Part 47

6.9K 304 32
                                    

Nana memuntahkan semua isi perutnya. Sementara Zulfa memijit tengkuk Nana, berusaha mengurangi rasa mual sang kakak ipar.

"Mbak Na, Njenengan isi? Muntahnya kok kayak orang hamil, habis bau bumbu?" Pertanyaan Ning Zulfa membuat Nadhifa terkesiap. Sepintas Nana melirik ke arah Gus Ikram. Lelaki itu memandangnya dengan penuh amarah.

"Alhamdulillah, kalau beneran ngidam, Mbak. Dzuriyat yang udah lama dinanti. Tiga tahun serumah, nggak wujud. Ini pisah rumah, ketemu sekali aja, qodarullah langsung jadi." Nadhifa masih mencerna kalimat Ning Zulfa. Tanda tanya itu terjawab setelah Gus Ikram berbicara.

"Mas Fathan ngendika katanya sebulan lalu dia baru nengok Njenengan, Mbak. Kangen katanya. Cuma beliau juga ngendika kalau nggak mampir Ndalem soalnya buru-buru." Nadhifa menatap takzim pada Gus Ikram. Ia tahu lelaki sholeh itu hampir tak pernah berbohong dan apa yang dikatakan beliau adalah kebenaran. Fathan lah yang berdusta, menciptakan cerita agar orang lain menganggap seolah anak yang dikandung Nadhifa adalah benih milik suami sahnya.

"Iya, Mbak. Mas Fathan juga kemarin matur sama Umi lewat telepon kalau mau pulang minggu depan. Katanya mau ada yang diurus. Tapi nggak tahu, nih. Katanya kan ada varian virus Covid baru. Semoga aja masih bisa pulang sebelum penerbangan dari Inggris ditutup. Mending Mas Fathan nggak bisa balik ke Inggris daripada harus terisolir di sana tanpa sanak saudara ...." Zulfa menggantungkan kalimatnya dengan penuh harap.

Nadhifa mengamini perkataan adik iparnya. Dalam hati ia berharap lelaki yang masih sah jadi imamnya bisa pulang dalam kondisi sehat, meskipun banyak hal yang harus dilalui untuk mereka agar bisa berkumpul.

Varian virus Covid 19 terbaru yang ditemukan di Inggris memicu pemerintah untuk bertindak tegas. Mulai tanggal 1 hingga 14 Januari 2021, pemerintah sudah melarang warga negara asing dari negara manapun untuk memasuki Indonesia.

Sementara bagi warga negara Indonesia yang hendak pulang, tetap diperbolehkan. Hanya saja persyaratannya ketat, yaitu menunjukkan hasil negatif tes Covid 19 dengan metode PCR dari negara asal yang berlaku 48 jam sebelum keberangkatan. Saat tiba di Indonesia, WNI tersebut wajib menjalani tes ulang Covid 19 PCR, dan bila hasilnya negatif, WNI akan masuk karantina selama 5 hari di tempat yang disediakan pemerintah. Usai karantina, WNI tersebut kembali wajib menjalani tes Covid 19 PCR dan bila hasilnya negatif, WNI tersebut boleh melanjutkan perjalanan.

Nadhifa berusaha menjelaskan tentang kewajiban karantina dan mutasi virus Covid 19 yang konon katanya sepuluh kali lebih menular pada kedua iparnya dengan bahasa yang semudah mungkin. Penting bagi semua orang untuk memahami bahaya yang ada sehingga bisa membangkitkan kesadaran untuk mencegah mudharat yang lebih besar.

"Ning, Gus, saya minta maaf kalau sekiranya saya selama ini banyak salah sama Njenengan berdua. Mungkin nanti setelah Gus Fathan melafalkan ...." Kalimat Nana terhenti saat ia melihat tatapan tajam Gus Ikram. Lelaki itu seolah menyuruhnya untuk diam.

"Kenapa, Mbak?" Zulfa bertanya keheranan.

"Ah, Nggak apa-apa, Ning. Saya minta maaf kalau selama ini udah ngrepotin keluarga Ndalem dan saya belum bisa membalas kebaikan Njenengan semua." Nadhifa berusaha mengalihkan obrolan.

Ketiga insan itu kembali mengobrol ringan sambil menikmati suguhan nasi mandhi berlauk kambing panggang. Setelah dirasa urusan selesai, Gus Ikram mengajak istrinya untuk berpamitan.

"Mbak Na, insya Allah udah cukup amanah yang mau saya sampaikan. Kami mohon pamit langsung pulang Jombang. Sebenernya pengen juga nengok Bapak di Krapyak, tapi musim Covid gini lebih baik ditunda. Apalagi Bapak udah sepuh, jelas rentan kalau ketemu orang dari luar kota." Gus Ikram berkata penuh sopan santun pada kakak iparnya. Penguasaan emosi lelaki itu sunggug luar biasa. Sama sekali tak terdengar ungkapan kasar ataupun nada marah dari ucapannya. Padahal isi hatinya jelas menggelegak mengetahui Nadhifa telah berzina dan mengandung benih lelaki yang bukan suami.

"Nggih, ndherekaken Gus, Ning. Maturnuwun sudah kerso nengok saya di sini. Oh iya, ini sekedar oleh-oleh buat Abah dan Umi, juga roti maryam cokelat kesukaan Haura dan Mazaya. Saya bungkusin juga sedikit nasi kabsyah sama ayam kari buat bekal njenengan berdua biar nggak usah mampir di jalan," ucap Nadhifa sambil menyodorkan beberapa bungkusan.

Tak perlu dibantah, penelitian di Amerika menunjukkan bahwa penularan di restoran ber AC dalam ruang tertutup adalah salah satu yang tertinggi. Udara yang berputar dalam ruang tanpa sirkulasi, ditambah kondisi saat makan yang hampir pasti melepas masker, otomatis meningkatkan risiko penyebaran Covid 19. Itulah mengapa Nadhifa sengaja membawakan bekal pada kedua iparnya. Berhenti di rest area yang ramai pada liburan akhir tahun jelas sebuah perilaku yang berisiko terhadap penularan Covid 19.

"Kami pamit ya, Mbak. Sehat-sehat di sini. Semoga beneran wujud ngidamnya njenengan," ucap Ning Zulfa sambil membelai perut Nadhifa.

Kedua ipar itu hanya bersalaman tanpa peluk cium seperti dulu sebelum pandemi. Meskipun punya hubungan keluarga, bukan berarti bisa bebas dari protokol kesehatan. Bahkan dalam lingkungan serumah pun sudah banyak cluster penularan keluarga.

"Nggak ada pemeriksaan antigen di jalan tol kok, Mbak," terang Ning Zulfa. Ia menjawab pertanyaan Nadhifa yang khawatir jika ada screening seperti yang santer diberitakan.

"Misal ada swab acak, kemungkinan kami juga lolos. Yang disasar kan biasanya angkutan umum atau mobil pribadi yang membawa rombongan. Saya dan Zulfa kan cuma berdua, jadi kemungkinan kecil untuk di swab." Jawaban Gus Ikram makin menenangkan Nadhifa.

Sejujurnya Nadhifa khawatir. Bukan tentang pembuktian ilmiah swab antigen, tetapi lebih kepada implementasi di lapangan. Pemeriksaan acak dengan kondisi berkerumun justru memperparah risiko penularan. Belum lagi soal limbah medis, sarung tangan luar yang harus diganti tiap pasien. Sangat mungkin penanganan limbahnya tak sebagus jika dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah ada prosedur tetap pembuangan sampah medis.

Belum lagi soal validitas pemeriksaan. Hasil sensitivitas 92% didapat jika waktu pengambilan sampelnya tepat. Jika infeksi sudah lebih dari sepuluh hari atau kurang dari tiga hari, bisa jadi sensitivitasnya turun. Artinya orang yang sebenarnya terinfeksi dan punya kemampuan menularkan, hasil swabnya terbaca non reaktif karena antigen yang dihasilkan sangat sedikit sehingga tidak terdeteksi oleh alat.

Nadhifa menatap hampa ke arah mobil kedua iparnya yang beranjak pergi. Segala perdebatan tentang Covid berkecamuk di batinnya. Logika ilmiahnya tak sanggup menerima banyak hal, termasuk beberapa konsensus yang diterbitkan oleh masing-masing kolegium. Namun, segala keterbatasan menjadi alasan utama. Jika tak sanggup melakukan yang terbaik, bukankah akan lebih berfaedah jika mencari cara lain yang meskipun tidak maksimal tapi setidaknya bisa mengurangk dampak. Begitu juga dengan nasibnya kini. Jika pernikahan dengan Fathan tak mungkin dipertahankan lagi, yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha menutupi semua aib agar tidak mempermalukan keluarga Ndalem.

●●●

Siang itu beberapa residen, termasuk Nadhifa sedang duduk melepas lelah. Seperti biasa, mereka mengobrol tentang Covid 19 yang makin tak terkendali, bahkan sudah bermutasi memunculkan varian baru.

"Mbak Dhifa, suamimu jadi pulang dari Inggris? Turun mana? Wah bakalan diisolasi dan swab tiga kali dong. Swab berangkat, swab datang, dan swab evaluasi lima hari setelah karantina." Wimi mendadak melontarkan rentetan pertanyaan pada Nadhifa.

Nadhifa sedikit terkejut mendengar pertanyaan Wimi. Namun, ia berusaha menjawab sediplomatis mungkin meskipun hatinya sendiri kacau memikirkan apa yang harus dilakukan saat bertemu Fathan nantinya. "Iya, Mas. Turun Soetta dan prosedur karantina di Jakarta. Nanti baru lanjut ke NYIA kalau udah lolos karantina lima hari. Lha mau langsung ke Jogja, penerbangan internasionalnya nggak ada. Musim Covid semuanya dibatasi."

Sekumpulan residen itu tak menyadari jika ada konsulen yang mendengar pembicaraan mereka. Ferdi pun hanya mematung, memilih tidak menginterupsi obrolan anak-anak didiknya.

Sejujurnya, hati Ferdi mendadak gulana. Kedatangan Fathan pasti dipicu oleh masalah yang ia timbulkan. Lelaki mana yang diam saja kalau istrinya dihamili dan harga dirinya diinjak-injak? Fathan pastilah akan membuat perhitungan dengannya. Memikirkan itu semua membuat Ferdi sedikit gentar.

Sebenarnya part ini dan part depan adalah sisipan mendadak karena banyak orang yang tanya ke saya soal pemeriksaan Covid dan vaksinasinya. Cerita ini judulnya memang mengangkat pandemi Covid 19, jadi ya ceritanya mengangkat isu panas tentang Covid 19.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang