Part 11 (Kenangan Nadhifa ~ Jodoh Tak Diundang)

26.4K 257 25
                                    

"Gimana? Agak enakan to perasannmu? Seks emang penghilang stres paling ampuh. Asal sampai orgasme. Kalau nggak puas malah tambah suntuk pikirannya," goda Ferdi saat mereka berdua sama-sama terkapar kelelahan di kasur yang sudah berantakan akibat percintaan tadi.

Nadhifa tidak menjawab, hanya ia makin mengeratkan pelukan dan membenamkan wajah pada dada bidang Ferdi. Lelaki itu menjadi satu-satunya sandaran untuknya. Sesekali ia mengecupi dada bidang itu membuat Ferdi menggelinjang geli.

"Jadi gimana ceritanya kamu bisa nikah sama Gus Fathan? Dan kalau kutebak rumah tangga kalian nggak bahagia. Bukannya aku mencampuri urusan rumah tanggamu. Tapi kamu yatim piatu, nggak ada yang bisa sekedar dengerin kisahmu kan?" Ferdi berkata sambil menatap wajah kekasihnya. Perasaan Ferdi sendiri tak karuan karena rasa serba salah.

Nadhifa mendongakkan kepalanya. Netranya bertemu dengan tatapan Ferdi yang tampak sendu. Ia baru saja hendak membuka mulut. Tapi Ferdi sudah mendahuluinya berbicara.

"Hanya tentang pernikahanmu dengan Fathan! Aku belum siap mendengar kisah petualanganmu saat menghilang," suara Ferdi parau seolah kenangan pahit itu kembali lagi.

"Iya, Mas ...."

●●●

Suasana Pondok Pesantren Darul Ahsan tampak semarak sore itu. Siswa pondok berkumpul mempelajari ilmu agama seperti sirah, nahwu, shorof, akidah, dan berbagai ilmu tentang Islam di bawah bimbingan guru mereka. Selain siswa yang menginap juga ada anak-anak sekitar pondok yang mengaji setiap sore.

Hampir setahun ini Nadhifa tinggal di pondok Darul Ahsan sebagai pengelola klinik milik pesantren. Jika waktunya senggang dan pasien di klinik tidak ramai ia sering membantu anak-anak yang belajar mengaji ataupun setor hafalan. Meski bukan lulusan pesantren tapi tempat tinggalnya dulu di Ketanggung, Sine, Kabupaten Ngawi memiliki kultur NU yang kuat. Seperti halnya anak-anak lain, Nadhifa juga wajib belajar di Madrasah Diniyah setiap sore. Jadi ia sedikit paham tentang ilmu tajwid, tahsin, nahwu shorof, bahkan ia hafal lima juz terakhir dalam Al Qur'an.

"Eh itu bukannya Gus Fathan ya yang ngaji?" Celetuk Chotimah, salah satu pengajar yang berada di samping Nadhifa.

Suara qiroah yang terdengar sore ini memang tampak berbeda. Memang sangat merdu, tapi kalau tak ada yang bilang bahwa Gus Fathan yang melantunkan ayat suci, Nadhifa mengira suara itu milik seorang perempuan.

"Gus Fathan putra Kyai Hasan yang jadi dokter di Surabaya?" Nadhifa bertanya sekedar memastikan. Setahun di pesantren ia tak pernah melihat wajah putra sulung Kyai Hasan selain dari foto yang terpampang di Ndalem. Ia hanya tahu bahwa Gus Fathan menjadi dokter spesialis radiologi di RSUD dr. Soetomo

Belum sempat Chotimah menjawab pertanyaan Nadhifa mereka berdua dikejutkan oleh sebuah panggilan dari salah satu santri senior kepercayaan Kyai Hasan.

"Mbak Nadhifa, njenengan ditimbali Bu Nyai. Nanti habis ngajar didhawuhi ke Ndalem." Cak Sukar, pria berumur 30 tahunan itu permisi pergi setelah menyampaikan maksudnya.

Nadhifa tidak bertanya lagi, ia sendiko dhawuh atas semua perkataan Kyai Hasan dan Nyai Nafisah sepanjang tidak melanggar syariah. Dan sekarang ia sudah berdiri di depan pintu Ndalem. Tanpa ragu diketuknya pintu yang terbuat dari kayu jati sambil mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam. Oalah kamu to, Ndhuk. Ayo masuk sini! Tunggu Abah pulang sholat Isya dulu ya, baru kita ngobrol," Jawaban Nyai Nafisah sembari menyuruh Nadhifa duduk di pendopo tempat biasa menerima tamu.

Agak sedikit mengherankan bagi Nadhifa. Mengingat biasanya ia selalu duduk di senthong atau gandhok karena sudah dianggap anak oleh kedua pemilik rumah. Sementara pendopo tempatnya duduk sekarang ini biasanya dikhususkan untuk tamu.

"Assalamu'alaikum," suara salam mengejutkan Nadhifa. Gadis itu menoleh ke arah sumber suara dan melihat pemuda tampan dengan kulit putih mulus berjalan ke arahnya. Sepintas wajah pemuda itu mirip penampakan anggota boyband Korea. Meskipun rupawan tapi memiliki wajah sedikit feminin.

"Wa'alaikumussalam. Udah pulang to, Le?" Suara Nyai Nafisah yang mendadak muncul di balik tirai pembatas antara pendhopo dengan senthong.

"Duduk sini, Le! Temenin Nadhifa ngobrol, biar kalian saling kenal," Nyai Nafisah menarik tangan pemuda itu dan sedikit memaksanya duduk di hadapan Nadhifa.

Tatapan Nyai Nafisah beralih pada Nadhifa. Beliau kembali berkata, "Ndhuk, kamu pasti belum pernah ketemu ya? Ini anak mbarepku, Gus Fathan. Dia banyak di Surabaya, sibuk jadi spesialis radiologi di sana katanya. Sampai lupa nggak nengok Abah dan Uminya di Jombang. Yaudah kalian ngobrol-ngobrol aja ya biar saling kenal." Usai berkata begitu Nyai Nafisah kembali masuk meninggalkan dua pasang insan yang tak saling mengenal.

"Ngapunten, njenengan Mbak Nadhifa ya? Yang jadi dokter di klinik pesantren?" suara lembut Gus Fathan memecah kesunyian antara mereka.

"Nggih leres, Gus." Nadhifa hanya menunduk, tidak berani menatap langsung wajah Gus Fathan.

"Saya Fathan Al Ghifari, tapi panggil aja Fathan. Saya lebih suka bidang medis jadi saya memperdalam ilmu dengan jadi spesialis radiologi, lebih spesifik lagi ke arah kedokteran nuklir. Bener ngendikane umi, saya jarang pulang. Pasti Mbak Nadhifa merasa asing karena nggak pernah lihat saya sebelumnya." Tutur kata Fathan yang lembut mampu meredam rasa gugup di hati Nadhifa. Obrolan setelahnya lebih santai dan mengalir begitu saja.

Nadhifa tak menyangka Fathan sosok yang sangat lembut dan rendah hati. Perlahan ia merasa nyaman berbincang dengan putra satu-satunya Kyai Hasan. Apalagi obrolan mereka nyambung karena mereka sama-sama berkecimpung dalam dunia kedokteran. Saking asyiknya mengobrol membuat dua insan itu tidak menyadari ada yang datang.

"Alhamdulillah kalau kalian sudah akrab. Tapi ya jangan sampai lupa jawab salam dong." Rupanya Kyai Hasan sudah memperhatikan merek berdua sejak tadi. Tapi yang membuat Nadhifa sangat terkejut adalah sosok Pakdhe Tarso, pakdhenya yang tertua berjalan di belakang Kyai Hasan. Tahulah ia apa yang direncanakan para sesepuh itu.

Semuanya berkumpul di pendopo termasuk pakdhe Tarso dan Budhe Sumini yang jauh-jauh datang dari Brang Lor, Karanganyar. Perjalanan Ngawi menuju Jombang memang jauh lebih singkat jika lewat jalan tol. Tapi Pakdhe dan Budhenya jelas tak akan susah payah kemari jika tak ada dhawuh penting dari Kyai Hasan, begitu pikir Nadhifa.

"Alhamdulillah kita semua berkumpul di sini dalam keadaan sehat walafiat. Nah karena semua sudah kumpul, sambil mencicipi hidangan seadanya, saya mau membuka pembicaraan," suara Kyai Hasan tampak berwibawa.

"Sebelumnya saya mau maturnuwun sama njenengan Pak Tarso sekaliyan, sudah kerso rawuh ke sini. Dan seperti yang sudah kita bicarakan di telepon beberapa kali, Pak Tarso. Saya meminta Nadhifa pada njenengan selaku wali nasabnya untuk menjadi istri Fathan, anak saya," Kyai Hasan melanjutkan kalimatnya.

Nadhifa jelas sangat terkejut mendengarnya, meski sebelumnya ia sudah sedikit menebak. Tentu ia tak berani membantah perkataan Kyai Hasan. Diliriknya Gus Fathan sepintas, tak ada raut terkejut apalagi penolakan dari pemuda itu. Saat melihat ke arah pakdhenya justru wajah sumringah yang terpancar, begitu pula budhenya juga terlihat bahagia. Wajar saja, bagi orang dengan kultur tradisional seperti pakdhenya pastilah sangat merasa terhormat jika ada anggota keluarganya yang dipinang oleh keluarga kyai kharismatik seperti Kyai Hasan.

"Ngestokaken dhawuh, Kyai. Saya ndherek kersane panjenengan," jawaban Pakdhe Tarso sudah bisa ditebak.

Kyai Hasan beralih pada Nadhifa, beliau mananyakan kesediaan gadis itu menjadi istri putranya. Dan tak ada yang bisa dilakukan Nadhifa selain hanya mengangguk pelan tanda persetujuannya, meski hatinya berontak.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang