“Lu ... nangis?!”Aku membuang muka, merutuki diri sendiri yang mendadak secengeng ini. Aku bukan tipe gadis yang mudah mengeluarkan air mata. Tapi entah ada apa dengan hari ini. Aku seperti kehilangan kendali terhadap mataku sendiri.
Saka menepuk pelan bahuku. “Gara-gara gue?” tanyanya hati-hati.
“Siapa lagi?” Inginku meneriakkan jawaban itu, tapi aku tidak mau memperkeruh suasana.
Mengusap kasar wajah dengan punggung tangan, aku berdehem sebelum berujar, “Gue mau pulang.”
Saka menunduk, seolah mencoba membuat pandangan kami bertemu. “Karena anak-anak? Lu sakit hati karena diketawain?”
Aku memejamkan mata sebentar, merasa sebal dengan pertanyaannya. Aku tahu jika kaum lelaki adalah spesies paling tidak peka di muka bumi, tapi tidak menyangka jika cowok di depanku ini akan demikian menyebalkan. Untuk apa dia memperjelas hal itu? Membuatku malu setengah mati.
“Cuma badut yang gak sakit hati kalau diketawain, Ka!” Akhirnya aku memilih mengeluarkan emosi itu. Biar saja dia tahu. Terserah dia mau menganggap aku cewek cengeng atau apa.
“Jadi lu beneran sakit hati? Trus nangis?”
Ya Tuhan ... makhluk apa di hadapanku ini? Kurangnya pergaulan sepertinya berdampak pada cara bersosialisasi Saka Kelana. Atau memang sisi sensitivitasnya sudah menghilang sama sekali.
“Iya! Gue sakit ati sama mereka! Sama lu juga! Lu sengaja bikin gue jadi bahan tertawaan mereka?! Sengaja jadiin gue tontonan gratis?!” Aku tersengal setelah mengucapkan sederet makian itu. Napasku memburu, serupa pelari maraton di arena tanding.
Entah takdir seperti apa yang tengah aku jalani hari ini. Mungkin ini menjadi salah satu hari paling menyebalkan dalam hidup. Seakan belum cukup menertawakanku di lapangan, beberapa siswa yang melewati kami berbisik-bisik sembari melirik ke arahku. Beberapa bahkan dengan gamblang mencemooh, “Gak bisa main badminton aja, sok-sokan ngelawan Saka!”
Aku mendongak, menatap Saka nyalang. “Puas lu sekarang! Puas udah jadiin gue lelucon!”
“Gue gak bermaksud kayak gitu,” bela Saka.
Aku mendengkus keras. “Gak bermaksud tapi berniat!”
Baru saja aku akan berbalik menjauhi Saka saat tangannya menahan, mencekal pergelangan tanganku.
“Lu apa-apaan, sih!” Mendelik, aku nyaris memuntahkan makian lain saat Saka mengucapkan hal yang membuat mulutku ternganga.
“Gue cuma pengen berteman sama lu.” Saka menyugar rambut hingga belakang. “Gue ... pengen ngabisin waktu bareng lu, Anggea.”
***
“Di situ belok kiri!” Aku menunjuk gang yang berjarak lima meter di depan, lantas menyuruh Saka menghentikan mobilnya di sana.
“Rumah lu yang mana?” tanya Saka sembari memperhatikan deret rumah di sana.
“Nomor dua dari sini, yang cat ijo.” Hanya kendaraan roda dua yang bisa lewat di jalan depan rumahku. Karena itu aku menyuruh Saka menghentikan mobil di sini.
“Oke, gue turun, ya, thank’s.”
“Anggea, tunggu!”
Gerakanku membuka pintu mobil terhenti. Lantas kembali menghadap ke arahnya dengan menaikkan alis, menunggu dia berbicara.
“Makasih, ya.”
“Untuk?”
“Udah mau jadi temen gue.”
Lalu kami saling melempar senyum.
Dua hari yang lalu setelah kejadian itu, kami mulai intens bertemu, baik di sekolah maupun lewat pesan online via ponsel. Saka bilang dia memang sengaja menutup diri, enggan bergaul. Hal itu menjadikan kesan misterius melekat padanya. Latar belakang yang dia miliki adalah salah satu sebab sikapnya selama ini.
“Gue pernah jadi bahan bully-an saat SD, setelah temen-temen sekolah tau kalau gue anak angkat. Gak ada yang mau deket sama gue, seolah gue virus mematikan.”
Perkataan Saka kembali terngiang di kepala. Lantas membuatku teringat pertanyaan lain yang belum terjawab olehnya.
“Lu belum ngasih jawaban sama gue,” ujarku, sejenak lupa dengan keharusanku turun dari kendaraannya.
“Jawaban apa?”
“Kenapa lu milih gue sebagai temen?”
Hening. Hanya suara mesin mobil yang tidak dimatikan mengisi gendang telinga. Aku masih menunggu, dia yang justru hanya menatapku.
“Karena lu Anggea Radeva.”
Alisku bertaut, jawaban macam apa itu?
Sementara dia justru terkekeh. Menepuk puncak kepalaku pelan, dia menyuruhku pulang.
***
Aku terpekik girang saat melihat sesuatu di pintu loker. Seolah mendapat undian berhadiah, aku menarik benda itu dengan semangat. Namun, saat melihat tanda di balik foti kaktus itu, dahiku mengerut. Serupa tanda tanya di sana.
Kenapa si anonim menulis tanda tanya di sana? Apa yang dia pertanyakan? Bukankah aku yang seharusnya bertanya?
Aku membawa foto itu di depan mulut, seolah dengan mengibas-kibaskannya pertanyaanku akan terjawab. Lantas ketika melihat seseorang yang memasuki ruangan, senyumku terbit. Seperti ada bohlam yang menyala terang di atas kepala.
“Hai, dude,” sapaku ceria.
Berbanding terbalik denganku, Zafran hanya mengulas senyum tipis sebagai balasan.
“Lu kenapa?” Aku mengikuti Zafran duduk.
“Gak papa.”
“Kok kayak gak semangat gitu?”
Zafran menghela napas panjang, lalu senyum yang lebih tulus mengembang. “Gue gak papa, Ge ... kenapa, ada yang mau lu omongin sama gue?”
Aku tersenyum, lantas memamerkan foto kaktus padanya. “Gue dapet ini lagi ... tau gak udah berapa yang gue terima?”
“Berapa?” Zafran meletakkan tangan di atas meja, membuat jarak kami lebih dekat.
“Selusin,” jawabku antusias. “Ni orang pembudidaya kaktus kali, ya? Lu tau gak anak sini yang nanem kaktus? Atau jualan kaktus?”
“Di rumah gue ada.”
Ujung bibirku tertarik. “Gak nanyain elu gue mah.” Aku mengibaskan tangan di depan wajah. “Eh, tapi ada yang beda kali ini.” Aku menunjukkan tanda di balik gambar itu. “Kira-kira lu tau gak apa yang dia maksud?”
Aku menatap Zafran, demikian pula dengannya. Seolah dengan cara itu kami bisa berbagi kata. “Ditanyai juga!” aku menabok tangannya.
Zafran mengaduh, mengelus lengannya. “Dasar Gea galak!” adunya.
Aku terkekeh, sepertinya sudah lama sekali kami tidak berinteraksi seperti ini.
Zafran turut menarik sudut-sudut bibirnya.
“Gimana soal interview Genius?” tanya Zafran beberpa detik kemudian. Dia kembali bersuara sebelum aku menjawab. “Gimana kalau nyari bareng?”
“Gue udah janjian sama orang lain sih, sebetulnya.” Aku mengusap belakang kepala. Rikuh.
“Sama siapa? Mau ke mana?”
“Sama ... Saka. Dia katanya punya kenalan pengajar.”
Mulut Zafran separuh terbuka, lantas mengangguk dua kali. “I see,” katanya. Kemudian sibuk dengan permen lolipopnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...