Apa yang aku harapkan? Mendapat perhatian lebih darinya? Diajak makan berdua? Diajak jalan-jalan?
Haha ... aku lupa jika kemarin yang menyatakan rasa sukanya padaku adalah Saka Kelana. Salah satu spesies paling absurd dan tidak peka.
Bahkan dalam percakapan pun dia masih ber-elu gue. Tidak ada panggilan sayang semacam “ai” atau “beb” seperti yang kerap aku dengar dari teman-teman sekitar. Pun tidak menjadi aku-kamu agar terkesan lebih spesial. Sepertinya aku terlalu berharap, atau salah menafsirkan?
Namun, dari semua ketiadaan itu, ada satu hal yang membuatku bersyukur. Membuatku merasa bahwa hubungan kami selangkah lebih maju. Saka sudah mulai membuka diri. Mulai menceritakan jati diri. Termasuk rahasia yang mungkin belum banyak orang ketahui.
“Bokap Eldi yang ngadopsi gue.”
Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat Saka mengatakan itu. Pantas saja aku merasa ada sesuatu dengan nama Pak Abhiyasa. “Te-rus ... jadi ... kalian?” responsku lumayan lambat dari biasa. Pun masih tak bisa berucap sempurna. Lagi, aku harus kembali dibuat ternganga dengan sempitnya dunia. Setelah Ayah, lalu Saka, siapa lagi yang akan berhubungan dengan Eldi?
Saka menoleh, menarik sudut bibir sedikit. “Kami saudara ... dalam undang-undang.” Kalimat terakhirnya terdengar bak ironi.
“Tapi waktu gue ke rumah lu ...?” Aku mencoba mengingat lagi momen itu. Saat berkunjung ke rumah Saka. Dan memang tidak aku temukan keberadaan Eldi di sana. Walau sekadar alas kaki.
“Rumah kami terpisah,” terangnya. “Sejak pertama kali diadopsi, Eldi gak pernah welcome sama gue. Dia selalu musuhin gue. Ngebully gue. Nyebarin ke temen-temen sekolah kalau gue ini anak pungut. Anak yang gak jelas orang tuanya. Anak yang numpang hidup sama bokapnya Eldi.”
Mataku memanas. Meski tidak benar-benar tahu perasaan Saka saat itu, tapi aku cukup mengerti jika Saka kecil amat menderita. Batinnya mungkin terguncang saat itu. Mungkin itu sebabnya Saka lebih memilih menutup diri.
Sungguh, hasrat untuk minimal menepuk pundaknya sangat besar. Mencoba mengampaikan lewat bahasa tubuh bahwa aku peduli. Bahwa ada aku di sini. Namun, tanganku hanya mampu terkepal di samping tubuh. Tak kuasa menyentuh. Takut jika setelah itu Saka akan menganggap aku mengasihaninya. Takut jika Saka kembali menjaga jarak.
“Itu sebabnya lu kayak gini? Memilih jadi si misterius?”
Kami berada di rooftop gedung olahraga. Angin yang berembus memberantakkan rambut Saka. Membuat beberapa helainya jatuh di dahi. Membuatku kembali berhasrat menyentuhnya dengan maksud berbeda.
Saka mendengkus tawa. “Hanya mencegah orang-orang bernasib sama kayak lu.”
Iris gelapnya menjarah netraku. Membuatku sejenak tak berkutik karena malu. “Mak-maksud lu?” tanyaku kemudian, mencoba mengalihkan tatapan.
“Ada beberapa temen gue yang senasib kayak lu, dulu. Setelah diancam mereka biasanya ngejauhin gue. Cuma lu satu-satunya yang gak. Kenapa? Lu suka banget sama gue?”
Wajahku sontak memanas karena pertanyaan mendadak itu. “Ya gak gitu!” Aku berdehem, mengusap tengkuk salah tingkah. “Gue ... gue kasian aja sama elu gak ada temen.” Aku sedikit mengangkat dagu, mencoba menyempurnakan kebohongan dengan gestur tubuh. Berharap Saka tak lagi mengungkitnya.
Saka menarik sudut bibir, tersenyum miring. Apa hanya perasaanku saja atau memang cowok itu lebih sering tersenyum sekarang?
“Thank’s, Anggea ....”
Ucapan itu sontak membuat dadaku menghangat. Seperti ada pesta kembang api di dalam sana. Penuh semarak dan suka cita. Lagi aku berdehem, lantas sedikit menunduk untuk menyembunyikan wajah yang kian memanas.
***
Satu menit yang lalu aku masih santai melangkah. Enam puluh detik lalu, senyum ceria dan perasaan bahagia masih bertakhta. Namun, sekarang saat aku melihat sosoknya, semua sensasi itu perlahan lenyap. Langkahku sedikit melambat, tapi tetap berjalan ke arah yang sama. Ke arah di mana gadis itu berada.
Awalnya, dia berdiri bersandar pilar dengan tangan terlipat di dada. Lalu saat jarak kami kian dekat, dia menegakkan tubuhnya. Mengangkat dagu tinggi, seolah bersiap menantangku. Siap menunjukkan eksistensinya yang secara fisik jelas lebih unggul dariku.
Aku menarik napas panjang, mengembuskan sedikit kasar lewat mulut. “The show is begin, Gea!” ucapku pada diri sendiri. Sadar jika sebentara lagi akan ada pertunjukkan hebat.
Gerakan kakiku otomatis berhenti. Kini aku dan Clara bak pemain dalam adu laga, saling berhadapan.
“Lu mau nantangin gue?” todongnya tanpa kalimat pembuka.
“Apaan sih?” Aku mengernyit, jelas-jelas dia yang menghadang jalan. Kenapa menuduhku yang menantangnya?
“Berapa kali gue bilang, Eldi punya gue!” ujar Clara dengan penekanan di kalimat terakhirnya. “Dan elu, Anggea Radeva!” telunjuknya mengarah padaku. “Gak usah sok kecakepan sok-sokan ngerayu Eldi.”
Aku mendengkus keras, menggeleng sambil tertawa sarkas. Demi Tuhan, aku bahkan sudah tidak ada rasa apa-apa pada Eldi.
“Heh! Napa lu ketawa?” bentak Clara. “Ada yang lucu? Gue gak lagi ngelawak, ya!”
“Clara ....” Aku masih mencoba tenang, menyebut namanya sedatar mungkin. “Gue sama sekali gak ada niat buat ngerebut Eldi. Silakan lu ikat Eldi sekencang mungkin, karena gue juga gak peduli.”
Kali ini Clara yang terbahak. “Lu coba ngeles apa lagi sok? Lu pikir gue gak tau puisi-puisi lu buat Eldi?”
Sial! Lagi-lagi karena puisi itu. Aku merutuk dalam hati. Mengembuskan napas, aku kembali berujar, berharap Clara mau mengerti. “Ya, itu emang gue, tapi itu dulu, sebelum gue tau siapa sebenernya Eldi. Lagi pula itu bukan cinta kok, gue cuma kagum aja, DULU.” Aku memberi tekanan kuat pada kata terakhir. Meyakinkan Clara jika rasa untuk Eldi sudah berakhir.
“Terus ngapain lu kemarin mojok sama Eldi? Udah jelas-jelas gue ada di depan lu!”
Nyaris saja aku memutar bola mata andai tidak ingat perangai Clara. Bisa-bisa dia makin beringas kalau aku melakukan itu. “Lu udah nanya ke Eldi belum? Coba lu tanya ke cowok cinta mati lu itu, dia ngapain gue!”
Di luar dugaan, Clara justru mendorong bahuku dengan jemarinya, membuatku sedikit bergeser karena gerakan yang tiba-tiba.
“Gue gak akan di sini, ngomong sama lu kalau bukan karena Eldi yang udah ngasih tau! Bego!”
Oke, kupingku mulai panas sekarang. Punya hak apa dia menjelekkanku seperti itu? Kendati begitu, aku masih berusaha tenang, meski tak setenang tadi. “Terus masalahnya apa?”
Lagi-lagi Clara tertawa, tapi bukan jenis tawa karena hal lucu lebih ke meremehkan, mungkin. Sejenak kakinya menyerong sebelum kembali menghadapku dengan tatapan menghunjam. “Lu emang bego, ya!” umpatnya di depan mukaku.
“Maksud lu apa sih, ngatain gue mulu? Justru yang harus lu ceramahin tuh si—”
Kalimatku tertahan di tenggorokan karena ucapan Clara. Menyerobot dengan penekanan di setiap kata.
“Maksud gue lu kagak punya malu karena modusin Eldi pakai cara murahan!”
Aku mengernyit, mulai sadar jika sepertinya ada yang tidak beres. Mulai meraba jika mungkin saja Eldi memberikan informasi yang salah, bahkan fitnah.
Dan saat Clara kembali berucap, aku tahu jika Eldi tidak main-main dengan kata-katanya kemarin.
“Eldi bilang lu mau jatuh makanya lu narik dia. Itu Cuma trik, kan, biar lu bisa meluk-meluk Eldi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...