Sepertinya aku berangkat terlalu pagi karena ketika sampai di tempat parkir, Eldi juga baru selesai memarkirkan kendaraannya. Atau Eldi yang datang lebih siang?
“Pagi, Gea,” sapanya yang mau tak mau harus aku tanggapi dengan mengucap salam yang sama.
Pun saat dia berdiri tak jauh dari tempatku memarkir motor, seolah sengaja menunggu, maka demi kesopanan aku harus jalan bareng dengan Eldi.
“Elu udah nemu narasumbernya, Gea?” Eldi membuka percakapan.
Koridor yang kami lewati belum terlalu ramai. Berarti aku yang datang kepagian, dan mendadak aku menyesal datang sepagi ini. Namun, aku tetap menjawab pertanyaan itu, “Udah,” jawabku jujur.
“Oh, ya? Siapa? Di daerah mana?”
“Di sekitar Sukasari.”
“Ah ....” Eldi mengangguk, “Yang ada TPS terpadu itu kan? Apa yang elu temukan di sana?”
“Banyak, hal-hal yang gak pernah gue temuin sebelumnya.” Aku kembali mengingat kejadian sepanjang hari kemarin.
“Pasti seru, sama siapa? Zafran?”
Aku menggeleng, “Bukan, gue sama Saka.”
Langkah Eldi terhenti. “Saka yang ngajakin elu?”
“Yup.” Aku mencoba tetap bersikap biasa, meski sadar jika ekspresi Eldi sedikit berubah. Lalu kembali menggerakkan kaki ke depan.
Namun, baru dua langkah, Eldi menyentak lenganku, membuat kami berhadapan. “Gak usah deket-deket lagi sama Saka!” ucapnya dingin, seperti bukan Eldi yang selalu bersikap hangat.
Kedua alisku bertaut. “Kenapa?”
“Lu gak tau siapa Saka, Ge! Dia gak baik buat elu!”
Aku tertawa hambar. “Dari mana lu tau seseorang baik atau gak buat gue?!”
“Gue tau siapa sesungguhnya Saka—”
“Dan kenapa lu nyuruh gue interview Saka waktu itu?” potongku cepat.
Matanya membeliak, dia lantas menarik sikuku menuju belakang bangunan perpustakaan. “Apa yang udah lu tau dari Saka? Apa yang udah dia ceritain ke lu? Jawab, Ge!”
Aku menyentak lengan, membuat genggamannya lepas. “Apa itu penting?”
Eldi berdecak, dia memejamkan mata sejenak sebelum berkata, “Itu penting, Gea. Gue harus tau pengaruh buruk apa yang udah dia ceritain ke elu. Plis, Ge, jangan sampai otak lu dicuci sama Saka!”
Aku membuang napas kasar, tidak menyangka jika mulut Eldi bisa menjelma serupa akun-akun gosip di media sosial. Aku menatap Eldi tajam, “Dia bilang gak perlu interview karena LU,” telunjukku mengarah ke dadanya, “Tau informasi apa pun tentang dia. Jadi bisa jelasin kenapa lu bersikap seolah gak tau apa-apa, Eldi?!”
Eldi bertolak pinggang dengan kedua tangan, tampak gusar. “Gue emang tau tentang Saka.” Menunduk, dia seperti menghindari tatapanku.
Sudut bibirku terangkat, “Trus lu sengaja ngerjain gue? Sengaja bikin gue ngejar-ngejar Saka hanya untuk interview yang gak ada hasilnya? Gitu, Di?!” Volume suaraku naik, dada bergemuruh seolah ada api di dalam sana.
Eldi terlihat semakin gusar, beberapa kali menengadah, lalu menatap ke arah lain. “Gue minta maaf, Gea ....” kalimat itu meluncur pelan. “Gue gak ada maksud ngerjain lu.”
Membuka mulut, aku kehilangan kata. Ternyata benar, Eldi hanya ingin mengujiku, entah untuk apa.
“Gue nglakuin itu karena pengen kita lebih deket.” Dia menatapku.
Alisku bertaut, “Maksud lu apa?”
“Gue pikir dengan interview yang susah lu bakal minta tolong sama gue. Gue pikir dengan gue gantiin lu ngelawan Saka, lu bakal deketin gue secara gamblang.” Kami masih saling tatap.
Kerutan di dahiku kian dalam. “Lu ngomong apa, sih, Di? Gue gak ngerti.”
“Lu suka, kan, sama gue? Rintik itu elu, kan, Gea?”
Jantungku seakan jatuh ke dasar perut saat mendengar perkataannya. Jika beberapa saat lalu aku hanya kehilangan kata, maka saat ini aku kehabisan udara. Megap-megap. Lantas pertanyaan lain muncul, siapa saja yang sudah tahu jika itu aku?
Namun, aku harus menyelamatkan harga diri yang nyaris kritis ini. Aku berdehem, lantas mengangkat dagu tinggi. “Gue gak suka sama elu!” sekarang, imbuhku dalam hati. Yang memang pada kenyataannya seperti itu. Rasa kagum untuk Eldi sudah sepenuhnya lenyap.
“Bohong!” sanggah cowok itu. “Tulisan-tulisan yang dikirim Rintik itu buat gue, kan?”
Kedua tanganku menggenggam erat tali ransel yang menjuntai. “Jangan kepedean, Di!”
“Trus siapa? Siapa pujaan hati lu, Gea? Saka?”
“Iya!” Netraku melebar saat mendengar jawaban yang keluar spontan itu. Tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku meralatnya, kan?
Rahang Eldi mengetat, “Lu gak boleh suka sama Saka, Gea!”
“Bukan urusan lu!” Aku membalik badan, bersiap melangkah saat lagi-lagi tangannya mencengkeram pergelanganku. Kali ini lebih erat, sampai aku merasa darah tak bisa mengalir ke telapak tangan. “Lepasin!” sentakku.
“Lu gak boleh suka sama Saka!”
“Gue gak butuh ijin dari lu, Di!”
Dan genggaman Eldi kian menguat, membuatku meringis karena sakit. Aku nyaris berteriak minta tolong jika saja tak terdengar seruan dari samping bangunan ini.
“Apa-apaan kalian?!” Clara muncul. Setengah berlari mendekati kami.
Eldi terlihat seperti akan mengumpat, tapi ditahan. Berikutnya genggamannya terlepas.
“Ada apa ini?” tanya Clara.
“Tanya aja sama dia!” ujarku ketus, lantas berlari meninggalkan mereka.
***
“Eh, tukar tempat bentar dong!” Aku berdiri di samping meja, meminta teman di sebelahnya agar pindah ke belakang.
“Napa, lu?” tanya Zafran setelah aku duduk. “Mau nyontek?”
Aku mendesis. Guru pelajaran pertama memang sedang keluar, sedangkan kami diharuskan mengerjakan tugas. Tapi bukan berarti aku ingin menyontek karena ada hal lebih urgent dari itu.
“Lu tau siapa Rintik?” tanyaku to the point, sedikit berbisik, sembari sesekali melihat pintu keluar.
Gerakan tangan Zafran yang sedang menulis terhenti, dia menoleh ke arahku. “Elu?”
Mataku membola, “Kok lu bisa tau?” kali ini suaraku sedikit kencang hingga teman yang berjarak dekat menoleh.
“Rintik itu muncul gak berapa lama sama kedatangan lu di sekolah ini. Menurut lu anak-anak bakal mengasumsikan siapa? Gak mungkin gue, kan?”
“Duh!” Aku menangkup kepala, menyembunyikan dalam kukungan lengan. Yang dikatakan Zafran masuk akal. Mendadak aku menyesal karena membubuhkan nama pena. Dan ... mungkinkah Clara juga tahu?
“Ini kenapa?” Kesiap kaget terdengar dari Zafran. Dia menarik lembut sebelah tanganku yang semula menutup nyaris seluruh kepala.
Aku meringis, bekas cekalan Eldi masih menyisakan jejak kemerahan di pergelangan tangan. “Gak papa kok.” Menarik tanganku kembali, aku menyembunyikannya di bawah meja.
Zafran berdecak, “Serius mau ngibul sama gue!” Sorot matanya menajam, “Ada hubungannya sama kedatangan lu tadi pagi yang berantakan?” selidiknya.
Aku mengeluh dalam hati. Niat hati hanya bertanya, kenapa justru aku yang diinterogasi sekarang? Beginilah kalau punya teman reporter. Tak bakal dilepas sebelum seluruh informasi didapatkan.
“Ini kepentok stang tadi,” kataku. Sementara dia masih dalam mode seolah bertanya, ‘sumpeh lu?’ itu. “Apaa, sih, Zaf. Jangan liatin gitu, deh. Sini gue nyontek!” Aku menarik paksa bukunya, mencoba mengalihkan perhatian yang untungnya berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius (End)
Teen FictionBagiku kamu adalah utopis, terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan meski sekadar dalam khayalan. Aku hanya bisa menjadi pengagummu, memperhatikan dari jarak sekian meter, menikmati secara diam-diam setiap gerak yang kamu lakukan. Itu cukup. Melihatm...