Dua Belas

62 7 0
                                    


Orang di depanku ini mungkin memang jenis makhluk soliter. Si penyendiri yang tak suka berbagi tempat dengan orang lain. Si penikmat sepi yang tak nyaman berada dalam hiruk-pikuk keramaian. Atau ada alasan tertentu?

“Jadi, ini tempat ngumpet lu?”

Aku memperhatikan roof top ini. Baru tahu jika atap gedung olahraga menyediakan spot yang bagus untuk menikmati me time. Angin berembus lumayan kencang. Pun panas matahari yang terasa lebih dekat.

Saka membawaku duduk di papan di bawah kanopi yang lumayan teduh. Lantas membuka kaleng minuman kopi instan yang dia bawa.

“Katanya mau makan?” tanyaku, baru sadar jika tidak ada apa pun yang dia bawa selain dua kaleng minuman itu.

“Gak punya makanan.”

“Kenapa gak beli? Atau kenapa gak makan di kantin aja? Gue gak pernah liat lu ke kantin?”

“Bukan urusan lu! Bawel.” Dia lantas menyodorkan satu kaleng lain yang telah dibuka ke arahku.

“Aku gak minum gituan,” ucapku jujur. Daripada minuman kemasan seperti itu, aku lebih suka membawa air mineral sendiri dari rumah. Tidak terbiasa mungkin.

“Kenapa?” Dia menarik kembali kaleng pipih itu, menenggaknya sendiri.

“Takut mabok.”

Jawaban asal dariku nyaris membuatnya tersedak. Dia mengusap sudut bibir setelahnya.

“Trus, gue mesti nonton lu di sini, gitu?” tanyaku setelah hening beberapa saat. Tadinya aku pikir, Saka benar-benar akan menyuruhku menemaninya makan, atau latihan badminton. Namun, melihat dia yang hanya menenggak minuman itu tanpa perbuatan apa-apa, membuatku mati gaya.

“Serah lu mau ngapain.” Bahunya terkedik.

Aku mendesis, bukankah dia yang mengajakku ke sini?

“Hellooo ... Kan elu yang ngajak gue ke sini!” sewotku. “Ya udahlah gue turun aja.” Aku sudah akan berdiri saat dia buru-buru bersuara.

“Lu bisa cerita atau nyanyi kalau suara lu bagus.”

Mengernyit, aku menatapnya yang justru mengalihkan pandangan. Mungkin dia kesepian? Entah dari mana spekulasi itu berasal, yang jelas aku urung beranjak. Memilih menatap ke arah yang sama, pada cakrawala yang membentang biru di ujung sana.

“Gue suka nulis,” kataku setelah cukup lama berdiam diri. “Nulis itu sama kayak curhat, bisa jadi semacam terapi biar tetep waras.” Kami masih di posisi itu, menatap ke depan, tapi aku yakin dia mendengarkan. Meski tidak tahu juga apa manfaatnya. Tapi bukankah dia menyuruhku bicara apa saja?

“Kadang gue nulis cerpen, kadang puisi, atau tulisan asal. Kadang gue nulis tentang cowok yang gue kagumi. Kadang pun mencurahkan kekesalan pada seseorang lewat tulisan.” Aku tersenyum sendiri mengingat itu. Entah sudah berapa orang yang aku jadikan objek tulisan.

“Termasuk gue?”

“Ha?” Aku menoleh, mengonfirmasi pertanyaannya.

Dia membalas tatapanku. “Gue? Lu pernah nulis tentang gue?”

Aku tidak langsung menjawab. Justru seperti terhipnotis dengan iris hitam itu. Seperti pusaran gelombang yang menyembunyikan banyak hal. Sesuatu yang sengaja disimpan sendiri dalam sepi.

***

Aku masih menerka
Pada satu titik yang tak biasa
Pada hitam yang tersembunyi
Pada mata yang penuh arti
Aku ingin menyelaminya
Menyingkap hitam bermisteri
Aku ingin masuk ke sana
Mencari tahu arti

Genius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang