Lima Belas

62 7 0
                                    

Aku tak berkedip memandang bangunan di depan sana. Sebuah tempat yang meleset jauh dari imajinasiku beberapa waktu lalu. Aku pikir saat Saka bilang akan membawaku ke tempatnya dulu berasal, aku akan menjumpai tempat selayaknya panti pada umumnya, dengan tulisan khusus sebagai penanda. Namun, yang ada di depanku saat ini betul-betul sekadar rumah biasa. Rumah dengan gaya bangunan tempo dulu lebih tepatnya.

“Di sini?” Aku menoleh pada si pengemudi, memastikan jika kami tidak salah alamat.

Saka mengangguk, “Yuk, turun!” ajaknya.

Tidak ada plang khusus di depan rumah atau di mana pun yang menandakan jika tempat ini adalah yayasan sosial. Pun tidak aku temukan keramaian di sekitarnya. Bukankah seharusnya minimal ada suara anak-anak?

“Saka, lu yakin ini tempatnya? Lu salah kali?” Aku mencegah Saka mengetuk pintu. Mencoba mencari keyakinan sekali lagi darinya.

“Gak salah, Anggea,” jawabnya. “Bentar, ya.” Dia lantas mengetuk pintu coklat itu dan mengucap salam.

Selanjutnya, pemandangan yang aku saksikan membuatku yakin jika rumah yang kami datangi memang benar tempat Saka dulu tumbuh. Tempat dia mendapat kasih sayang dari pengganti orang tuanya. Tempat dia belajar mengenal dunia sampai ada orang lain yang mengadopsinya.

Mereka berpelukan, lama. Saka dan seorang wanita paruh baya yang nampak anggun dengan balutan gamis toska. Orang yang kemudian aku ketahui sebagai guru anak-anak jalanan.

“Gue kan gak bilang panti asuhan, Anggea,” ujar Saka setelah aku protes perihal dia yang tak memberi tahuku tentang rumah yang dulu dia tinggali. Kami duduk di ruang tamu, menunggu Bu Muryati yang sedang bersiap.

“Ya tapi kan, pas lu bilang mau ngajak ke tempatmu dulu, gue pikir itu semacam panti.”

“Iya, panti asuhan eksklusif buat gue.”

Aku mengangguk, perkataan Saka ada benarnya. Lantas pertanyaan-pertanyaan lain mulai bermunculan. Aku penasaran dengan jalan cerita hidupnya. Aku ingin tahu bagaimana Saka sampai berakhir di rumah besar minim penghuni itu.

“Lu sering ke sini?” tanyaku.

“Dulu ... gue sering kabur ke sini.” Netra Saka menerawang, sudut bibirnya sedikit tertarik. Mungkin sedang membayangkan kejadian masa lalu itu. “Berbohong pada ibu jika sudah mendapat izin, padahal sebenarnya gue minggat.” Dia terkekeh.

Aku turut melengkungkan senyum. Pasti tidak mudah pindah tempat tinggal. Pasti susah beradaptasi di lingkungan baru yang sangat berbeda itu. Aku bisa memahami kenapa Saka sampai kabur dari rumahnya.

“Gimana ceritanya elu bisa sampai diadopsi ayah lu sekarang?” Aku tahu ini sedikit melewati batas. Aku dan Saka belum sepenuhnya akrab. Kedekatan kami masih sebatas teman biasa. Namun, rasa ingin tahu itu menyeruak. Hasrat untuk mengenalnya lebih jauh begitu nyata merongrong jiwa.

Saka memiringkan kepala, “Lu penasaran?” tanyanya.

Aku mengangguk kaku, entah kenapa detak jantungku sedikit lebih cepat karena tatapan intensnya.

Dia tersenyum miring, “Lu lupa tugas lu, Anggea.” Lantas menyentil dahiku tiba-tiba.

Aku mengaduh, mengusap bekas sentilannya yang lumayan panas. Kalimat protesku tertelan bersama saliva karena kemunculan Bu Muryati.

“Ayo!” Saka berdiri.

Aku mengikuti mereka melangkah ke luar. Bu Muryati dan Saka berjalan di depanku. Mereka terlibat obrolan ringan, yang otomatis tertangkap telingaku.

Atau kamu yang sengaja menguping, Gea!

Siapa itu? Siapa yang bilang aku menguping? Sungguh percakapan mereka memang terbawa angin dan hinggap begitu saja di kupingku.

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang