Part 40

6.9K 347 134
                                    

Tangan Nadhifa bergetar memegang air yang sudah bercampur dengan bubuk akar rumput Fatimah. Batinnya berkecamuk, perdebatan masih mendominasi akalnya.

'Dan sungguh Kami telah menciptakan dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk lain). Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang Paling Baik.'

Penggalan QS Al Mu'minun ayat 12 hingga 14 terngiang di kepala Nadhifa. Dalil yang menunjukkan proses penciptaan manusia, makhluk yang ditakdirkan jadi khalifah di muka bumi. Ciptaan Allah yang paling mulia karena dianugerahi akal dan nafsu. Tak seperti malaikat yang tidak punya nafsu apalagi iblis yang tak punya nurani.

Mata Nadhifa terpejam, berusaha merangkai rentetan kejadian yang akan direncanakannya. Kontraksi rahim akibat ramuan yang ia minum pasti akan menyebabkan abortus insipiens. Andaikan janinnya cukup kuat dan hanya terjadi abortus iminens, cukup ia tambah sedikit lagi serbuknya. Pasti perdarahan yang terjadi akan makin hebat.

Kontraksi rahim yang kuat pada akhirnya akan meluruhkan janin hasil konsepsi. Sayangnya, proses itu sangat menyakitkan dengan risiko perdarahan yang sangat banyak. Oleh karena itu penanganan terbaik adalah dilakukan kuretase untuk membersihkan isi rahim sehingga diharapkan perdarahan akan berhenti

Tatalaksana untuk abortus insipiens pada usia kehamilan di bawah 16 minggu adalah langsung dikuret, apalagi jika denyut jantung janin sudah tak terdeteksi. Sangat sesuai dengan dalil penciptaan yang menyatakan peniupan ruh pada usia 120 hari. Artinya jika dilakukan kuretase sebelum itu, dengan indikasi medis tentunya, tidak termasuk pembunuhan karena janin dianggap belum bernyawa.

Memikirkan betapa agungnya proses penciptaan manusia membuat Nadhifa kembali berpikir jernih. Jika sudah 'Kun Fayakun', segala daya upaya tak ada yang bisa membendung. Justru bermacam risiko yang menanti jika ia nekat melakukan hal yang memicu janinnya gugur. Yang paling ditakutkannya adalah lahir cacat jika janin itu gagal digugurkan.

Botol berisi ramuan itu kembali dimasukkan Nadhifa ke dalam tas. Ia berjalan gontai ke halte Trans Jogja di seberang RS PKU Muhammadiyah untuk menanti bus yang akan membawanya pulang.

Senyum kecut terulas di bibir Nadhifa, menertawakan kebodohan yang hampir dilakukannya tadi. Menjadikan rumah sakit yang didirikan dengan tujuan mulia demi kemaslahatan umat sebagai bagian dari rencana jahatnya.

●●●

Nadhifa berjalan pelan menuju kediamannya. Dari tempatnya saat ini ia bisa melihat Mitsubishi Lancer yang terparkir di depan rumahnya bersama sebuah motor. Tak perlu berpikir pelik untuk menebak siapa yang bertamu. Hanya saja, ia masih menebak-nebak siapa pemilik motor yang menemani Ferdi.

"Assalamu'alaykum, Mbak Dhifa," sapa pria yang duduk di teras Nadhifa.

Perlu beberapa waktu bagi Nana untuk mengenali lelaki yang ternyata adalah residen seniornya.

"Oh, Mas Agus, ada perlu apa kok sampai nyari saya ke rumah? WA aja kalau ada perlu, biar saya yang nemuin njenengan," ucap Nadhifa sambil membuka kunci pintu depan. Ia tidak mempersilahkan tamunya masuk karena tak elok jika menerima tamu lelaki di dalam rumah sementara suaminya tidak ada.

Agus menjelaskan panjang lebar tentang keperluannya untuk mengajak Nadhifa dalam penelitian payungnya. Alasan utama adalah Nadhifa salah satu residen yunior yang paling cerdas dan paham statistik. Secara etika Nana tak bisa menolak jika diajak oleh seniornya.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang