Saat pertama kali menjejakkan kaki ke SMA Garuda, aku terpesona pada sebuah puisi di papan mading.Dia
Dia adalah alasan aku mau berjuang hari ini
Senyumnya menjadi pemicu semangat setiap pagi
Dia adalah apa yang ingin aku junjung tinggi
Mimpinya adalah tujuan hidupku kini
Tak kan kubiarkan air mata kesedihan menggenangi
Tak kan sampai hati aku membuatnya sakit sendiri
Dia ... IbuJika kebanyakan tulisan berisi pemujaan kepada lawan jenis, membahas cinta, cinta, dan cinta, tidak demikian dengan puisi itu.
Hal itu pulalah yang menjadikanku tertarik bergabung dengan tim mading, selain hobi baca-tulis tentu saja. Dan semenjak itu pula aku selalu menyukai berada di ruang Genius. Berapa lama pun kami berkutat dengan tulisan-tulisan, aku akan menikmatinya.
Bahkan aku akan lebih memilih menghabiskan waktu istirahatku di sana ketimbang di kantin. Pun ketika pulang sekolah, meski tidak ada kegiatan, kadang aku menyambangi Genius. Membaca kiriman tulisan orang-orang yang kadang menggelitik, membuat tersenyum sampai tertawa. Tak jarang ada pula yang mencipta sesak di dada karena sedih.
Namun, tidak dengan hari ini. Entah kenapa melihat pintunya saja sudah membuat perutku melilit, dan kepala berdenyut. Ruang Genius seolah berubah menjadi sosok itu. Orang yang mengajukan syarat hanya demi interview beberapa saat.
“Gue mau diwawancara asal lu bisa ngalahin gue,” ucap Saka kemarin.
“Gue?” Zafran menunjuk diri sendiri.
“Bukan.” Saka menggeleng. “Cewek ini.”
Dan seketika aku dan Zafran terbatuk, tersedak saliva sendiri karena saking kagetnya.
Belum sempat kami mengonfirmasi apa pun, cowok itu sudah lebih dulu berlalu dengan menyebutkan kata Minggu depan.
“Tumben di sini?” Suara seseorang membawaku kembali ke bumi. Eldi mengambil tempat di depanku.
“Lagi butuh udara seger gue,” jawabku sekenanya. Lantas menarik napas panjang, berharap udara yang kuhirup di gazebo ini sedikit mengurangi nyeri kepala.
“Gue denger Saka udah bersedia, selamat ya, lu berhasil.”
Aku tertawa sumbang. “Berhasil apanya, yang ada gue udah kalah duluan.”
“Kok?”
“Ya gimana, masa dia nantangin gue ngalahin dia. Siapa pun bakalan tau gue kalah telak. Ada-ada aja deh si Saka.” Aku menyilangkan tangan di dada. Demi apa pun, bulu tangkis adalah olahraga yang paling tidak bisa aku lakukan.
Tawa kecil dari Eldi menginterupsi, membuatku memandang tak terima. “Ini bagus, lu bisa belajar dari atlet hebat. Banyak lho yang pengen satu lapangan dengan Saka,” jelasnya.
“Masalahnya, Di, gue megang raket aja salah, apalagi ngalahin dia. Haduh ... ganti narsum ajalah.” Aku menyugar rambut.
“Gue bantuin.”
“Maksud lu?”
“Kita latihan bareng.”
***
Untuk kesekian kali aku membuang napas kasar saat memandangi bayangan di cermin itu. Gadis berkulit cokelat dengan gigi gingsul di sebelah kiri. Bukan, bukan wajah itu yang membuatku frustrasi, tapi baju yang melekat di tubuh ini. Pakaian untuk belajar badminton.
“Demi apa gue jadi kayak gini?” Aku menatap bayangan itu. Sekali lagi menyentuh jersey biru campur merah itu. Lantas mengembuskan napas panjang. “Oke, Gea, semangat! Itung-itung olahraga.” Aku mengepalkan tangan, mengangkat setinggi bahu, menyemangati diri sendiri.
Lantas beranjak keluar dari ruang ganti.
Eldi menyambut dengan senyuman ketika aku menghampiri. Di sebelahnya sudah berdiri Zafran, Diana, dan Clara.
“Lah, kalian ngapain pada di sini?” tanyaku.
“Nyemangatin lu, Ge,” ujar Zafran, mengangkat kedua tangan membentuk kepalan.
“Mastiin lu gak macem-macem sama Eldi.”
Ya, itu jawaban Clara. Sementara Diana menaikkan sudut bibir, mungkin bingung harus mengikuti perkataan siapa.
Aku mengangkat bahu sekilas, lalu memilih mengambil raket dan kok yang telah disediakan.
Ada dua lapangan bulu tangkis yang disekat net. Lapangan sebelah sedang digunakan tim inti yang akan menghadapi kejuaraan nasional.
“Pemanasan dulu, Ge.”
Perkataan Eldi menghentikan gerak kaki. Aku menoleh, menanti cowok itu mendekat.
Dia tersenyum semanis biasanya, lantas memintaku mengikuti gerakannya. Setelah dirasa cukup, dia menyuruh aku latihan memukul kok.
Aku mengerang frustrasi saat lagi-lagi tidak bisa memukul kok dengan benar. Jangankan melewati area lawan, menyentuh net pun tidak.
“Posisi tangan lu mesti bener, Ge.” Eldi mendekat, bermaksud membetulkan posisi tanganku.
Namun, belum juga kulit kami bersentuhan, Clara sudah lebih dulu menjerit, “Apa-apaan, sih! Gak usah deket-deket gitu!” demonya, “dan lu Gea, jangan ambil kesempatan, ya!” Telunjuk berkuteks pink itu mengarah ke hidungku.
“Ra, jangan lebaylah,” ucap Eldi.
“Lebay gimana? Lagian kayak gak ada yang lain aja. Kenapa mesti kamu yang ngajarin Gea?” Bibir Clara mengerucut.
Eldi menghela napas sebelum berujar, “Please, Ra ....”
Aku tidak lagi mendengarkan perdebatan mereka. Lebih memilih melipir ke pinggir lapangan di mana Zafran dan Diana berada. Menyambar botol minum, dan meneguk isinya dengan rakus.
“Lu aja deh yang ngajarin gue!” kataku pada Zafran.
“Lah, si Eldi ngapa?”
“Ribet!” Daguku terkedik ke depan, di mana sejoli itu masih beradu argumen.
Pada akhirnya, aku berlatih dengan Zafran. Latihan yang kami lakukan tiga puluh menit terakhir, membawa dampak cukup baik. Setidaknya aku sudah bisa memukul kok, meski belum bisa dikatakan pertandingan yang sesungguhnya karena kok yang mengarah ke tempatku lebih sering tak tertangkis.
“Break dululah.” Aku mengangkat raket, meminta istirahat. Lantas menjatuhkan tubuh di lapangan. Napasku berkejaran, pun peluh bercucuran. Mataku terpejam dengan tubuh terlentang.
Aku berjengit, saat merasakan benda dingin mengenai pipi. Sebuah botol air mineral yang masih berembun terpampang di sisi kepala. Aku meraihnya, “Teng ... kyu.” Aku mengerjap, memastikan sosok yang tertangkap retina itu nyata. Ketika sadar jika cowok itu memang benar Saka, aku segera bangkit. “Lu?”
Saka hanya mengerling, lantas menenggak air minumnya sendiri.
Aku menoleh ke lapangan sebelah, sepi, sepertinya latihan sudah berakhir. Lalu kembali memandangi atlet badminton itu. Lekat. Kulitnya sedikit memerah, mungkin akibat aktivitas fisik yang baru saja dilakukan. Untuk apa dia di sini? Dia tidak bermaksud mengajak tanding hari ini, kan?Decak terdengar dari mulut Saka, dia lantas berdiri dan beranjak pergi. Meninggalkanku yang termangu tak mengerti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Dla nastolatkówBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...