Part 60

3.9K 310 150
                                    

Fathan memacu Fortunernya membelah jalan Temanggung menuju Yogyakarta dengan kecepatan penuh. Sengaja ia mengunjungi gurunya untuk mendapat ketenangan dan ketetapan hati. Sekaligus memohon nasihat agar bisa mengambil keputusan terbaik.

Pedih hati Fathan tak terkira, membayangkan sebentar lagi mungkin harius berpisah dengan satu-satunya wanita yang sangat ia cintai. Seumur hidup, baru pada Nadhifa lah Fathan merasakan gejolak rasa itu. Lebih menyesakkan lagi, guru-gurunya pun memuji kecakapan Nadhifa. Istrinya tetap bersikap takzim dan tak jarang menyuruh Kang Khanif mengantarkan buah tangan ke pondok-pondok milik sang Guru.

Entah sejak kapan hujan mengguyur deras, Fathan tak begitu memperhatikan. Pikirannya menerawang, hanya mengandalkan refleks autopilot untuk kembali ke rumahnya. Hujan petir di tengah musim kemarau bukanlah firasat baik. Seringkali dikaitkan dengan kejadian luar biasa dan acapkali peristiwa buruklah yang terjadi.

Dari kejauhan, Fathan bisa melihat Ford merah terparkir di depan rumahnya. Jelas ia tahu siapa pemilik kendaraan mewah itu. Dada Fathan bergemuruh dikuasai prasangka dan amarah, tak menyangka sang istri tega berbuat di luar batas di dalam kediaman mereka.

Tak peduli derasnya air yang mengguyur dari langit, Fathan berlari turun dari mobilnya. Amarah yang menbuncah menuntut pembuktian yang nyata. Pikirnya, jika ia memergoki kedua insan yang tidak sah tengah berbuat asusila, akan lebih menguatkan kehendaknya untuk menjatuhkan talak pada Nadhifa.

Sayangnya, pemandangan yang tersaji di depan mata Fathan jauh dari praduga. Nadhifa dan Ferdi sama sekali tidak melanggar batas norma. Keduanya terpisah jarak. Ferdi tampak menangis pilu di teras, sementara Nadhifa ....

Fathan merasakan sakit yang menghunjam kala melihat sang istri. Bayangan Nadhifa tampak jelas dari jendela luar. Wanita itu sangat kacau, tangannya membekap mulut dan mencengkeram dada, seolah merasakan luka mendalam. Perih hati Fathan menyaksikan sang istri menangisi lelaki lain.

Agak lama Fathan berdiri mematung di halaman rumahnya sendiri.

"Aku harus segera menyelesaikan semua ini," batin Fathan. Dengan mengucap basmallah, Fathan menguatkan hati mendekati Ferdi.

"Assalamu'alaykum, Pak Ferdi."

Ferdi terperangah melihat lelaki yang berdiri tegak di hadapannya. Lidahnya kelu, tak siap mempertanggungjawabkan khianatnya pada suami sah Nadhifa.

"Gus ...." Hanya satu kata itu yang terucap dari bibir Ferdi.

"Sampeyan datang sebelum waktunya, Pak Ferdi. Mohon maaf kalau harus menunggu di luar," ucap Fathan setenang mungkin.

"Gus, sudah rawuh?" Kalimat Fathan terpotong oleh ucapan Nadhifa.

Fathan beralih menatap sang istri. Penampilan wanita itu sedikit berantakan. Jilbabnya sedikit awut-awutan dengan masker medis yang sedikit basah. Tak perlu berkata terlalu banyak, kedua mata sembab Nadhifa sudah menunjukkan kepiluan hati yang mendalam.

Fathan berjalan masuk rumah. Diraihnya handuk yang disodorkan sang istri. Sambil mengelap rambut dan wajahnya yang basah, Fathan berucap, "Pak Ferdi mohon maaf kalau menunggu lama di teras. Monggo silahkan menunggu di taman belakang saja. Nadhifa sudah menyiapkan suguhan alakadarnya untuk menjamu Sampeyan. Monggo, bisa lewat pintu samping."

"Na, tolong siapkan minuman hangat untuk Pak Ferdi ya!" ucap Fathan pada sang istri. Wanitanya itu mengangguk takzim dan melaksanakan perintah sang suami.

Ferdi berjalan seperti robot mengikuti langkah Fathan. Sedikit kekaguman di lelaki itu melihat taman luas yang tertata rapi dengan aneka tanaman dan bunga yang tumbuh subur. Tak perlu dijelaskan lagi, di musim pandemi seperti ini menjamu tamu di taman terbuka jauh meminimalisir penularan.

Tak berapa lama Nadhifa dan Fathan keluar bersama dari rumah. Masing-masing membawa barang untuk menjamu Ferdi.

"Diminum, Pak Ferdi wedang uwuhnya. Ini saya ada oleh-oleh dari Temanggung," ucap Fathan sambil menyodorkan cerutu.

Menyadari tatapan keheranan Ferdi, Fathan menyambung lagi, "Nggak usah sungkan, Pak Ferdi. Tembakau Srintil di dalamnya memang kualitas terbaik. Tapi itu sama sekali nggak ada harganya dibanding yang sudah Njenengan ambil dari saya."

Usai menyelesaikan ucapannya, Fathan berbalik masuk ke rumah tanpa memberi kesempatan Ferdi menjawab.

"Diunjuk dulu, Gus. Susu kurmanya sudah saya hangatkan. Kalau mau siram air panasnya sudah saya siapkan di bak." Nadhifa tetap berusaha melayani suaminya secara maksimal.

"Bikinkan aku Syai Haleeb ya, Na! Sama kopi pahit panas, favoritku kalau lagi banyak pikiran."

Nadhifa hanya mengangguk takzim. Hingga kemudian ia mendengar lagi Fathan memanggil. Saat menoleh, tampak wajah sendu suaminya di ambang pintu kamar mandi.

"Mungkin hari ini terakhir kali kamu melayaniku, Na. Maturnuwun sudah jadi istri shalihah selama tiga tahun kita bersama ...." Fathan tak sanggup lagi meneruskan kalimatnya.

Nadhifa tak menjawab. Ia hanya mampu menatap kosong ke arah sang suami. Hanya air mata yang menjadi cerminan rasa hatinya. Tangis wanita itu pecah kala sang suami masuk ke kamar mandi luar yang memang didesain untuk mandi setelah pulang dari bepergian demi meminimalisir penularan infeksi.

●●●

Ketiga manusia menatap hidangan di hadapan mereka dalam diam. Fathan duduk berdua dengan Nana dalam satu gazebo menatap hidangan lengkap bernuansa Arab. Sementara 2 meter di seberang sana Ferdi menghadap hidangan yang lebih lengkap. Selain makanan berbau Timur Tengah, juga ada beberapa makanan khas Jawa seperti Tepo Tahu dan Sambel Tumpang.

Sebelumnya, Fathan sudah menjelaskan bahwa karena pandemi, mereka tidak bisa makan berdekatan. Hidangan pun sudah disiapkan dengan porsi yang pas untuk satu orang. Juga disiapkan tempat jika tamu memilih membungkus makanan. Dengan cara ini protokol kesehatan tetap terjaga, sementara kewajiban memuliakan tamu juga bisa ditunaikan dengan baik.

Hidangan yang tersaji tergolong istimewa, tentu menerbitkan liur bagi siapa saja yang memandang. Sayang, suasana hati mereka yang kacau membuat semua makanan itu tampak mubadzir.

Fathan berusaha menikmati makanan buatan istrinya, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Rasanya sebenarnya sangat nikmat, tapi serasa seperti Zaqqum yang berduri. Apalagi saat dilihatnya Nadhifa sama sekali tak menyentuh hidangan buatannya sendiri. Wanita itu memandang satu titik tertentu dengan penuh kesedihan.

Sebersit cemburu timbul di kalbu manakala Fathan memergoki Nadhifa dan Ferdi memandang ke titik yang sama. Sebuah bunga edelweis yang sebenarnya sejak lama terpajang di sudut taman. Namun, Fathan baru paham maksud sang istri meletakkan bunga itu di taman. Rupanya kenangan terhadap Ferdi tak pernah pudar. Bukankah Edelweis sering disebut sebagai lambang keabadian cinta karena bunganya yang tak pernah layu? Mungkin itu yang diharapkan Nadhifa tentang cintanya kepada Ferdi.

"Na, maemo, Ndhuk! Janin di rahimmu butuh nutrisi yang cukup. Dia harus tumbuh sehat dan sempurna. Meskipun perbuatan orang tuanya adalah dosa tak terampunkan, janinmu tak bersalah. Dia sangat pantas disambut dengan penuh kebahagiaan. Maafkan Mas, ya, dulu sudah memojokkanmu dengan menyuruh menggugurkan kandunganmu," ucap Fathan. Jemarinya bergerak membelai puncak kepala dan mengusap air mata di pipi sang istri.

"Mas pergi ke Temanggung untuk mohon nasihat Abah Yai dan memantapkan hati. Melepasmu adalah keputusan terberat untukku, Na. Maafkan aku ya, aku udah jadi penghalang kisahmu dengan Ferdi. Setelah ini, jika kamu sepakat, aku akan jatuhkan Talak Bain Kubro, dengan begitu kamu bisa melanjutkan hidupmu dengan Ferdi." Fathan sedikit kesulitan menyesaikan kalimatnya. Suara sesenggukan terdengar dalam jeda kalimatnya.

"Bahagialah dengan Ferdi, Na! Lupakanlah semua kisah sedihmu bersamaku. Sekali lagi maafkan aku, tak pernah jadi suami yang sholeh, tak bisa jadi imam yang baik. Hanya mampu menorehkan luka dalam tiga tahun pernikahan kita."

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang