Sebelas

64 8 0
                                    

Pernah mengeluh karena keadaan?
Aku cukup sering melakukan itu. Seperti mempertanyakan tentang eksistensi keluargaku yang begini dan begitu. Berandai jika aku terlahir di keluarga kaya raya sehingga tidak perlu berpanas-panas saat berangkat sekolah. Berkhayal jika saja Bapak adalah pemilik sebuah perusahaan besar, sehingga apa pun inginku akan terwujud dalam hitungan menit saja.

Namun, aku lupa jika yang tampak oleh mata bisa jadi tipuan semata. Cerita Saka kemarin menyadarkanku. Dia mungkin memiliki segalanya, kaya, jago olahraga, tapi siapa sangka dia justru tidak tahu siapa orang tua kandungnya. Bukankah aku jauh lebih beruntung, dikelilingi oleh orang-orang yang tulus menyayangi?

"Pagi, Sayang ...," sapa Ibu saat aku keluar dari kamar. Wanita itu tengah menata sarapan di meja makan.

Sementara lelaki yang sudah duduk di salah satu kursi itu tersenyum ke arahku, menyapa lewat isyarat tubuh.

"Pagi, Bu." Aku berjalan mendekat. "Sarapan apa hari ini?"

"Nasi goreng spesial penuh cinta," jawab Ibu semringah. Disambut gelak tawa Bapak.

Aku tersenyum. Di mana lagi akan aku dapati suasana sehangat ini? Bahkan rumah Saka yang mewah itu justru terasa dingin.

"Bagaimana sekolahmu, Nak?" tanya Bapak di sela sarapan kami.

"Seru, Pak."

"Syukurlah, kamu cepat beradaptasi," timpal Ibu.

Aku memang cepat beradaptasi, hanya saja masih sulit menentukan kejujuran seseorang. Entah aku yang terlalu naif atau memang dunia sudah semisterius itu.

***

Aku mengernyit ketika melihat Zafran di tempat parkir. Dia berdiri bersandar pilar, seolah sengaja menunggu seseorang di sana.

"Lu nungguin gue?" tanyaku setelah mematikan mesin motor. Aku memang terbiasa memarkir si biru-sebutan untuk motor matic itu di dekat pilar. Seolah tempat itu sengaja disiapkan untukku karena tiap kali datang, tempat itu belum terisi.

Zafran mengangguk, lalu menegakkan tubuh.

"Ngapain?"

Kami berjalan bersebelahan.

"Lu gak diapa-apain Saka, kan, kemarin?"

Aku nyaris tertawa karena pertanyaan itu. "Emang gue diculik? Emang Saka penjahat?" kepalaku tergeleng, memandangnya jenaka.

"Dia emang terkesan nyulik elu sih kemarin ... trus kalian ke mana?" Langkahnya terhenti, membuatku melakukan hal yang sama.

Netraku memicing, sedikit mencondongkan tubuh, lantas berkata lirih, "Lahacia ...."

Aku tergelak melihat tampang jengkelnya. Buru-buru mengambil langkah seribu saat melihatnya bersiap menerkamku. Masih sambil tertawa aku berlari di sepanjang koridor. Sempat membuat beberapa pasang mata memandang, mungkin karena terusik.

"Aduh!" Langkah dan tawaku terhenti karena tubuh yang menabrak sesuatu. Mendongak, kudapati sepasang iris hitam yang menyorot tajam. "Eh, Saka." Aku meringis sebagai tanda minta maaf karena tidak sengaja menabraknya.

"Lu pikir ini lapangan?" semprotnya.

"Sorry, gue kan gak sengaja ... lagian lu ngapain di sini?" Aku menatap ke balik punggung, memastikan jika ruangan itu benar kelasku, sekaligus mengingatkan Saka jika mungkin dia salah masuk.

Dia menyodorkan buku yang langsung aku kenali sebagai milikku.
"Ketinggalan, ya, kemarin. Thank's ya udah dianterin." Aku mengulas senyum tulus.

Tidak ada kalimat balasan atau sekadar bahasa tubuh dari Saka. Cowok itu berlalu pergi setelahnya. Ya, seperti biasa, Saka Kelana yang terlampau hening.

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang