Part 42

6.6K 315 126
                                    

Angin dingin di akhir musim gugur terasa menusuk tulang. Fathan merapatkan jaket tebalnya, mencoba mengurangi sensasi beku di permukaan kulit. Suhu seperti ini sebenarnya tak asing bagi tubuhnya. Ia jelas sudah beradaptasi pada iklim di negara empat musim. Dulupun ia menyelesaikan kuliah masternya di Cambridge. Hanya saja kali ini terasa lain. Hawa dingin terasa menyelusup hingga ke dalam hati saat mengingat ketidak beruntungan nasibnya.

Fathan berjalan cepat untuk mencoba melawan suhu dingin yang menerpa. Teori mengatakan, dengan banyak bergerak otomatis metabolisme akan meningkat dan tubuh terasa lebih hangat.

Jarak Chelsea and Westminster Hospital dengan Kensington South Station sekitar 1,7 km. Normalnya bisa ditempuh dengan jalan kaki 20 menit. Kali ini Fathan hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit karena langkahnya yang lebar dan setengah berlari.

Dari Kensington South Station, perjalanan masih panjang untuk bisa sampai ke apartemen Fathan di Cambridge. Ia memang sengaja memilih Chelsea and Westminster Hospital meskipun letaknya jauh di London. Rumah sakit tersebut adalah rumah sakit pendidikan yang memiliki klinik infertilitas, salah satu yang terbaik di Inggris.

Kereta subway dari Kensington South Station menuju King's Cross St. Pancras Station pada waktu normal berangkat setiap
5 menit. Sayangnya di masa pandemi seperti ini, selain protokol kesehatan diperketat, jumlah perjalanan transportasi umum juga banyak dikurangi.

Lima belas menit perjalanan menuju King's Cross St. Pancras Station terasa seperti sekejap bagi Fathan. Ia terlalu larut dalam kecamuk pikirannya. Selanjutnya lelaki itu harus berganti kendaraan untuk menuju London Kings Cross Station untuk kembali naik kereta ke arah tempat tinggalnya di Cambridge.

Lumayan lama Fathan menunggu kereta yang akan membawanya dari London Kings Cross Station pulang ke Cambridge. Waktu kedatangan kereta yang normalnya setiap 20 menit menjadi satu jam lebih.

Saat kereta datang, bagaikan robot Fathan berjalan masuk dan duduk di kursinya. Jarak perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam membuat Fathan kembali larut dalam pikirannya.

"Respons pengobatan Anda bagus sekali. Belum ada sebulan, tapi sudah berefek. Bisa dilihat, parameter laboratoriumnya mulai membaik. Kadar testosteron mulai naik. Anda bisa merasakan juga kan efek di badan? Biasanya ereksi juga mulai muncul. Hanya saja belum maksimal. Untuk ereksi, mayoritas pasien efek maksimalnya bisa dilihat setelah tiga bulan, walaupun bervariasi antar individu. Penghitungan kuantitatif FSH masih sangat tinggi, cocok dengan analisa sperma yang masih azoospermia. Cuma di sini FSH mulai turun, jadi saya perkirakan produksi sperma Anda mulai ada. Hanya saja jumlahhnya masih sangat kecil, belum terdeteksi dengan pemeriksaan analisa sperma biasa. Bukan masalah besar, saya kira. Kalau Anda menginginkan anak, bisa kita ambil sperma langsung dari testis untuk dilakukan IVF. Bisa Anda diskusikan dengan istri, proses IVF saya sarankan dilakukan di sini. Teknologi rumah sakit ini salah satu yang terbaik di dunia."

Kalimat Prof. Byron, ahli andrologi yang menangani kelainannya kembali terngiang di benak Fathan. Lelaki itu menghela nafas kasar. Bayangan indah tentang kehidupan rumah tangga layaknya pasangan normal sirna seketika. Niat sucinya untuk berobat agar bisa memberi nafkah batin pada Nadhifa hampir mustahil terlaksana.

Tunggu dulu! Niat suci? Fathan tersenyum kecut di tengah lamunannnya. Bukankah semua ini harusnya ia lakukan sejak dulu? Bukankah pernikahan adalah sebuah miitsaqan ghalidza yang menggetarkan langit saat ijab qobul terucap? Jika ia menuduh Nana mengkhianati pernikahan mereka, lalu kalimat apa yang pantas ditujukan untuk dirinya? Seorang suami dayyuts yang tidak memberi nafkah batin dan memperlakukan istri dengan sangat buruk selama tiga tahun pernikahan.

Fathan tergugu dalam diam. Inikah takdir terbaik seperti yang selalu ia panjatkan dalam doa di sepertiga malam terakhir? Atau justru ganjaran atas semua kebohongan yang ia bangun sejak memasuki pubertas? Akan tetapi, bukankah semua kebohongan itu demi menyelamatkan marwah kedua orang tuanya? Masih berdosakah ia? Lalu Nana, bukankah wanita itu seperti tumbal yang tak terencana dalam skenario penuh dusta yang ia jalani?

"Mas, hukum syariah itu mengikat. Mudah bagi yang hendak istiqomah menjalankan, sebaliknya sangat keras bagi pelaggarnya. Apalagi soal zina, perbuatan keji yang termasuk dosa tak terampuni. Tiada maaf untuk pezina. Hukumannya rajam sampai mati pada pelakunya jika sudah pernah menikah dan berhubungan layaknya suami istri. Kalau pelakunya belum menikah dan belum pernah berhubungan badan sebelumnya, hukuman bagi keduanya adalah diasingkan dan tidak boleh bertemu."

Penggalan diskusi dengan Gus Ikram, adik iparnya, memenuhi pikiran Fathan. Nadhifa terbukti berzina dengan Ferdi. Meski begitu, rasanya perempuan itu tidak memenuhi syarat hukum rajam. Bukankah selama tiga tahun pernikahan ia tak pernah menyentuh istrinya? Gelenyar nyeri menyeruak di dada Fathan, mengingat Ferdi lah yang merenggut kesucian Nadhifa yang sepantasnya dipersembahkan pada dirinya selaku suami sah Nadhifa.

"Jika seorang istri berzina, maka suaminya memiliki berapa pilihan. Pertama, bisa memaafkan si istri. Tentu saja dengan syarat si istri benar-benar bertobat dan suami memaafkan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Ikhlas berarti tidak akan mengungkit dosa sang istri, menerima istrinya seperti sebelumnya. Kalau soal talak, Njenengan pasti juga paham kan, Mas kalau talak ada bermacam-macam? Misal suami benar-benar marah hingga tidak berkeinginan untuk hidup bersama istrinya lagi, bisa menjatuhkan talak ba'in kubra. Hukumnya Njenengan paham kan, Mas? Kalau si lekaki mau balik sama mantan istrinya, si wanita harus menikah dan berhubungan seksual dengan laki-laki lain dan bercerai. Dan melakukan nikah tahlil ataupun jadi muhallil itu haram hukumnya."

Kalimat Gus Ikram kembali terkenang di benak Fathan. Segala prasangka dan kilasan kenangan berkelebat dalam benak Fathan. Hingga tak terasa kereta yang membawanya sudah sampai pemberhentian terakhir di Cambridge.

Setengah berlari Fathan bergegas menuju apartemennya yang terletak lumayan jauh dari stasiun. Dalam kondisi normal, sebenarnya ia naik bus untuk sampai kediamannya. Dengan kondisi pikiran yang berkecamuk, Fathan mencoba lebih banyak bergerak dengan tempo cepat. Selain eksresi endorphin, sang hormon kebahagiaan, ia berharap adrenalin rush yang terpacu mampu membuat badan dan pikirannya sedikit rileks.

Sesampai di apartemen, Fathan langsung menghempaskan badan di atas sofa ruang tamu. Ia memejamkan mata beberapa saat, berusaha merangkai setiap rencana yang akan dilakukannya. Termasuk apa yang akan ia bicarakan dengan Nadhifa. Disleksia yang ia miliki makin membuat rumit karena di saat-saat genting justru mulutnya terkunci, atau yang lebih parah apa yang ia katakan tak sesuai dengan pikirannya.

Fathan membuka ponsel pintarnya, memindai penawaran tiket ke Indonesia. Ia berencana segera pulang menemui Nadhifa. Bukan perkara sederhana. Selain harus mematuhi protokol penerbangan internasional di tengah pandemi, di mana syaratnya adalah harus melakukan pemeriksaan swab dan hasil PCR nya negatif, Fathan juga harus membereskan urusan pendidikan dan penelitiannya.

Jadwal tiket sudah dipilih Fathan. Sudah pasti, ia akan pulang minggu depan. Secebik rindu pada sang istri tak bisa ia nafikan. Di sisi lain ia harus mengatur rencana agar kehamilan Nadhifa dan kepulangan dirinya tak menimbulkan kecurigaan. Fathan mengusap layar ponselnya lagi, menekan tanda panggilan pada nomor istrinya.

"Halo, apa kabar Dokter Fathan?" Suara laki-laki yang mengangkat ponsel Nadhifa sungguh mengejutkan Fathan. Jelas ia bisa menebak siapa lelaki itu.

"Pak Ferdi?" ucap Fathan setelah ia mampu mengendalikan rasa terkejutnya.

"Bisa saya bicara dengan istri saya?" Sengaja Fathan menekankan kata 'istri' karena memang Nadhifa masih sah jadi istrinya.

"Nana sedang mandi ...." Kalimat pendek dari Ferdi sudah membuat emosi Fathan terpantik.

"Pak Ferdi, saya tahu Nana hamil anak Njenengan! Tapi tolong! Kalau Njenengan memang nggak memandang saya, setidaknya jaga marwah orang tua dan keluarga besar saya!" Nada suara Fathan tampak putus asa. Ia pikir Nadhifa menyesal dan benar-benar bertobat. Prasangkanya salah total, terbukti sang istri masih berduaan dengan lelaki lain.

Hening sejenak. Sayangnya, apa yang didengar Fathan setelah keheningan usai justru makin menambah luka hatinya.

"Sayang, kok bajumu belum ganti? Sini Mas ambilin! Bilang aja kalau lupa bawa ganti! Biar Mas susulin masuk ke kamar mandi."

Teriris hati Fathan mendengar ucapan Ferdi. Hati kecilnya masih berharap Ferdi hanya berbohong. Mengambil ponsel Nadhifa tanpa sepengetahuan si empunya. Namun, suara yang terdengar justru makin menhancurkan hati Fathan.

"Mas Ferdi?" Fathan tak mungkin melupakan suara istrinya. Artinya Nadhifa memang sedang bersama Ferdi.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang