaca tulisan orang.”

“Iya, juga sih, lo kan, ahlinya ngemut lolipop doang,” cibirku.

“Siapa yang ahli?” Suara dari belakang membuat kami kompak menoleh. Eldi menyunggingkan senyum seperti biasa.

“Eldi, lo kok di sini?” tanyaku. Dia ini memang tetangga kelas. Jadi, sedikit aneh mendapatinya di kelasku pagi ini.

“Kenapa? Gak boleh?”

Aku buru-buru mengiba-kibaskan tangan di depan muka, “Gak gitu, cuman kayak bukan Eldi aja pagi-pagi dah kelayapan.” Aku nyengir.

“Pengen ketemu lo.” Dia menatapku, seketika detak jantungku meningkat.

Aku berdehem, lalu berkata, “Ada perlu apa?”

Dia mendekat hingga jarak kami hanya tersisa satu langkah kaki saja. Tanpa diduga dia menyodorkan sebungkus koyok ke arahku. “Badan lu pasti pegel, kan?”

Netraku melebar, “Kok lu tau?”

Dia hanya menanggapi dengan kedikkan bahu. “Btw, sory ya, kemarin gak jadi latihan bareng gue.”

Perkataannya membuatku teringat kejadian kemarin. Eldi dan Clara memang pulang duluan setelah percekcokan mereka. “It’s oke ada Zafran, kok.”

Aku mengaduh karena toyoran di kepala. Pelakunya tentu saja si penyuka permen itu. “Apa sih lo?” kataku.

“Lo belum bilang makasih ke gue!” tuntutnya.

Aku memutar bola mata. “Ketauan banget gak ikhlas bantuinnya.”

“Emang!” jawab Zafran tangkas.

Suara tawa Eldi membuatku urung memberi serangan balasan untuk Zafran. Sesaat aku terpana pada caranya tertawa. Matanya berubah serupa garis, aku bahkan sangsi jika dia melihat sekeliling sekarang.

“Kok lu ketawa sih, El?” protesku.

“Kalian lucu kalau lagi berantem gini,” jawab Eldi masih dengan sesekali terkekeh. “Bisa jadi ntar saling suka kayak di fim-film itu.”

Tahu rasanya jatuh? Ketika telah berada di awang-awang, tiba-tiba terhempas tanpa aba-aba. Sakit. Itulah yang aku rasakan sekarang. Setelah sempat melambung karena perhatiannya, dia memberikan ending yang tidak terduga.

Ya, orang yang aku sukai adalah Eldi Syah Rizal. Tetangga kelas, pemimpin redaksi Genius itu. Pun kekasih dari Clara. Hal yang sempat aku lupakan beberapa saat lalu. Tentu saja Eldi akan berkata seperti itu karena dia sudah memiliki Clara. Tentu saja perhatiannya hanya sebatas teman sejawat atau bisa jadi senior yang tidak ingin juniornya jatuh sakit. Aku lupa jika misi yang harus aku selesaikan turut membawa serta namanya.

Aku menarik sudut bibir, mencoba tersenyum. “Apaan sih, Di, ya kali gue suka sama Zafran!”

“Hello!” Zafran menyela, “emangnya gue juga mau sama cewek kasar kayak lu?!”

Kami saling adu tatap. Nyaris kembali berdebat jika bunyi nyaring bel tidak menengahi.

***

Pelajaran terakhir baru saja usai. Guru dan beberapa siswa sudah keluar sejak beberapa menit lalu. Namun, aku masih duduk diam di bangku.

“Gak mau pulang lu?” Zafran yang duduk di belakang menepuk bahuku.

Aku menoleh, mengubah posisi duduk, “Kirain lu udah balik?”

“Heleh! Gini nih kalau sepanjang pelajaran cuma ngelamun,” cibirnya.

“Jangan mulai, deh!”

“Kenapa sih, lu mikirin apa? Si Saka? Atau ... Eldi?”

Aku sempat menggeleng, tapi saat menyadari sesuatu dalam perkataannya, dahiku mengernyit. “Kok Eldi, sih? Emang kita ada masalah?”

Lelaki berambut ikal itu mengedik. “Cuma lu yang tau. Kali aja kepikiran perkataannya tadi pagi.”

“Maksud lu?” Entah kenapa perasaanku berubah tidak nyaman, seperti pencuri yang takut kedoknya terbongkar.

Bukannya menjawab, Zafran justru menelengkan kepala, seperti sedang menilai suatu objek. Hampir saja aku menggeplak tangan di atas meja itu andai dia tak segera bicara setelahnya. Hal yang membuatku kehilangan kata. Pun sadar jika tak selamanya aku bisa memendam rasa itu sendiri. Tak selamanya aku mampu menjadi pemuja dalam rahasia tanpa diketahui siapa pun.

“Lu suka, kan, sama Eldi?”

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang