Akhirnya hari itu tiba. Hari penentuan nasibku ke depannya. Hari yang mungkin akan menjadi sejarah paling memalukan dalam hidupku.
Oke, sepertinya aku berlebihan. Namun, tidak bisa aku mungkiri jika saat ini adalah salah satu momen mendebarkan dalam hidup. Semalam tidurku bahkan tidak nyenyak dihantui muka seorang pemuda yang berubah serupa buta cakil. Pemuda yang akan berduel denganku. Iya, dalam mimpi itu Saka Kelana bertubuh serupa raksasa, lalu dengan raket yang juga besar, dia menyabet tubuh mungilku hingga terpelanting jauh. Sungguh, mimpi yang seolah menggambarkan hasil dari pertandingan kami nanti.
Aku mengembuskan napas berat entah untuk yang ke berapa kali sejak pagi tadi. Seorang wanita paruh baya yang duduk di sampingku bahkan berjengit tiap kali aku melakukan hal itu. Aku sengaja tidak membawa motor, takut jika pikiran yang tidak fokus menyebabkan hak buruk terjadi.
Perutku mendadak melilit saat bangunan SMA Garuda mulai terlihat, dan semakin dekat. Ingin rasanya aku kembali pulang dan bersembunyi di bawah selimut. Namun, ketika angkot berhenti tepat di depan gerbangnya, aku tahu jika sudah terlambat untuk lari.
“Oke, tenang, Gea!” Aku menyemangati diri sendiri. Menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Sembari merapal doa dalam hati, semoga aku tidak berakhir mempermalukan diri sendiri. Yah, tidak harus menang, karena aku yakin itu cukup mustahil, minimal aku harus bisa menangkis serangannya beberapa kali.
“Baiklah, mari kita mulai pertunjukannya.” Dengan langkah mantap aku berjalan menuju sayap kanan bangunan.
Dahiku mengernyit saat samar terdengar suara gaduh dari dalam gedung olahraga. Seingatku hanya tim Genius yang tahu pertandingan ini, jadi, tidak mungkin akan ada penonton banyak, kan? Namun, ketika netraku menangkap pemandangan di dalam sana, aku tahu jika kadang alam turut berkonspirasi untuk menjatuhkan harga diri ini.
Aku menelan ludah kelat, bagaimana bisa penontonnya sebanyak itu?
Tepukan di bahu membuatku terkesiap. Menoleh, kudapati wajah iblis itu. Maksudku Saka Kelana. Dengan isyarat tangan dia memintaku mengikutinya, menuju ruang ganti.Kami berhenti di lorong kecil yang memisahkan ruang ganti laki-laki dan perempuan. Dia menyilangkan tangan di dada. Menatapku seperti tengah memindai kekuatan lawan. Ya, aku tahu jika diibaratkan game, kekuatanku tak lebih dari separuhnya. Dia atlet ngomong-ngomong, sedangkan aku belajar bulu tangkis saja baru kemarin. Mendadak aku menyesal karena tidak memprotes ajakannya minggu lalu.
“Lu yakin mau tanding sama gue?” tanya Saka.
“Segala ditanya ... ya kagaklah.”
Samar aku lihat bibirnya berkedut, tapi hanya sebentar, sebelum mode cool-nya kembali dan berujar, “Tanpa harus turun lapangan pun, semua orang bakal tau siapa pemenangnya.”
Yeah, lu mau bilang kalau lu hebat gitu, kan? Dasar narsis! Tentu saja kalimat itu hanya mampu aku eja di dalam kepala.
“Trus, lu mau apa ngajak gue ke sini?” tantangku.
“Kenapa gak nyerah aja?”
“Gue? Nyerah sebelum bertanding?” Kepalaku tergeleng dua kali. “Gak ada sejarahnya Gea jadi pengecut kayak gitu.”
Iya, aku ingat sempat ingin pulang beberapa saat lalu. Namun, melihat dia yang seakan meremehkan, membuat egoku terusik. Dan aku bersyukur untuk itu, karena kini adrenalinku terpancing. Siap melawan atlet sombong itu.
Dia mencebik, “So, lu lebih milih jadi bahan tertawaan anak-anak?” Sebelah alisnya terangkat, pandangan yang lagi-lagi meremehkan.
Tanganku terkepal, meski perkataannya sedikit mempengaruhi. Ya, hanya sedikit, karena hasrat untuk melawannya jelas lebih besar. “Gak masalah!” Dagu kuangkat tinggi, tak mau kalah dengan sikapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...