Sembilan Belas

50 6 0
                                    

“Gue kan, udah bilang bakal mukul mereka yang ngetawain elu.”

Aku memutar bola mata, berapa kali dia akan mengklarifikasi hal itu. Sesuatu yang tidak aku butuhkan sebenarnya. Lagi pula apa dia yakin sanggup memukul para gadis itu. Ternyata Saka punya sisi lebay juga.

“Ya, udah sih, yang penting, kan gue tetep nungguin lu.”

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk ke atap gedung olahraga. Tempat yang diperkenalkan Saka ini sepertinya akan menjadi tempat favorit kami nongkrong.

Ups! Apa aku baru saja berharap?

“Ya tapi gue kan pengennya elu ada di sana.”

Alisku berjengit, menatapnya dengan pandangan menilai. “Lu kenapa, dah? Manja gini kayak cewek.”

Saka mendengkus, “Gue pernah denger kalau cewek itu seneng dimodusin, tapi kayaknya itu gak berlaku deh buat elu, Anggea.”

Apa yang baru saja dia katakan? Aku butuh tombol replay sekarang. Agar bisa mendengar lagi ucapan Saka barusan. Untuk bisa memastikan jika yang tertangkap telinga benar adanya. “Maksud ... maksud lu apa?”
Dan kenapa tanggapanku terdengar begitu bodoh?

“Gak ada siaran ulang!” jawab Saka cepat.

Aku mendesis, sedikit memanyunkan bibir karena kesal.

Saka membuka kaleng minuman soda, meneguknya dua kali. Lalu mengambil kaleng lain dan menyodorkan ke depanku.

Aku mengernyit, masih belum menerimanya. Apa karena dia berkesimpulan bahwa aku tidak suka dimodusin, lantas dia setidak perhatian itu? Harusnya dia membukakan kaleng itu lebih dulu, kan? Seperti yang sering dilakukan laki-laki gentle.

“Gak mau?” Saka akan kembali menarik minuman itu, tapi buru-buru aku rampas.

“Ya maulah!”

Dengan sedikit kasar aku membuka penutupnya. Detik berikutnya cairan berbusa itu menyembur hebat. Membasahi tangan hingga sebagian rokku, karena posisi yang sedang duduk. Aku otomatis berdiri, mengibas tangan yang seperti disiram soda itu.

Sementara cowok di sebelahku tergelak hebat. Kena aku dikerjai.
“Saka!” jeritku.

Dia masih tertawa.

Jika ada yang bertanya suara tawa siapa yang paling merdu, maka akan aku jawab Saka Kelana orangnya. Mungkin terdengar lebay, tapi percayalah ada saat di mana dengan melihat seseorang tertawa, hati kita menghangat. Seakan rela menjeda waktu demi menikmati ekspresi itu lebih lama.

Dulu saat menyukai Eldi, aku tidak pernah merasakan ini. Mungkin karena intuisiku tahu jika dia bukan orang yang pantas disukai. Atau ... yah, rasaku dulu sebatas kagum saja.
Sementara untuk yang satu ini ... bolehkah aku menyebutnya lebih dari kagum? Iya, sepertinya aku menyukai Saka Kelana. Cowok menyebalkan yang entah sudah berapa kali menertawakanku. Pemuda anti sosial yang memiliki tingkat kepekaan nol persen.

Namun, bukankah begitu rasa suka itu? Ketika kita tidak menemukan alasan untuk menjauh. Ketika semua tentangnya terasa benar. Dan ketika hasrat untuk masuk ke kehidupannya begitu besar.

“Ceritain sama gue!”

“Apa?” tawanya sudah reda, berganti tatapan tanya.

“Ada apa antara elu sama Eldi?”
Seketika air mukanya berubah. Tegang. Dia menghindari tatapanku, “Gak ada apa-apa.”

Berdecak, aku menyentuh lengan atasnya, meminta dia kembali menatapku. “Tatap gue, Ka! Gak mungkin gak ada apa-apa antara kalian.”

Saka menyingkirkan tanganku. Dia menatap tajam. “Gak ada apa-apa, Anggea!” ucapnya sedikit ketus.

“Bohong! Kalau gak ada apa-apa ngapain Eldi segitu bencinya sama lu?” Suaraku meninggi.

“Apa yang Eldi bilang sama lu?” Area antara kedua alisnya berkerut.

“Dia gak bilang lu gak baik buat gue.”
Saka mendengkus, tersenyum miring. “Well ... yang dikatakan Eldi bener kok. Gue gak baik buat elu, bahkan buat siapa pun di dunia ini.” Dia bangkit berdiri.

“Maksudnya apa, Ka?” Aku ikut berdiri. Sedikit waswas karena gerak-geriknya yang seperti ingin pergi.
Benar saja, dia menyandang ransel di bahu kiri, lalu menatapku tajam. “Ikutin apa kata Eldi, jauhin gue!”

Netraku membola. Demi Tuhan, bukan seperti ini yang aku bayangkan sebelumnya. Aku hanya ingin tahu tentangnya. Aku hanya ingin mendengar kejujurannya.

“Saka tunggu!” Aku berlari, menghadang langkahnya. “Lu apa-apaan sih? Kenapa jadi gini? Kalau lu gak mau cerita ya udah, gue gak maksa. Tapi gak gini juga!” Napasku memburu, karena ucapan yang beruntun dan menguras emosi itu.

Saka menghela napas kasar, menyugar rambut ke belakang. Lalu menatapku beberapa detik sebelum berujar, “Maaf udah bikin lu keseret. Maaf udah bikin lu dalam masalah. Mulai sekarang ....”

Kalimatnya terjeda, membuatku menanti dengan jantung berdetak tak biasa. Lantas ketika kata itu terucap, aku tahu jika patah hati bisa datang begitu cepat.

“Jauhin gue!”

Butuh beberapa detik untukku mencerna ucapannya. Memastikan jika indra pendengarku masih normal. Lalu saat sadar, dia telah pergi.

“Saka!” teriakanku pun hanya disambut desir angin semata.
Rasanya baru semenit lalu aku menyadari perasaanku. Menyatakan pada diri sendiri bahwa aku menyukai Saka Kelana. Berhasrat untuk menjadi temannya menghabiskan waktu. Rasanya belum lama sensasi itu teraba. Rasa bahagia kala melihat senyumnya. Perasaan hangat yang menjalari dada hanya karena ucapannya.

Namun, semua itu seolah hanya fatamorgana. Ilusi sesaat yang berganti kenyataan menyakitkan. Mungkin aku terlalu percaya diri menganggap bahwa Saka akan dengan senang hati berbagi. Mungkin aku terlalu cepat berkesimpulan, bahwa dia akan kembali membagi rahasianya. Terlalu percaya diri jika aku seberarti itu untuknya.

Faktanya, aku tak lebih dari tempat singgah sesaat. Tempatnya membuang penat sebentar, sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Ya, hanya sebatas itu.

Atau ... ada alasan lain, Saka?

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang